Bencana, Semestinya Bicara Aspek Ruhiyah dan Siyasah

Suara Netizen Indonesia–Banjir terjadi dimana-mana, seolah jadi tradisi tahunan, bahkan bisa bulanan dikarenakan perubahan iklim yang kian tak bisa diprediksi. Beberapa kota di Jawa Timur yang kerap jadi langganan banjir adalah kota Malang dan Sidoarjo.

 

Dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Malang, Amalia Nur Adibah, menyebut banjir dengan intensitas tinggi yang kerap melanda Malang Raya dipicu oleh maraknya alih fungsi lahan serta penutupan saluran drainase di berbagai kawasan permukiman (tugumalang.id, 21-11-2025).

 

Kepala Pelaksana BPBD Kota Malang, Prayitno, membenarkan bahwa hujan dengan intensitas tinggi dan durasi panjang menyebabkan sistem drainase tidak mampu menampung volume air yang datang, hingga memicu banjir di 16 titik yang tersebar di tiga kecamatan, yaitu Blimbing, Lowokwaru, dan Klojen (metrotvnews.com, 19-11-2025).

Baca juga: 

Bencana Alam Bertubi-tubi, Reaksi Penguasa Tanpa Evaluasi

 

Sidoarjo tak kalah mencekam, setiap hujan turun lebih dari dua jam, selalu ada saja wilayah yang tergenang bahkan banjir. Bupati Sidoarjo Subandi melakukan sidak ke sejumlah titik banjir di Sidoarjo, Minggu, 23 November 2025, di antaranya Desa Sekardangan, Desa Sidokare, Desa Banjarpoh, dan Desa Jetis, Kecamatan Sidoarjo (memorandum.disway.id, 24-11-2025).

 

Dari hasil peninjauan, Subandi mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama munculnya genangan adalah masih banyaknya drainase yang tersumbat oleh tumpukan sampah dan sedimen. Hal tersebut membuat aliran air tidak berjalan optimal, sehingga air meluap ke permukiman sekitar. Keberadaan bangunan liar di sepanjang bantaran sungai turut memperparah kondisi sebab menghambat akses alat berat dan mempersempit ruang aliran air.

 

Dalam waktu dekat, Subandi menegaskan , Pemkab Sidoarjo akan melakukan normalisasi sungai dan meminta Dinas PUBMSDA segera bergerak melakukan pembersihan, pengerukan sedimentasi, serta menambah pompa air di beberapa titik krusial agar penanganan banjir dapat berjalan lebih maksimal.

 

Ahli lingkungan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Syamsudduha Syahrorini ST MT mengatakan bahwa dalam sejarah, kota Sidoarjo dikelilingi oleh lautan. Intensitas curah hujan yang tinggi menyebabkan air laut pasang sehingga air sungai tidak bisa mengalir ke laut.

 

Banyaknya eceng gondok di sungai, masyarakat masih membuang sampah ke sungai, saluran drainase yang kurang optimal, dan terjadinya sedimentasi di beberapa sungai yang tidak lagi berfungsi menambah panjang penyebab Sidoarjo tak pernah absen banjir.

 

Syamsudduha menambahkan, dari World Delta Summit 2011, kawasan delta rentan banjir dan badai ekstrim akibat perubahan iklim dan pemanasan global yang dihadapi kota-kota dunia yang berlokasi di muara sungai. Delta sungai sangat rentan terhadap banjir karena ketinggiannya yang rendah dan kota-kota yang padat penduduk. Fakta ini menambah potensi Sidoarjo semakin besar.

 

Sidoarjo juga daerah industri, dari industri tekstil, makanan, minuman, kayu, kertas, dan lainnya, sehingga sampah industri menjadi salah satu persoalan yang belum terpecahkan, padahal Pemkab pun telah mengeluarkan Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang berisi terkait penyimpanan, pengelolaan, dan pengumpulan limbah B3 dari industri.

 

Minimalnya Upaya Mitigasi

 

Kiranya aturan tinggal aturan, sebab sumber daya manusianya juga turut memengaruhi rentannya dua kota di Jawa Timur ini terdampak banjir. Aturan tinggal aturan, sanksi hukum juga tidak terlalu tegas, sehingga tidak menjerakan. Bencana alam banyak terjadi akibat kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan. Mahalnya harga rumah membuat orang memutuskan membuat rumah di bantaran sungai, bahkan tempat usaha pun dilakukan di tempat-tempat yang seharusnya kosong.

Baca juga: 

Buruknya Kapitalisme, Anak Pun Jadi Komoditas

 

Syahwat pengusaha pun tak pandang apakah daerah itu termasuk wilayah hijau, wilayah produktif atau resapan air. Banyak hutan dan pemukiman penduduk yang terpaksa digusur karena pemerintah memberi jalan bagi pengusaha asing menggunakannya.

 

Pemerintah hari ini samasekali bukan karakter pemerintahan yang peduli dan meriayah ( mengurusi) urusan rakyatnya. Bencana yang berulang tidak menjadikan sebagai evaluasi, selain penanganannya lamban, mitigasi pun lemah dan tidak komprehensif. Fatalnya ini terjadi tidak hanya di tataran individu, masyarakat tapi juga negara.

 

Contoh paling mudah, saat peringatan hari kemerdekaan negara Indonesia, masyarakat pun giat membersihkan lingkungan, dihiasi dengan aneka tanaman, saluran air dan got diperdalam atau dibangun baru. Namun setelah bulan Agustus berlalu, kegiatan seperti kembali ke awal, tak peduli dan cenderung abai. Begitu pun pemerintah daerah dan pusat. Bekerja hanya jika dikomando, seolah bekerja untuk rakyat adalah proyek, bukan pelayanan.

 

Sudah semestinya, pemerintah sebagai penanggung jawab penanganan kebencanaan lebih serius menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif dalam mitigasi bencana, dengan melibatkan banyak ahli . Sebab, bencana mungkin tidak bisa diprediksi datangnya, namun upaya mengeliminasi dampak adalah hal yang wajib kita lakukan setiap saat. Dan merupakan bagian dari ikhtiar manusia dalam menyikapi bencana alam.

 

Bencana ini sudah terjadi secara sistemik, dampaknya meluas, tak hanya kerugian material namun juga psikologi, terutama bagi anak-anak. Namun inilah Sistem Kapitalisme yang menjadi kunci pengatur hubungan antar manusia. Kapitalisme dibangun di atas prinsip sekulerisme , yaitu pemisahan agama dari kehidupan.

 

Artinya, setiap kebijakan yang dibuat pemerintah adalah hasil keputusan pemangku kekuasaan yang samasekali tak melibatkan wahyu Allah. Untung rugi jadi perhitungan mereka. Pelayanan publik jadi komoditas. Sebaliknya rakyat disebut beban. Penyusunan skema keuangan APBN di dasarkan pada utang dan pajak sehingga rapuh dan gampang defisit. Belum ditambah adanya praktik korupsi dalam berbagai bentuknya.

 

Syariat Islam Solusi

 

Paradigma Islam soal bencana memiliki dua dimensi yaitu ruhiyah dan siyasah. Dimensi ruhiyah, memaknai bencana sebagai tanda kekuasaan Allah. Sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali). (TQS Al-Baqarah: 156).

 

Negara wajib mewujudkan suasana keimanan yang kental kepada setiap orang agar bersabar untuk setiap bencana yang terjadi, mengambil makna lebih mendalam tentang keimanan kepada Allah SWT. , Dialah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya, sebagai pemilik Allah jugalah yang berhak mengambil kapan pun kenikmatan yang kita rasakan. Manusia tidak dimintai pertanggungjawab atas terjadinya bencana.

 

Edukasi ruhiyah dengan memahamkan ayat-ayat dan hadis terkait bencana akibat ulah manusia, merusak alam itu dosa dan membahayakan kehidupan dan lainnya menjadi tanggungan negara untuk dilakukan secara kontinyu. Ada atau tidak ada bencana, kewaspadaan wajib dibangun sebagai bentuk pembiasan.

Baca juga: 

Abraham Accords, Satu Langkah Dua Kehendak Terlampaui, Mungkinkah?

 

Sedangkan dimensi siyasiyah terkait kebijakan tata kelola ruang dan mitigasi bencana, yang ini adalah ranah yang dikuasai manusia, dan kelak yang dimintai pertanggungjawaban. Sebab manusia telah diberi akal dan waktu, yang itu menjadi modal untuk mewujudkan kemaslahatan bagi dirinya, tentu dengan tidak meninggalkan aturan Allah. Sebab, apapun yang dikerjakan tanpa aturan Allah bisa dipastikan akan berakhir kepada bencana.

 

Dalam Islam, negara tak hanya fokus pada upaya mitigasi bencana secara serius dan komprehensif dalam rangka menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Namun juga membangun kota dan desa secara adil, termasuk memperhatikan batasan mana wilayah perumahan, industri, usaha atau hima ( wilayah khusus yang diproteksi negara untuk kepentingan kaum muslim).

 

Saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan secara layak, pendampingan, hingga para penyitas mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca bencana. Dan ini diurus oleh sebuah departemen khusus bencana, yang ada tidak ada bencana tetap siaga memantau. Demikian juga untuk pendanaan, dalam pos belanja ada pos Qada Mashalih yang khusus untuk pembiayaan bencana, ada tidak ada bencana tetap dianggarkan. Dengan begitu negara tidak pontang-panting saat bencana benar-benar terjadi.

 

Penerapan syariat di aspek yang lainnya juga wajib diterapkan, di antaranya sistem ekonomi, sistem keamanan, sistem pendidikan, sistem sosial dan lainnya  secara bersamaan tanpa penundaan, sehingga akan terasa berbedaan signifikan antara syariat Islam dan Sistem Kapitalisme dalam menjamin 100 persen kesejahteraan rakyat. 

 

Inilah yang kita butuhkan, yaitu negara dengan karakter melayani, tanpa pandang bulu bahkan tanpa menghitung untung rugi jika itu untuk kesejahteraan rakyatnya. Rasulullah Saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim no. 1828). Wallahualam bissawab. [SNI].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *