Thrifting Bikin Presiden Pusing?
Presiden Indonesia Joko Widodo geram dengan impor pakaian bekas atau thrifting yang semakin marak saat ini. Menurutnya, hal tersebut dapat mengganggu industri tekstil dalam negeri. Presiden Jokowi pun telah menginstruksikan jajarannya yang terkait untuk mengusut serta mencari akar permasalahan dari maraknya impor pakaian bekas atau thrifting yang masuk ke Indonesia.
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin Reni Yanita saat ditemui di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (17/3/2023) menyebutkan “sebenarnya kalau secara aturan itu (thrifting) kan dilarang”. Selain itu Thrifting juga dapat mengganggu momentum penjualan baju lebaran di dalam negeri. “Apalagi akan menjelang lebaran, ini juga sangat mengganggu ketika ada impor barang bekas,” tutur dia.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto menanggapi kebijakan Presiden Joko Widodo yang melarang bisnis pakaian bekas impor atau thrifting. Bisnis tersebut dianggap mengganggu industri tekstil dalam negeri yang akan merugikan para pengusaha di dalam negeri.
Maraknya Impor Pakaian bekas sebenarya sudah terjadi sejak lama. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan masyarakat akan suply pakaian untuk memenuhi kebutuhan pakaian bermerk dengan harga murah karena gaya hidup yang hedonis dan brandedmind. Di sisi lain, hal tersebut juga menunjukkan potret kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat yang membutuhkan pakaian dengan harga murah.
Maka aneh rasanya jika sekarang dipersoalkan, bahkan oleh Presiden yang merasa pusing gara-gara Thrifting. Padahal Kepala Negara dan Sistem yang diterapkan oleh Negara merupakan pemegang solusi untuk mengatasi permasalahan rakyatnya.
Permasalahan industri tekstil ini sebenarnya ada di tangan negara seperti kebijakan impor, insentif untuk industri dan lain-lain. Namun sayangnya, kebijakan pemerintah sendiri yang justru makin mendorong industri tekstil ini ke tepi jurang kebangkrutan, yaitu dengan membuka celah impor selebar-lebarnya. Akhirnya thrifting sekarang makin banyak sehingga memunculkan opini mengganggu UMKM.
Seperti inilah ketika sebuah Negara menerapkan sistem kapitalisme sekuler seperti sekarang, pemimpin yang ada justru mencari keuntungan sendiri dan mengabaikan urusan rakyat. Aturan dalam sistem sekuler menghamba pada kepentingan para kapitalis pemburu materi melalui usaha impor besar-besaran, bukan melayani rakyat untuk mewujudkan kemaslahatan mereka.
Seharusnya Pemerintah bisa mendukung industri tekstil dengan menutup pintu impor, atau setidaknya membatasinya, yaitu hanya membolehkan impor tekstil khusus untuk produk yang tidak bisa diproduksi di Indonesia, semisal karena merupakan produk kerajinan khas negara tertentu. Sedangkan produk yang masih bisa dipenuhi industri dalam negeri, sebaiknya impornya dilarang.
Untuk mewujudkan efisiensi industri, pemerintah bisa mendukung dengan menggratiskan industri tekstil dari aneka pungutan seperti pajak dan sejenisnya. Pemerintah juga bisa memperpendek jalur suplai bahan baku tekstil, misalnya dengan membantu perusahaan tekstil untuk mendapatkan bahan baku terbaik dari jarak terdekat sehingga bisa menghemat biaya transportasinya.
Selain itu, Negara pun bisa mendukung modernisasi industri tekstil dengan menyediakan alat-alat dan mesin-mesin yang mutakhir.
Dari aspek tenaga kerja, negara bisa mewajibkan perusahaan untuk membayar gaji pekerja dengan upah layak sesuai hasil kerja mereka, sedangkan kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan keamanan menjadi tanggung jawab negara.
Kepala negara dan para pejabat bisa mendukung penyerapan produk tekstil dengan memakai pakaian produk dalam negeri (lokal). Sikap ini akan menjadi contoh bagi rakyat, bukan seperti saat ini, para pejabat menyuruh rakyat memakai produk dalam negeri, tetapi mereka sendiri malah memakai baju impor juga mahal.
Sungguh tidak bisa menjadi teladan bagi rakyatnya.
Jika semua solusi tersebut bisa dijalankan, tekstil Indonesia tidak hanya akan menjadi penguasa pasar domestik, tetapi bisa mendunia, tentunya setelah kebutuhan dalam negeri tercukupi. Hanya saja, semua solusi tersebut bisa terlaksana jika penguasa memahami posisi dirinya sebagai raa’in dan mas’ul (pengurus dan penanggung jawab) urusan rakyat.
Sungguh berbeda dengan pemimpin dalam Islam. Pemimpin yang membela kepentingan rakyat dan menjamin kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang bisa mewujudkan solusi tersebut adalah pemimpin dalam sistem Islam, yaitu menyadari bahwa setiap kebijakannya akan ia pertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Taala. Jika ia dzalim, maka setiap jiwa yang ia dzalimi akan menggugatnya di akhirat, sedangkan jika ia adil, kebahagiaan yang abadi di surga akan ia peroleh.
Sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).
Dengan demikian, pemimpin dalam Islam menjadikan dirinya sebagai pelayan umat, sebagaimana ungkapan, “Sayyid al-qawm khaadimuhu (pemimpin sebuah kaum adalah pelayan bagi kaumnya).”
Kepemimpinan yang demikian hanya akan ada dalam sistem pemerintahan Islam, dimana kepemimpinannya bervisi akhirat yang berasaskan aqidah dan syariat Islam juga menyolusi masalah rakyat yang hanya bisa terwujud secara Kaffah dalam bingkai Khilafah.
Komentar