Abraham Accords, Simpul Penjajah Cerai Beraikan Muslimin
Suara Netizen Indonesia–Pada 2020, AS meluncurkan proses untuk memulihkan hubungan Israel-Arab dan menandatangani serangkaian dokumen yang dikenal sebagai Abraham Accords. Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko bergabung dalam perjanjian itu. Gedung Putih pun mengungkapkan keinginannya agar lebih banyak negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel selama masa jabatan kedua Trump sebagai presiden.
Kemudian Kazakhstan pun bergabung, Kantor Presiden Kazakhstan membenarkan berita bergabungnya negara yang berjuluk ” Swissnya Asia” karena keindahan alamnya itu dengan Perjanjian Abraham, sebagai bagian dari kebijakan luar negeri. Dan Presiden AS Donald Trump kemudian secara resmi mengumumkan bahwa Kazakhstan telah bergabung dengan negara-negara yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel.
Hubungan diplomatik Kazakhstan-Israel sebenarnya telah terjalin sejak 1992, yang diperkuat melalui kunjungan pejabat tinggi dan kedutaan besar kedua negara tersebut. Namun tidak bagi Hamas, kelompok perlawanan Palestina ini mengecam keputusan Kazakhstan dan menyebutnya sebagai langkah pembenaran atas tindakan Israel yang telah menewaskan lebih dari 68.800 warga Palestina sejak 7 Oktober 2023 (antaranews.com, 6-11-2025).
Baca juga:
Ancaman Masa Depan Generasi Bangsa, Sekulerisme!
Sementara pemerintah Turki mengumumkan penerbitan surat penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu serta sejumlah pejabat senior Israel atas dugaan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Kantor kejaksaan Istanbul menyatakan total ada 37 tersangka yang menjadi target. Termasuk Menteri Pertahanan Israel Israel Katz, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Letnan Jenderal Eyal Zamir dengan tuduhan melakukan kejahatan sistematis terhadap warga sipil di Gaza (tvonenews.com, 9-11- 2025).
Pemerintah Israel, melalui Menteri Luar Negri Israel, Gideon Saar menolak tegas tuduhan itu. Israel menilai sistem peradilan Turki tidak bersikap independen, dan menyebut langkah Ankara sebagai bentuk propaganda politik. Demikian pula Mantan Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberma menyatakan surat penangkapan ini menunjukkan Turki tidak seharusnya terlibat di Jalur Gaza, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Banyak pihak kemudian menilai eskalasi diplomatik dua negara itu secara signifikan menegaskan posisi Turki sebagai salah satu pengkritik paling vokal terhadap operasi militer Israel di Gaza.
Terkait pengiriman pasukan perdamaian Israel juga menolak pasukan perdamaian dari Qatar dan Turki karena negara ini memiliki hubungan diplomatik dengan Hamas. Sementara Indonesia meski belum tahu diterima atau tidak namun dalam berbagai kesempatan menegaskan siap mengirim pasukan ke Gaza dan wilayah-wilayah yang berkonflik jika diperlukan dan disetujui PBB (cnnindonesia.com, 6-11-2025).
Normalisasi dengan Zionis, Perangkap AS Melanggengkan Penjajahan
Sungguh miris apa yang dilakukan oleh pemimpin negeri muslim. Seharusnya mengirim tentara untuk menghabisi Israel laknatullah malah mengirim pasukan perdamaian, yang seharusnya tidak menjalin hubungan apapun, malah menormalisasi hubungan dengan Israel dengan embel-embel Abraham Accord.
Sejatinya, Abraham Accord adalah simpul penjajah guna mencerai beraikan kaum muslim. Normalisasi hubungan dengan Israel merupakan perangkap AS dan sekutunya untuk melegalkan penjajahan Zionis atas Gaza. Mereka leluasa mengambil alih Gaza, mengosongkan seluruh wilayahnya dari penduduk Gaza khususnya dan Palestina pada umumnya, tanpa gangguan sedikit pun dari siapapun.
Baca juga:
Menelisik Optimisme Indonesia Negara Maju 2045
Normalisasi ini, sesungguhnya menunjukkan pengkhianatan nyata dari penguasa negeri-negeri muslim. Mereka mengkhianati Gaza, mereka secara sadar ikut merobek luka saudara seakidah, mulai dari anak-anak, perempuan hingga orang-orang tua. Kekuatan mereka seolah hanya berhenti pada ancaman, kecaman dan entahlah, kemana hilangnya rasa takut kepada Allah swt?
Nasionalisme menjadi penyebab terbesar genosida kaum muslim di negerinya masing-masing. Padahal batasan negara sebagai hasil dari ditandanganinya perjanjian Skyes picot tahun 1916, dimana Inggris dan Perancis membagi Kekhilafan Ustmaniyah menjadi di bawah otoritas mereka, maka sejak itulah wilayah yang awalnya satu negara, satu umat dan satu pemerintahan menjadi terpecah belah hingga 56 negara.
Selama keputusan terhadap Palestina tunduk pada kepentingan Barat dan terkungkung dengan ide Nasionalisme ini, maka penjajahan Palestina akan terus berlanjut. Semestinya ada upaya lebih tegas lagi, yang merujuk pada perintah Allah dan RasulNya yaitu persatuan umat yang hakiki.
Wajib Wujudkan Khilafah, Junnah Bagi Kaum Muslim
Tak ada solusi lain, yang bisa menuntaskan persoalan Gaza selain jihad dan Khilafah. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, ”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dan lain-lain.).
Rasulullah saw. menyifati bahwa seorang al-Imâm (khalifah) adalah junnah (perisai), maknanya mengandung pujian atas keberadaan al-Imâm (Khalifah) sekaligus adanya tuntutan menegakkannya berdasarkan informasi dari Allah dan dari Rasul-Nya.
Jika mengandung celaan, ia merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan, dan jika mengandung pujian, ia merupakan tuntutan untuk melaksanakan, dan jika perbuatan yang dituntut tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syariat atau pengabaiannya mengandung konsekuensi terhadap terabaikannya hukum syariat, tuntutan tersebut bersifat tegas.
Baca juga:
TKD Tak Naik, Investasi Ditarik
Jelas, Khilafah adalah sebuah tuntutan, bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan sebagai junnah yang akan mencabut penjajahan hingga akar-akarnya dari bumi Palestina dan di bumi manapun muslim berada yang hari ini mendapatkan penindasan dan kezaliman.
Semua ini butuh kesadaran politik yang benar, yaitu menyadari penuh pentingnya perjuangan mengembalikan kehidupan Islam mengikuti metode dakwah Rasulullah saw. Kita tak boleh lama-lama terlena dengan tipu daya penjajah, dengan hanya mengabdikan diri demi kepentingan pribadi. Persoalan orang lain apalagi sesama kaum muslim hanya persolan yang tak pantas kita ikut campur di dalamnya.
Rasul saw mengadakan pembinaan bagi para sahabat di rumah Arqam bin Arqam dengan akidah Islam yang sahih, mencabut semua pemahaman yang justru bertentangan dengan syariat. Setelah iman kuat menghujam dalam benak, maka Rasulullah sesuai wahyu Allah berhijrah ke Madinah untuk menerapkan syariat sebagai sebuah idiologi negara yang beliau dirikan.
Kejayaan Islam tak hanya berhenti pada masa Khalafaur Rasyidin saja, melainkan hingga Khalifah yang banyak dan berakhir di Khilafah Turki Ustmani, praktis sepanjang 1300 tahun lamanya, kaum muslim senantiasa dalam periayahan (pengurusan ) seorang pemimpin, Abu Hurairah ra menyampaikan hadis dari Rasulullah saw.”Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi wafat maka diganti oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku, yang ada adalah para khalifah dan mereka semakin banyak….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Anbiya). Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar