Kemuliaan Guru Dalam Islam
Kemuliaan Guru Dalam Islam
Oleh Gina Ummu Azhari
Aktivis Dakwah dan Guru Madrasah
Seorang guru memiliki peranan yang amat besar dalam mencerdaskan generasi bangsa. Atas bimbingannya lahirlah dokter, polisi, juga profesi lainnya. Namun faktanya, saat ini kemuliaan jasanya tidak selalu sebanding dengan penghargaan yang diterima. Seperti yang dialami oleh seorang tenaga didik honorer di sebuah Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung bernama Desti Sukmawati (48). Setelah 14 tahun masa pengabdian, nasibnya masih menggantung tanpa kejelasan. Harapan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil sangatlah tipis. (Kompas.com 25/12/2022)
Beginilah potret buram nasib guru dalam sistem kapitalis. Apa yang dialami Desti hanya satu dari sekian banyak kisah pilu “pahlawan tanpa tanda jasa”. Di tengah kesibukannya sebagai pendidik, mereka harus tetap berusaha memenuhi kebutuhannya. Karena gaji yang diterima sangat tidak memadai, sehingga tidak sedikit yang mencari pekerjaan sampingan. Ada yang bekerja sebagai pedagang, tukang ojek bahkan pemulung. Bahkan ada yang hanya menerima gaji sebesar 300 ribu rupiah saja.
Guru honorer sejatinya membantu sekolah-sekolah yang kekurangan tenaga pengajar yang berstatus PNS. Maka keberadaannya tidak bisa dipandang sebelah mata karena porsi mengajar dan tanggung jawab mereka pun hampir sama dengan guru PNS. Namun sayang, upah yang diterima sangat jauh berbeda dengan guru PNS, karena berbeda status.
Di tahun 2022 ini Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mencanangkan program Pekerja Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Hanya saja tidak semua guru honorer bisa lolos. Adanya tes masuk dirasa menyulitkan bagi usia lanjut. Tidak hanya itu karut marut PPPK ini juga muncul dari segi anggaran honornya yang konon membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Wacana menyejahterakan guru nampak belum dipersiapkan matang. Pusat membuat program, daerah merasa terbebani. Nasib guru honorer dipertaruhkan.
Hal ini sangat mungkin terjadi dalam sebuah sistem kapitalis yang berdiri atas asas sekularisme. Minimnya pemasukan bagi kas negara mengakibatkan negara tidak bisa maksimal mengurusi rakyat termasuk guru honorer. Kesejahteraan masih jauh dari bayangan. Mengharap sekedar upah sesuai dengan keringat yang dicurahkan belum kesampaian. Padahal sumber daya alam melimpah. Sayangnya karena diserahkan pengelolaannya kepada swasta atau para kapital, negara hanya kebagian sekedarnya. Belum lagi kasus korupsi tinggi semakin kesulitan negara memenuhi harapan rakyat.
Peran negara dalam sistem kapitalis hanya sebagai pembuat regulasi yang justru menguntungkan kelompok tertentu saja. Sesuai dengan arti kata capital yang merupakan asal kata kapitalis yakni modal, maka hanya menguntungkan sekelompok pemilik modal. Dan rakyat termasuk guru honorer harus berjuang masing-masing memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berbeda halnya dengan kebijakan yang diambil oleh negara Islam. Di masa Kekhilafahan Umar Ibn Khattab, seorang guru yang mengajarkan Al-Quran untuk anak-anak diberikan gaji sebesar 15 dinar (1 dinar setara dengan 4,25 gram sekitar Rp 31.875.000 jika harga emas per gramnya Rp 500.000). Pada masa Abbasiyah honor seorang guru mencapai 100 dinar per bulan.
Dalam sistem atau Negara Islam tidak dikenal guru honorer. Semua guru statusnya sama, maka akan diperlakukan sama oleh negara.
Kemampuan sistem Islam memberi upah yang sangat layak kepada semua guru tanpa membeda-bedakan karena menerapkan kebijakan sistem ekonomi Islam. Ekonomi Islam tentu saja akan efektif menyejahterakan rakyat ketika ditopang oleh sistem lainnya, seperti pemerintahan, hukum, moneter, dan yang lainnya, yang semuanya bersumber dari akidah Islam.
Inilah sistem Islam yang mengutamakan pendidikan dan menghargai jasa seorang guru. Dengan upah yang cukup akan fokus kepada anak didiknya. Maka hasilnya peradaban Islam di masa itu sungguh gemilang dengan lahirnya ilmuan-ilmuan muslim seperti Ibnu Sina yakni bapak kedokteran, Al Khawarizmi penemu logaritma, Abbas Ibnu Firnas penemu mesin penerbangan pertama, Maryam Astrolabi yang ahli di bidang astronomi, Fatimah Al Fihri pendiri universitas pertama di Cordoba.
Dalam Islam pemimpin negara adalah raa’iin (pengurus rakyat) pengurus urusan rakyat dan juga pelindung baginya. Negara wajib mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat termasuk guru. Karena kepemimpinan itu kelak akan di pertanggung jawab kan di hadapan Allah Swt. Dalam salah satu hadis Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya…“ (HR Muslim)
Selain itu Islam memerintahkan untuk memuliakan guru. Rasulullah saw bersabda seperti yang tercatat dalam kitab Lubab Al Hadis oleh Imam Jalaludin Al Suyuthi :
“Barang siapa memuliakan orang berilmu (guru), maka sungguh ia telah memuliakan aku. Barang siapa memuliakan aku, maka sesungguhnya dia telah memuliakan Allah. Barang siapa memuliakan Allah, maka tempatnya di surga”
Demikianlah, betapa Islam mendudukan posisi guru di tempat yang mulia dan terhormat. Maka untuk mewujudkan kesejahteraan guru hanya dapat dilakukan dengan menerapkan aturan Allah Swt. secara keseluruhan dalam naungan sebuah kepemimpinan Islam.
Wallahu A’lam Bi Ash-showab.
Komentar