Godong Salam, Mengenang Masa Kecil

Masa kecil, meski kadang tak ingin mengulang namun ada pula yang ketika terkenang ingin mengulang. Ada beberapa kekonyolan yang jika dipikirkan hari ini membuat geleng kepala mengapa bisa melakukan itu? Namun tak sedikit yang justru hari ini rajin diburu, salah satunya adalah kuliner sederhana, di dapur desa dengan bahan hasil kebun sendiri. 

 

Dan sudah beberapa kali kunjungan ke Kediri menyempatkan singgah di sebuah warung. Waroeng Godhong Salam namanya, terletak di Desa Bogo Kidul, Plemahan , Kediri. Berawal dari ketidaksengajaan, karena lapar yang mendera, nekad saja belok begitu terlihat papan nama besar warung. 

 

Dan memang tak mengecewakan, wanginya sayur lodeh labu siam, ikan pe bakar kuah santan pedas, sayur pakis, balado terong, dan deretan menu lainnya susah dilupakan di kemudian hari, klaim mereka adalah menyediakan menu masakan khas kota Blitar, namun bagi kami semuanya adalah flashback ke dapur masa kecil kami. Sekaligus menjadi referensi salah satu kuliner ketika ke Kediri. 

 

Gaya makan prasmanan sungguh cocok, ditemani suasana warung yang serba kayu, ornamen hiasan dinding cukup unik, selain wayang dan tembikar kuno, ada juga kaset tua, dan beberapa piringan hitam. Demikian juga dengan piring dan gelas, serba blirik ( motif batik beralur berwarna hijau) atau berbahan seng dengan motif bunga. Anak-anak, ternyata juga menikmati tentu dengan varian sayur pilihan yang mereka sudah familiar seperti sayur asam dan sayur bening bayam. Sekaligus menjadi ajang pengenalan kuliner tradisional.

 

Terakhir soal harga, sungguh tak sangka masih bisa di bawah Rp100.000 berempat. Padahal satu orang bisa ambil lauk lebih dari 4 macam. Semakin ke daerah memang masih bisa menemukan kuliner lezat dan murah, sementara di kota harga sudah fantastis juga dipenuhi dengan menu cepat saji. Beberapa kuliner malah hanya tampak lezat di laman reel IG atau video pendek Facebook dan YouTube. Kecanggihan teknologi memang tak bisa dihindari, setiap orang ingin mencoba peluang promosi di dalamnya. Namun kadang dengan serba instan, mereka lupa semua butuh pertanggungjawaban, baik rasa, gizi berikut kehalalannya. 

 

Fenomena tempat makan ” hiden gem” , yang menjual tempat cantik dengan  pemandangan eksotik,  namun tersembunyi juga marak akhir-akhir ini, seringnya mengadopsi gaya barat, ala kafe dengan perpaduan masakan tradisional atau murni menu barat. Namun terkadang tidak sesuai dengan ekspektasi, selain baru, terkadang sudah terlanjur promosi besar-besaran padahal satu pohon pun belum tumbuh tunas. Sehingga yang tersaji adalah pemandangan panas membakar yang tidak nyaman, atau malah seadanya serasa benar-benar hanya duduk di antara hamparan semak belukar. Satu lagi, harga terkadang tidak bersahabat. Bahkan lebih tidak masuk akal. Hanya untuk kekinian, memang inilah inovasi, namun tak ada salahnya bukan jika bukan hanya prestise yang dijual?

 

Terakhir, boleh berkuliner, namun tetap on the track, itu prinsipnya. Back to Nature tapi tak menghilangkan konsep kesederhanaan. Dan kita boleh berbangga dengan katanya kuliner Nusantara. 

Artikel Lainnya

Pemerataan Pembangunan Desa, Akankah Menjadi Realita?

Realitasnya bahwa tak semua desa mampu secara finansial membiayai pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri. Meski ada program Dana Desa yang konon katanya adalah bentuk perhatian pemerintah nyatanya terselip motif lain yaitu neoliberalisme ekonomi melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh tiap desa di negeri ini. Rupanya dibalik program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa di dasarkan pada untung dan rugi.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *