Korupsi, Bak Pesan Berantai, Makin Banyak yang Terjerat

Dilansir dari Suara Surabaya Media, KPK menangkap Abdul Latif Amin Imron, Bupati Bangkalan, pada Rabu, 7 Desember 2022, karena menjadi tersangka kasus suap lelang jabatan di Pemerintah Daerah Bangkalan, Jawa Timur. Selain Abdul Latif, KPK juga menangkap pihak lain yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Ali Fikri Kepala Bagian Pemberitaan KPK mengatakan hal itu untuk kebutuhan penyelesaian perkara. 

Kapitalisme Ciptakan Kerakusan Sekaligus Tak Berhati Nurani

Berita ini tak terlalu booming, seolah masyarakat sudah bisa menebak arah penegakan hukum para terdakwa itu dan saking banyaknya peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) tindak korupsi di negeri ini. Tinggal menunggu momen dan giliran saja, sebab, pelaku korupsi kini merata tak hanya menimpa para pejabat, namun juga menyadar kalangan intelektual, politis partai, pimpinan ormas, hingga penegak hukum. Begitu merajalelanya apa penyebabnya? Benarkah hanya karena kelalaian individunya saja? 

 

Terlebih ketika DPR RI sah menjadikan RKUHP pengganti undang-undang buatan Belanda menjadi UU positif di Indonesia. Yang pengesahannya mengundang tanda tanya karena hanya dihadiri 18 anggota langsung sementara 285 lainnya absen. Seolah terburu-buru meski di dalamnya banyak pasal karet yang punya potensi memberangus kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh demokrasi sendiri. 

 

Meski Yasona Laoly, Menteri Hukum dan HAM menyatakan KUHP yang baru efektif 3 tahun sejak tahun diresmikan, artinya akan benar-benar resmi tahun 2025, namun akankah pasal yang dianggap bermakna karet karena tergantung siapa yang menterjemahkan itu akan direvisi atau bahkan dihapus? Misal pasal tentang hukuman bagi pelaku korupsi, dipasal 603, yaitu mengatur sanksi pidana bagi orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, maupun korporasi yang merugikan negara atau perekonomian negara. Pasal ini menyatakan, pelaku dihukum penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun. Pelaku juga dihukum denda minimal Rp 10 juta dan maksimal kategori VI atau Rp 2 miliar.

 

Hukuman lebih ringan dua tahun dibandingkan Undang-Undang (UU) Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1999 maupun 2001. Pelaku juga diancam denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Lebih mirisnya jika menunjukkan perilaku baik akan mengurangi jumlah hari kurungan penjaranya bahkan bebas. Apakah akan ada keadilan jika pelaku tindak kriminal mendapatkan hukuman yang samasekali tidak menjerakan? 

 

Disinilah HAM berbicara, seolah-olah membela sisi kemanusiaan manusia yang jelas melakukan tindak korupsi, tak melihat dampak di masyarakat bagaimana rusaknya akibat aliran dana tak halal ini. Berikut perilaku yang tidak mengedepankan aklak masihkan dikatakan tak ada pelanggaran hak asasinya? Pelaku korupsi seringkali kaum kaum muslim, seolah menambah buruk citra Islam di mata masyarakat. Agama yang menunjukkan kebodohan, intoleransi, radikal, miskin, korup dan lain sebagainya. 

 

Padahal, kapitalisme lah biangnya , yang menjadikan setiap pengembannya rakus bin tamak terhadap kekayaan dunia. Standar perbuatannya bukan lagi halal atau haram, namun manfaat. Dalam kasus bupati Pamekasan ini adalah suap jual beli jabatan di pemerintahan daerahnya. Fakta ini menggambarkan bahwa sejahtera itu hanya jika berstatus PNS. Sehingga segala cara dilakukan termasuk jual beli jabatan. Mereka lupa bahwa setiap jabatan membawa konsekwensi, bukan hanya harta namun juga tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. 

 

Kapitalisme menjadikan akses ekonomi hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal besar, pasca pandemi Covid-19, banyak perusahaan gulung tikar sehingga memaksa mereka memangkas biaya produksi, yang paling rentan adalah pengurangan pegawai atau pekerja melalui PHK. Negara tidak mampu mengantisipasi keadaan ini secara tepat, buktinya terus menerus menggembar-gemborkan investasi untuk perbaikan negeri. Secara logika seharusnya ada banyak lapangan pekerjaan terbuka akibat kebijakan ini, nyatanya, investor asing, masuk ke Indonesia, teken kontrak kerjasama dalam hal eksplorasi dan padat karya tenaga kerjanya, jelas saja tenaga kerja kita tidak terpakai. Pun tenaga “murah’ output sekolah vokasi yang digadang mampu menjadi Pioneer ekonomi berikutnya. 

 

Kesulitan mendapatkan pekerjaan, sebab sempitnya lapangan pekerjaan mestinya menjadi pemikiran negara, bukan terus menerus membuka diri untuk asing, sehingga wajar ketika pekerjaan ASN menjadi idola, terbayang cerahnya masa depan dibandingkan dengan menjadi petani, nelayan, ahli elektro, guru les, penjahit dan lain sebagainya. Inilah yang membuka celah terjadinya jual beli jabatan. Parahnya, di aspek lain sebenarnya juga telah terjadi praktik yang sama, di dunia pendidikan ketika zonasi tak mampu memeratakan akses pendidikan bagi siswa, di kepolisian hingga memilih pemimpin pun ada sejumlah tarif yang harus dibayar agar bisa lolos dari bursa pemilihan pemimpin. Ya, demokrasi adalah politik berbiaya mahal. 

Islam Solusi Korupsi Habis Tak Bersisa

Dalam pandangan Islam, korupsi, nepotisme, kolusi, gratifikasi dan lainnya adalah tindak kriminal yang pelakunya harus diberi sanksi hukum yang setimpal. Terlebih ketika semua amal diatas dilakukan oleh pejabat yang seharusnya menjadi pelayan umat dan teladan keutamaan aklak dan kepribadian. Sifat pemimpin yang demikian adalah buah dari ketakwaan. Ketakwaan individu dan masyarakat butuh negara yang bisa menyokong tumbuh dan terpeliharanya sifat tersebut. 

 

Pertama dengan memberlakukan sanksi dan hukum yang tegas. Islam tidak mentolirer sikap curang atau tidak jujur, terutama ketika memegang sebuah amanah kekuasaan. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang. Rasulullah Saw bersabda, “Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari no. 4304 dan Muslim no. 1688).

 

Kedua, dengan rutin menghitung kekayaan para pejabat negara. Dari ketika pertama diangkat, pada saat menjabat hingga sudah berhenti. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.

 

Ketiga, memberikan gaji yang layak pada para pegawai, santunan bagi para penguasa dan di sisi lain, menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyat tanpa terkecuali, baik ekonomi, pendidikan ,kesehatan, sandang, papan dan pangan. Termasuk membuka berbagai lapangan pekerjaan, atau menerapkan mekanisme pemberian Daulah dari kas Baitul mall agar masyarakat produktif. Bekerja dengan mudah sesuai minat dan bakatnya. 

 

Keempat, memberikan teladan dan edukasi kepada umat secara konsisten, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang membedakan aduan masyarakat dengan urusan pribadi. Jika pribadi maka Umar langsung mematikan penerangan dengan alasan tidak boleh memakai hal rakyat. Hari ini, hal ini tidak terwujud ,justru para pejabat sibuk menjual pulau padahal itu adalah hal milik umum bukan pribadi. 

 

Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.” (Riwayat Muslim). Hanya Islam yang dapat menyelesaikan merajalelanya korupsi, lelang jabatan dan lainnya yang dianggap penyalah gunaan kekuasaan sekaligus melanggar hukum syariat. Wallahu a’lam bish showab. 

Artikel Lainnya

Korupsi Bak Penyakit Akut, Sembuhkan Dengan Solusi Komprehensif

Kasus korupsi bak penyakit akut yang seolah tak memiliki penawar. Faktanya, jelajah korupsi di negeri ini kian membumbung tinggi, bukan hanya laki-laki, perempuan pun ikut aktif dalam kasus tersebut. Berbagai strategi telah dilakukan, mulai dari studi banding, mendirikan lembaga antikorupsi, hingga merumuskan regulasi yang bersifat preventif dan penetapan sanksi bagi para koruptor. Nihil, strategi dan regulasi yang dilakukan sedikitpun tidak memberikan dampak mengguritanya kasus korupsi.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *