TFFF, Komitmen untuk Negeri Kian Terabaikan

SuaraNetizenIndonesia–Definisi terluka tapi tak berdarah kini yang kiranya dirasakan oleh masyakat korban banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatera. Di saat semuanya belum stabil, krisis bahan pangan dan air bersih, juga tak ada listrik, harta benda hanyut bersama banjir, bahkan rumah, ladang dan hewan ternak mereka ludes tertimbun lumpur bekas banjir, Pemerintah kita teken komitmen dalam upaya global melindungi hutan tropis dengan menyumbang sebesar 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp16,62 triliun (kurs Rp16.629/dolar AS) ke Tropical Forest Forever Fund (TFFF).

 

Komitmen tersebut disampaikan oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belem, Brasil. TFFF adalah dana abadi ( endowment fund) yang akan diinvestasikan di pasar keuangan global, hasilnya akan disalurkan kepada negara-negara yang memiliki hutan tropis dalam rangka konservasi.

 

Hashim menegaskan, sumbangan ini merupakan tindak lanjut dari komitmen (matching commitment) pemerintah mendukung inisiatif Presiden Brazil, yaitu menggalang dana khusus untuk memelihara, memulihkan kembali, merestorasi, dan merawat hutan-hutan tropis yang dalam keadaan kritis. Namanya Tropical Forest Forever Fund (TFFF) (tirto.id, 2-12-2025).

 

Setelah Indonesia, kemudian disusul kontribusi dari pemerintah Norwegia sebesar 3 miliar dolar AS dalam kurun 10 tahun serta komitmen dari Republik Demokratik Kongo (DRC), Kongo-Brazzaville, negara-negara wilayah Amazon di Amerika Selatan, dan negara-negara lain.

 

TFFF Jebakan Proyek Kapitalisme Yang Kesekian Kali

 

Sungguh ironi, dua negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia ini bersanding mengumpulkan dana untuk atasi deforestasi, Brasil secara konsisten menempati peringkat pertama dengan kehilangan tutupan pohon terbesar, terutama karena kebakaran dan pembukaan lahan untuk agrikultur di Amazon.

 

Sedangkan Indonesia secara konsisten menempati peringkat kedua, kehilangan jutaan hektare hutan primer, dengan data terbaru menunjukkan sekitar 10,7 juta hektare antara 2002-2024. Semua karena aktifitas perkebunan, pertambangan, pembalakan liar dan konvensi lahan yang sudah di ambang batas normal. Bahkan cenderung liberal tanpa aturan. Atau lebih tepatnya, negara membuat aturan yang semakin membuka jalan lebar praktik-praktik rakus tadi.

 

Yang jelas, kembali jebakan Kapitalisme telah memerangkap negara-negara di dunia. Pengumpulan dana yang berakhir proyek, atas nama konservasi dan lainnya. Pertanyaannya, mengapa harus ada penggalangan dana jika akar persoalannya samasekali tidak disentuh? Mengapa tidak kosentrasi saja dengan kondisi hutan di dalam negeri yang gundul dan jelas-jelas telah mengakibatkan bencana yang begitu dahsyat.

 

Memalukannya, pejabat di negeri ini sibuk saling menyalahkan, tak mau menerima bantuan negara lain, malah nyinyir ketika ada rakyat yang menggalang dana demi cepatnya pertolongan diberikan kepada para korban bencana. Dan hingga kini bencana di Sumatra belum kunjung dinyatakan sebagai bencana nasional, jelas ada banyak hal yang ditutupi dan membuktikan ketidakmampuan negara menyelesaikannya. Bahkan ada banyak nama bakal terseret sebagai pesakitan atau sekadar kambing hitam.

 

Saatnya Kembalikan Pengaturan Hutan Kepada Islam

 

Dalam pandangan Islam, hutan adalah salah satu harta kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan umat. Hari ini yang menjadi persoalan adalah Izin konsesi kawasan hutan yang diberikan kepada korporasi. Pemberian konsesi ini adalah konsekuensi dari penerapan Sistem Kapitalisme di negeri ini. Dengan kata lain, negara melegalkan pemberian hingga pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan kepada swasta.

 

Hal ini bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw.,” Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api“. (HR Abu Dawud dan Ahmad).

 

Hutan boleh dimanfaatkan secara langsung dan bersama-sama oleh seluruh masyarakat. Namun, apabila dinilai berpotensi menimbulkan kerusakan atau konflik di tengah masyarakat maka pengelolaan ini wajib diambil alih negara. Hanya saja pengelolaan yang dilakukan negara bukan dengan tujuan bisnis, melainkan dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung ataupun dalam bentuk pelayanan dan pembangunan fasilitas publik.

 

Hutan kita ketahui memiliki banyak fungsi ekologis. Jika rusak tidak mungkin diperbaiki hanya dengan reboisasi. Oleh karena itu, hanya Khilafah yang bisa menghentikan keserakahan manusia. Khilafah akan mengkaji jika pemanfaatan hutan di sebuah wilayah akan menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat, maka Islam diperbolehkan untuk menetapkannya sebagai kawasan Hima dalam rangka konservasi.

 

Kawasan Hima ini pun secara otomatis tidak boleh dieksplorasi untuk memberikan kemanfaatan lebih luas dalam jangka panjang bagi kehidupan masyarakat. Kita butuh pemimpin yang tidak hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator kebijakan. Yang seringnya berpihak hanya kepada korporasi atau investor asing. Kita butuh pemimpin yang mampu menjamin rakyatnya sejahtera, mewujudkan pemimpin yang demikian adalah bagian dari akidah kaum muslim.

 

Allah SWT. berjanji, “Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka itu.” (TQS. Al-A’raf [7]: 96). Wallahualam bissawab. [SNI].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Raja Ampat Terluka Sebab Keserakahan Penguasa

Dalam Islam tidak ada kompromi untuk kerusakan lingkungan. Pulau kecil dengan daya dukung terbatas yang apabila dilakukan aktivitas penambangan akan menimbulkan kerusakan lingkungan, maka hukumnya haram untuk dieksploitasi. Pulau kecil termasuk ke dalam kepemilikan umum bukan milik negara. Sehingga negara tidak memiliki hak untuk memonopoli demi kepentingan segelintir orang atau memperjualbelikan demi keuntungan sepihak.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *