Banjir dan Longsor Sumatra: Bukan Sekadar Bencana Alam, Tapi Buah Kejahatan Lingkungan
Bencana longsor dan banjir bandang kembali menerjang 3 Provinsi di Pulau Sumatra yakni Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh pada akhir November 2025. Akibat dari bencana ini jumlah korban tewas mencapai 1.016 orang per 14 Desember 2025. Dari data BNPB jumlah korban hilang saat ini menjadi 212 orang, sedangkan jumlah pengungsi 624.670 orang. Hingga saat ini operasi pencarian korban hilang pun masih berlangsung (detiknews.com, 14/12/2025).
BMKG mencatat bencana ini terjadi akibat hujan deras dan cuaca ekstrem termasuk berkembangnya sistem siklon tropis dan bibit siklon di sekitar Selat Malaka dan Laut Sulu, yang memicu hujan lebat dan angin kencang (news.espos.id, 09/12/2025). BMKG juga mengungkapkan akhir November hingga awal Desember 2025, merupakan puncak musim hujan di wilayah Sumatra, dengan curah hujan mencapai 300 mm (news.espos.id, 09/12/2025).
Peristiwa bencana tersebut sering disebut sebagai akibat curah hujan ekstrem yang mencapai puncaknya. Namun, penjelasan ini tidak sepenuhnya menjawab mengapa dampak yang ditimbulkan begitu parah. Padahal faktanya, banjir bandang dan longsor yang terjadi memperlihatkan menurunnya daya tampung wilayah secara signifikan. Sungai tidak lagi mampu menahan debit air, lereng-lereng tanah kehilangan kekuatannya, dan hutan yang seharusnya menjadi penyangga justru berubah menjadi kawasan eksploitasi industri. Ini menunjukkan bahwa faktor alam bukan satu-satunya penyebab, melainkan ada persoalan sistem yang lebih dalam, yaitu kerusakan lingkungan yang telah berlangsung lama.
Bencana yang terjadi hari ini tidak bisa semata-mata dipandang sebagai ujian. Ia adalah konsekuensi dari kejahatan lingkungan yang dilegitimasi oleh kebijakan penguasa. Pemberian hak konsesi lahan secara masif, obral izin perusahaan sawit, tambang terbuka, hingga regulasi seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja telah membuka jalan bagi eksploitasi alam tanpa kendali. Bahkan, tambang yang diberikan atas nama kepentingan tertentu semakin memperparah kerusakan ekologis. Negara seolah menutup mata terhadap dampak jangka panjang demi keuntungan ekonomi sesaat.
Sikap penguasa semacam ini bukanlah kebetulan, melainkan sesuatu yang niscaya dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Dalam sistem ini, relasi antara penguasa dan pengusaha kerap diwarnai praktik kongkalikong. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, hak milik rakyat dijarah, hutan dibabat, dan alam dieksploitasi tanpa mempertimbangkan keselamatan manusia. Sistem yang rusak ini melahirkan penguasa zalim yang lebih berpihak pada modal daripada pada rakyatnya.
Musibah banjir dan longsor di Sumatra dengan jelas memperlihatkan bahaya nyata akibat pembukaan hutan besar-besaran. Hutan yang sejatinya berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem berubah menjadi sumber bencana ketika fungsi alaminya dihilangkan. Akibatnya, yang menderita adalah masyarakat kecil yang kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan nyawa. Sementara itu, pengusaha dan penguasa justru menikmati hasil dari eksploitasi hutan tersebut.
Inilah konsekuensi ketika negara meninggalkan hukum Allah dalam pengelolaan lingkungan. Islam telah menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi adalah akibat ulah tangan manusia. Oleh karena itu, sebagai wujud keimanan, umat Islam wajib menjaga kelestarian alam dan menolak segala bentuk perusakan yang membawa bahaya bagi kehidupan.
Lebih dari itu, negara dalam sistem Islam memiliki tanggung jawab besar untuk mengurusi seluruh urusan rakyat, termasuk menjaga kelestarian lingkungan. Pengelolaan hutan harus ditata secara benar sesuai hukum Allah, bukan diserahkan kepada swasta, korporasi atau bahkan pihak asing. Negara juga wajib mengalokasikan biaya yang memadai untuk pencegahan banjir dan longsor dengan melibatkan para ahli lingkungan, bukan sekadar bertindak reaktif setelah bencana terjadi.
Hanya dengan penerapan hukum Allah, negara mampu meminimalkan terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan menjadikan keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan sebagai prioritas utama setiap kebijakan. Negara akan merancang cetak biru tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya agar tidak menimbulkan bahaya.
Bencana di Sumatra seharusnya menjadi peringatan keras bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan sistemik. Selama pengelolaan alam tunduk pada logika kapitalisme, selama itu pula rakyat akan terus menjadi korban. Sudah saatnya kembali pada sistem yang menjadikan hukum Allah sebagai landasan, demi keselamatan manusia dan keberlangsungan alam semesta. Wallahua’lam
Komentar