Kendaraan Mewah Penguasa, Jurang Sosial Makin Tercipta
Pengadaan kendaraan dinas para pejabat tengah santer menjadi sorotan. Belum lama ditetapkan anggaran fantastis untuk kendaraan dinas Plt DKI Jakarta dan Ketua DPRD DKI Jakarta. Anggaran kendaraan tersebut mencapai Rp 4,74 Milyar (republika.com, 2/3/2023). Fantastis! Anggaran ditetapkan diambil dari APBD (Anggaran Pembiayaan Belanja Daerah).
Tentu hal ini membuat masyarakat Jakarta ketar-ketir. Bagaimana tidak? Di tengah masalah rakyat Jakarta yang menggunung, kasus banjir yang belum juga terselesaikan, kemiskinan kian melangit, pengangguran semakin merebak. Tak ayal, kriminalitas dan kejahatan pun semakin mengancam. Diperparah dengan penetapan mobil dinas pejabat yang menciptakan kecemburuan sosial yang kian dalam.
Menurut anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI, Gembong Warsono, nantinya Pak Heru akan mendapatkan 2 mobil, yaitu Jeep dan Land Cruiser (opisisicerdas.com, 4/3/2023). Dan semua penetapan anggaran kendaraan dinas telah sesuai dengan peraturan yang ada, yaitu Permendagri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standardisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah.
Seluruh penetapan ini memantik kontroversi di tengah masyarakat. Salah satu pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, menilai ide pengadaan kendaraan dinas bagi pejabat yang terlampau mahal, adalah ide konyol (republika.com, 3/3/2023). Pasalnya jalanan Jakarta sudah mulus. Tak membutuhkan pengadaan jenis mobil offroad. Djoko pun menjelaskan mobil Jeep tak cocok dijadikan kendaraan dinas. Lagipula, kendaraan dinas yang ada pun masih layak digunakan. Demikian lanjutnya.
Sejatinya, pemimpin merupakan pelayan rakyat, yang seharusnya menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama. Saat rakyat terhimpit begitu banyak masalah, pemimpin selayaknya mengatasi masalah dengan kecerdasan, kekuatan serta kewenangannya. Bukannya malah memikirkan kesenangan pribadi dengan pengadaan “suatu barang mewah” yang tak berhubungan dengan pelayanan kepentingan rakyat. Sungguh, kendaraan dinas yang terbilang mewah ini pun bukan prioritas dalam pelayanan rakyat.
Inilah watak pemimpin yang dibentuk dalam sistem kapitalisme. Segala kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki dimanfaatkan demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Wajar saja, saat kecemburuan sosial kian nampak di tengah kehidupan bermasyarakat. Semua regulasi yang ditetapkan pun hanya disetting agar sesuai keinginan para penguasa dan pemilik modal. Tanpa peduli standar benar suatu perbuatan. Yang dipikirkan hanya manfaat dan keuntungan belaka. Sementara rakyat pontang-panting memenuhi segala mahalnya kebutuhan hidup.
Sistem kapitalisme berbanding terbalik dengan sistem Islam. Berbeda secara diametral. Sistem Islam menetapkan bahwa tugas para pemimpin adalah pengayom umat. Pelayan seluruh kebutuhan umat. Bukan musuh dalam selimut. Watak pemimpin pun dikriteriakan harus penuh iman dan takwa kepada Allah SWT. Karena dengan ketakwaannya, pastilah seorang pemimpin memprioritaskan kepentingan rakyat di atas segalanya, termasuk kepentingan pribadinya. Segala kekuasaan dan kewenangan digunakan untuk melayani rakyat sepenuh hati. Menjaga keamanan dan terjaminnya seluruh kebutuhan rakyat.
Karena pemimpin dalam sistem Islam, menyadari bahwa setiap kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak. Sistem Islam yang sempurna dalam wadah institusi Khilafah Islamiyyah. Dalam institusi tersebut, setiap syariat Islam yang Allah SWT. perintahkan, akan sempurna diterapkan dalam hal kepengurusan umat.
Tentu kita masih ingat dengan kepemimpinan Khulafaur Rasyidin yang abadi, sepanjang masa. Kisah lilin Sang Khalifah Umar bin Al Khaththab, yang membedakan lilin untuk penerangan, saat salah satu gubernurnya yang mendiskusikan masalah umat. Sementara, di kala membicarakan masalah pribadinya, Sang Khalifah Umar, mengganti lilin umatnya dengan lilin pribadinya, yang nyaris tak bercahaya. Begitu amanah sang Khalifah menggunakan harta milik rakyat demi urusan rakyat saja. Dan tak mencampurnya dengan lilin pribadi, yang notabene harta pribadinya. Wallahu a’lam bisshowwab
Komentar