Ketika Allah Bertanya, ” Masihkah Belum Saatnya?”

Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik“. (TQS al-Hadid 57:16). 

 

Pertanyaan Allah SWT di atas bukan sekadar retorika belaka. Allah yang Maha Tahu, Maha Berkehendak dan memiliki Lauhul Mahfuz semestinya tak perlu menanyakan, sebab jika pun semua orang kafir itu tak mengurangi kemuliaan dan kesucian Allah. Rasulullah Saw bersabda, “Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertaqwa, hal itu sedikitpun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan-Ku“. (HR. Muslim, No. 2577).

 

Demikian pula firman Allah SWT yang artinya,”Hai manusia, kamulah yang sangat butuh kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15). Makin menegaskan bahwa pertanyaan dalam ayat ke-16 surat al-Hadid hanyalah ajakan kasih sayang kepada manusia agar hanya berserah dan taat sebaik-baiknya taat, sebab hanya amal itulah yang mengantarkan ke surga. 

 

Pertanyaan pun disambung dengan “bagi orang-orang beriman”, sebab memang karakter orang beriman mendahulukan kebaikan dari keburukan. Ia mendahulukan Allah SWT dibanding lainnya, seluruh kegiatannya berporos pada akidah, halal dan haram, bukan yang lain. Sebab, orang beriman akan menyadari bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara, hanya tempat berbekal sebab akhiratlah tempat kembali yang abadi. Setiap perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban. Iman menjadi timbangan apakah manusia itu layak mendapatkan surgaNya Allah atau tidak. 

 

Namun, lemahnya manusia, seringkali terjebak pada Allah Maha Tahu, Allah Maha berkehendak dan apapun amal manusia telah di tulis di Lauhul Mahfuz, sehingga melemahkan dia yang semestinya bisa menjadi lebih produktif dalam beramal. Merasa rezeki sudah ada yang mengatur (Allah) tak berusaha menjemput dan hanya menunggu, merasa sudah ditakdirkan Allah menjadi ibu rumah tangga mana mungkin menjadi pendakwah misalnya, mengatakan mualaf lebih rajin menuntut ilmu daripada yang lahir dalam keluarga Islam, merasa tak perlu memperbaiki masyarakat sebab sudah digariskan Allah menjadi umat yang terburuk, dan percaya suatu saat Islam akan menerima kemenangan. 

 

Percaya rizki di atur Allah, kejayaan Islam telah dijanjikan pasti datang tanpa harus ribet berjuang dan mensosialisasikan dan lainnya memang wajib, malah jika tanpa keimanan (percaya) kita akan jatuh pada kefasikan. Namun, iman tanpa upaya sama sama sekali tak bisa mencapai tujuan. Disinilah Allah memberi karunia pilihan. Dimana kita bisa memilih sekehendak hati kita. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)“. (TQS Al Balad :10). Jelas, hanya ada dua jalan, tak ada jalan ketiga dan selainnya. Dan ketika menetapkan dua jalan itu, Allah sekaligus telah menyiapkan perangkat ( modal) bagi manusia untuk menjalaninya, sesuai pilihannya.

 

Untuk pilihan itu, Allah SWT pun sudah memberikan modal kepada kita sebagaimana firman Allah SWT yang artinya,” Dan sungguh, Kami telah meneguhkan kedudukan mereka (dengan kemakmuran dan kekuatan) yang belum pernah Kami berikan kepada kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah dan (ancaman) azab yang dahulu mereka perolok-olokkan telah mengepung mereka.” (TQS al-Ahqaf 46:26). Sehingga bisa dikatakan tak ada lagi alasan bagi manusia untuk mengatakan aku sudah ditakdirkan begini begitu tanpa ada amal apapun. Justru Allah menginginkan kita fastabikul Khoirot, berlomba-lomba dalam kebaikan untuk bekal di akhirat kelak. 

 

Berapa banyak manusia yang merugi, tak menggunakan apa yang dikaruniakan Allah dari pendengaran, penglihatan dan hati. Kemudian mengatakan belum mendapat hidayah, lantas, apa yang dimaksud bahwa Alquran adalah al-Huda (petunjuk)? Inilah fakta pilihan di atas, manusia sendiri yang enggan memilih menjatuhkan dirinya dalam ketaatan, mengikuti kebenaran dari Allah dengan membaca, memahami dan menerapkan Alquran. Terutama setelah sebagian dari Kaum Muslim hari ini justru bersikap sekuler, memisahkan agama dari kehidupan. Menukar fungsi Alquran sebagai pedoman hidup dengan aturan manusia yang lemah dan terus menerus menimbulkan penderitaan. 

 

Memang, selain manusia memiliki pilihan atau kehendak bebas, ia juga memiliki pilihan tak bebas, atas kejadian atau perbuatan yang di dalamnya dia tak kuasa mengubah apapun, seperti jenis kelaminnya, warna rambut, bola mata, di keluarga siapa dilahirkan, tak bisa terbang, tak bisa hidup di air dan lain sebagainya. Untuk ranah ini manusia tak dimintai pertanggungjawaban sebab itu mutlak kehendak Allah. Lantas bagaimana hukumnya mereka yang mengganti kelamin karena merasa berada pada tubuh yang salah? Syariat menetapkan perlu ada penelitian, baik secara fitrah maupun secara medis, apakah ia ada kelainan genital atau tidak. Dalam istilah syariat disebut Khuntsa yaitu suatu keadaan ketika seorang individu memiliki dua kelamin dan tidak dapat diidentifikasikan apakah dia perempuan dan laki-laki. 

 

Jika tak ada tanda-tanda khuntsa jelas mengubah jenis kelamin adalah perbuatan haram, manusia itu mengubah apa yang sudah ditetapkan Allah. Maka sejatinya, jika kita seorang muslim dan menghendaki kebaikan dunia akhirat, harus berjuang merubah pemikiran kita, seoptimal mungkin dengan karunia yang telah diberikan Allah agar kita layak mendapatkan surgaNya. Karena Islam itu luas, tak hanya mengatur tentang ibadah mahdoh saja, namun juga mengatur aspek kehidupan manusia lainnya, baik ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan dan lainnya. 

 

Siapkah kita menjawab pertanyaan Allah dalam surat Al-Hadid di atas? Semestinya harus bisa. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir). 

 

Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang berfastabiqul Khoirot dengan semaksimal mungkin, semoga pula kita termasuk ke dalam orang-orang yang ditinggikan derajatnya karena konsisten menuntut ilmu, dan semoga kita dikumpulkan kelak bersama orang-orang Shalih dalam JannahNya. Aamiin. Wallahu a’lam bish showab. 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *