Dari G20 Berlanjut ke KTT APEC, Untuk Siapa?
Keanggotaannya pun tak beda dengan G20, yaitu antara negara maju dan negara kurang maju atau miskin seperti Australia, Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Thailand, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.
Dalam kacamata kapitalis, dunia hanya terbagi menjadi dua, yaitu negara produsen dan konsumen. Dimana negara produsen memiliki produktifitas tinggi dan pasar strategisnya adalah negara konsumen. Maka, salah satu upaya agar proses produksi dan pemasaran tetap berjalan konsisten, negara pengemban kapitalisme akan berusaha menjadi pasar di antaranya dengan membentuk sebuah kerjasama. Baik ekonomi maupun politik. Tujuannya tidak lain hanyalah memudahkan negara maju mengendalikan negara miskin.
Swbagai negara pengemban kapitalisme, jelas tak mengenal halal haram, pun tak mengenal hak kepemilikan atas sesuatu barang. Asalkan mereka memiliki modal dan akses untuk mendapatkannya, maka akan dilakukan sekalipun itu hak orang banyak atau kepemilikan umum.
Apa yang kemudian di dapatkan Indonesia sejak bergabung dalam KTT APEC? Yaitu Indonesia mampu meningkatkan investasi dan intensitas perdagangan internasional. Hal tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan nasional. Entahlah, jargon kosong manalagi yang hendak dipermainkan oleh pejabat negeri ini. Tanpa di dasarkan pada data statistik saja, sebetulnya setiap kebijakan APEC yang diratifikasi oleh negara tidak pernah menyentuh kesejahteraan rakyat, sebab memang samasekali tidak menyentuh maslahat masyarakat banyak, kecuali bagi penduduk di sekitaran lokasi dilakukannya even tersebut.
Maka, apakah ini pujian atau sesungguhnya sebuah keironian tingkat tinggi? Karena persoalan umat yang sebenarnya sedang mereka hadapi adalah kemiskinan, tingkat pengangguran yang tinggi, kesenjangan sosial yang kian lebar. Belum lagi dengan konflik sosial, ras dan budaya berikut bahasa serta hilangnya rasa aman masyarakat. Sejatinya sistem aturan hari ini hanyalah memberikan kesengsaraan yang terus menerus dan berkelanjutan.
Sangat kentara sekali aroma kapitalisme kembali terendus dalam kerjasama ini, sebagaimana G20 yang diklaim oleh menteri Maritim dan investasi Luhut Pandjaitan telah mendatangkan banyak dampak ekonomi yang luarbiasa, terlebih dengan posisi Indonesia sebagai presiden G20 tahun 2022 diklaim memberikan kesegaran bagi masa depan bangsa Indonesia. Terbukti pula dengan banyaknya keinginan bekerja sama bilateral dengan Indonesia.
Sekali lagi, dengan banyaknya negara barat mengambil kerjasama bilateral dengan Indonesia tak lain dan tak bukan adalah mereka hanya memastikan efisiensifitas bisnis atau investasi mereka. Sesuai konsep mereka dengan modal yang sekecil-keciknya untuk keuntungan yang sebesar-besarnya. Bagaimana tidak menggiurkan jika Indonesia yang kaya akan SDA yang menjadi unsur terpenting sebuah produksi berikut melimpah pasokan energinya sekaligus tempat untuk mendirikan pabrik atau bangunan penunjang produksi. All in one, all can you eat. Satu paket komplit. Siapa yang tidak tertarik?
Hanya itulah alasan utama negara maju memanfaatkan negara berkembang atau miskin. Maka diikatlah mereka dalam satu kelompok atau komunitas kerjasama. Agar mudah dikendalikan dan diawasi. Sedangkan dampak dari kerjasama itu samasekali tidak difikirkan.
Kerusakan lingkungan, bencana alam dan tergerusnya sosial budaya karena adanya pembangunan industrial yang rakus dan tak manusiawi seringkali menimbulkan gesekan dan ketimpangan. Bukankah apa yang dituntut KKB di Papua lepas dari NKRI karena tidak sejahtera, padahal mereka ibarat hidup di tengah lautan mineral dan gunung emas?
Maka, semestinya hal ini menjadi perhatian kaum Muslim. Bukan hanya nampak kemegahan kerjasama yang mampu menghadirkan para petinggi negara dunia, atau perhelatan sajian Nusantara yang mewah, pakaian batik yang menjadi pakaian para peserta, dan lainnya namun ide dasar yang melatar belakangi kerjasama itu, yaitu neoliberal atau penjajahan gaya baru.
Dampaknya jelas lebih kejam dari perang mengangkat senjata, sebab setiap orang akhirnya kehilangan haknya atas barang tambang dan kekayaan alam lainnya, melarat secara sistemik, depresi dan ujungnya bunuh diri karena tak kuasa menanggung hidup yang berat. Negara lagi-lagi hanya menyajikan keindahan periayaan (pengurusan) untuk investor.
Rakyat hanya dapat penderitaan bahkan menjadi tumbal pembiayaan semua biaya operasional negara termasuk bayar utang negara. Melalui pajak.
Tidak ada cara lain kecuali mencabut sistem kapitalisme yang rakus ini dan menggantinya dengan sistem yang berasal dari Sang Maha Hidup, Allah SWT. Dalam pandangan Islam, bekerja sama dengan negara yang jelas-jelas memusuhi Islam dan kaum muslim adalah haram, maka mengundang dan menjamunya adalah juga haram. Terutama bekerja sama dalam rangka menguatkan perekonomian namun justru melemahkan kedaulatan dan kemandirian negara itu juga haram.
Negara, dalam pandangan Islam wajib menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya individu perindividu dari harta yang terkumpul di Baitul Mal, yang baik pos pendapatan dan pengeluarannya telah ditentukan oleh syariat.
Sektor ekonomi Islam juga berbasis sistem keuangan riil, bukan surat berharga yang wajib diakui sebagai uang juga bukan pinjaman beriba. Namun murni melalui muamalah yang sah. Sungguh, tidak ada kemuliaan dan kesejahteraan dengan menggunakan metode yang bukan berasal dari Islam. Sebagaimana firman Allah swt yang artinya, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah :50). Wallahu a’lam bish showab.
Komentar