Syahwat Kuasa Kepala Desa Belum Padam

Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mengadakan demonstrasi di gedung DPR pada 17 Januari 2023 untuk meminta perpanjangan masa jabatan kepala desa, yang tadinya 6 (enam) tahun menjadi 9 (sembilan) tahun. Aksi tersebut menuai kegaduhan  nasional. Laman viva.co.id pada 5/2/2023 menyebut sebesar 35,8 persen perbincangan mengenai perpanjangan masa jabatan kepala desa dikaitkan dengan wacana penundaan pemilihan umum. Kemudian, sebesar 6,9 persen perbincangan mengaitkan topik perpanjangan masa jabatan dengan sejumlah partai yang haus kekuasaan.

Setelah sebulan berlalu, ternyata syahwat tersebut  belum padam. Laman jawapos.com pada 17/2/2023 menyampaikan  lebih dari 200 orang perwakilan para kepala desa se-Jawa Timur yang tergabung dalam Asosiasi Kepala Desa (AKD) dan Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) berkumpul di Surabaya untuk menyampaikan aspirasi kepada pengurus DPD PDI Perjuangan Jatim.

Para Kepala Desa meminta revisi terbatas atas pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Revisi tersebut mengenai masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dengan maksimal masa jabatan dua periode, sehingga jumlah akumulasi masa jabatan kepala desa menjadi tetap 18 tahun.

Jika ditilik dari argumentasi yang diajukan ternyata belum bergeser seinci pun dari upaya melanggengkan syahwat kuasa, dengan beralasan agar para kepala desa dapat fokus pada pembangunan fisik, agar terlihat kemajuan mengingat masa jabatan sebelumnya yang 6 tahun dipandang cukup pendek.

Pakar hukum tata negara Universitas Airlangga, Lanny Ramli menanggapi demonstrasi para kepala desa berpendapat, tuntutan penghapusan periodisasi dan perpanjangan masa jabatan kepala desa  merupakan upaya yang sangat tidak elok bahkan mencerminkan kerakusan para kepala desa untuk berkuasa selama mungkin.

Selain itu tak dapat dipungkiri bahwa terdapat kecenderungan para kepala desa untuk menikmati fasilitas dan anggaran yang diberikan negara dengan akuntabilitas yang buruk. Hal itu tampak pada data korupsi tingkat desa yang semakin memprihatinkan.

ICW dalam siaran persnya pada 27/1/2023 menyampaikan korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021. Sepanjang tahun tersebut terdapat 592 kasus korupsi desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.

Miris memang, karena disisi lain belum ada mekanisme pencegahan korupsi yang efektif di level desa. Sehingga aspirasi para kepala desa patut diduga akan semakin menyuburkan oligarki di desa dan politisasi desa termasuk untuk melanggengkan kekuasaan presiden. Hal ini karena telah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit kepala desa yang menjadi kepanjangan tangan partai politik.

Inilah realitas dari kebobrokan demokrasi yang juga menyasar desa. Kewenangan besar yang diberikan kepada kepala desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, alih-alih memberdayakan ekonomi desa  justru semakin memiskinkan desa karena menjadi bancakan aparatur pemerintah desa.

Oleh sebab itu kita membutuhkan terobosan yang cemerlang dalam menetapkan kualitas pimpinan meski untuk jabatan pengurusan desa. Sebagai Muslim tentu aturan Allah SWT menjadi tuntunan terbaik dalam kehidupan. Rasulullah SAW telah merumuskan kriteria umum bagi orang yang akan menjabat sebagai pejabat publik.

Diriwayatkan  dari Abdurrahman bin Samurah bin Junduh ra, ia mengatakan, “Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta kekuasaan. Sebab apabila kamu diberinya untuk menyelesaikan suatu urusan, maka kamu dituntut untuk menyelesaikannya. Dan apabila kamu diberi jabatan tanpa kamu minta, maka kamu akan ditolong karenanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, maka Rasulullah SAW menggunakan metode seperti ini dalam memilih dan mengangkat pemimipin. Diriwayatkan dari Abu Dzar ra ia mengatakan, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mempekerjakanku?” perawi melanjutkan ceritanya, “Kemudian beliau menepuk kedua pundakku dengan tangannya seraya mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu adalah orang yang lemah dan jabatan itu adalah amanah. Dan pada Hari Kiamat nanti, jabatan tersebut merupakan kesedihan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan menjalankannya sesuai dengan amanat yang diterimanya.” (HR. Muslim).

Inilah metode pendidikan dan kaidah Islam yang beradab dalam pengangkatan seorang pemimpin. Rasulullah SAW menempatkan seseorang berdasarkan kompetensi yang dimilikinya dan menjauhkan jabatan tersebut dari orang yang tidak mampu memikul tanggung jawabnya. Hal ini untuk menghindari agar orang-orang yang tidak layak tidak mengambil posisi tersebut sekalipun mereka adalah kerabat atau sahabat dekat.

Terkait aspirasi kepala desa yang belum padam  ini, menarik apa yang telah di tempuh Khalifah Umar bin Khathab dalam menyeleksi pemimpin dan para pegawainya. Umar tidak akan mengangkat seseorang sebagai pegawai pemerintahan kecuali setelah mengujinya secara terbuka maupun rahasia untuk memastikan kelayakannya. Umar mensyaratkan agar mereka adalah orang yang tidak akan menutup pintu untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat.

Nah, uniknya, Umar tidak akan memberikan jabatan kepada seseorang yang memintanya. Dalam hal ini ia mengatakan, “Barangsiapa meminta masalah ini, maka ia tidak akan diangkat untuknya.”

Di alam sekulerisme demokrasi hal yang demikian tidak dianggap penting, kekuasaan diberikan selayaknya membagi-bagi kue kemenangan. Tak dapat disangkal bahwa gegap gempita demokrasi level desa tidak sejalan dengan kapasitas dan kompetensi kepala desa, pun demikian dengan kualitas pendidikan atau tindak tanduk mereka sebagai teladan. Akhirnya sebagian besar mereka terseret kasus hukum dan moral.

Terbaru menimpa seorang kepala desa di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, dimana  yang bersangkutan adalah salah satu orator paling vokal dalam demonstrasi yang dilakukan para kepala desa di Jakarta sebulan lalu, ditangkap karena menjadi bandar sabu untuk menutupi kegagalan proyek desa yang digarapnya (tribunnews.com pada 18/2/2023).

Inilah realitas demokrasi desa, ketika kasus para kepala desa berderet-deret, mereka bahkan tidak malu untuk meminta aspirasi syahwat kekuasaannya didengar  dan diaminkan.

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *