Rapuhnya Ketahanan Keluarga di Tengah Arus Sekularisme

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali mencuat dan mencoreng wajah kemanusiaan di negeri ini. Baru-baru ini, publik digemparkan oleh peristiwa tragis di Malang, Jawa Timur, ketika seorang suami siri tega menganiaya lalu membakar dan mengubur istrinya di kebun tebu (beritasatu.com, 16/10/2025). Kasus lain menunjukkan seorang ayah di Dairi, Provinsi Sumatera Utara tega melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya sendiri hingga 30 kali (kompas.com, 18/10/2025). 

 

Tak berhenti di situ, kekerasan juga menjalar pada kalangan remaja: dimana seorang pelajar SMP meninggal dikeroyok teman sekolah di Grobogan (beritasatu.com, 15/10/2025). Ada juga seorang remaja 16 tahun dengan tega membacok neneknya hanya karena tersinggung disebut “cucu pungut” (beritasatu.com, 16/10/2025). Bahkan lebih parah, seorang remaja melakukan pencabulan dan membunuh bocah SD di Jakarta lantaran sakit hati ditagih utang oleh ibu korban (beritasatu.com, 15/10/2025).

 

Menurut data GoodStats, hingga September 2025 jumlah kasus KDRT di Indonesia telah mencapai lebih dari 10 ribu perkara. Angka ini menjadi cermin betapa rapuhnya ketahanan keluarga di tengah arus modernitas yang semakin kehilangan arah nilai.

 

Keretakan dalam keluarga jelas menular ke perilaku anak-anak dan remaja. Mereka tumbuh di lingkungan rumah yang bising oleh pertengkaran, tanpa kasih sayang dan bimbingan moral. Akibatnya, banyak remaja kehilangan kontrol diri dan mudah melakukan kekerasan sebagai pelampiasan. Fenomena ini bukan sekadar masalah individu, melainkan gejala sosial yang berakar pada ideologi yang menyingkirkan agama dari kehidupan.

 

Akar masalah sesungguhnya terletak pada sekularisme—paham yang memisahkan agama dari urusan dunia. Ketika nilai-nilai ketakwaan tidak lagi dijadikan landasan hidup, keluarga pun kehilangan arah dan tanggung jawab moral. Pendidikan sekuler-liberal yang menanamkan kebebasan tanpa batas justru menumbuhkan sikap individualistik. Suami-istri sibuk mengejar kepuasan pribadi, sementara anak-anak tumbuh tanpa bimbingan akhlak. Sementara itu, materialisme menggeser makna kebahagiaan menjadi semata-mata urusan harta dan kesenangan duniawi. Ketika tekanan ekonomi datang, rumah tangga mudah retak dan kekerasan menjadi jalan pintas pelampiasan emosi.

 

Sayangnya, negara tampak abai. Undang-Undang Penghapusan KDRT memang menindak pelaku secara hukum, tetapi tidak menyentuh akar persoalan. UU itu hanya mengobati gejala, bukan menyembuhkan sumber penyakitnya. Sistem sekuler kapitalisme jelas terbukti rusak. Tanpa perubahan sistem, kekerasan akan terus berulang.

 

Islam menawarkan solusi yang menyentuh akar persoalan ini. Pendidikan Islam menumbuhkan pribadi bertakwa dan berakhlak mulia, bukan sekadar berorientasi pada prestasi atau kemapanan materi. Pendidikan Islam berlandaskan pada akidah oleh karena itu hasil yang diperoleh adalah generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai dengan syariat Islam. 

 

Begitupula keluarga dalam pandangan Islam merupakan institusi sakral yang dibangun atas dasar ketakwaan, dengan peran suami-istri yang saling melengkapi, bukan saling menuntut. Ketika syariat Islam ditegakkan, suami menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, istri menjadi penopang yang mulia, dan anak-anak tumbuh dalam suasana penuh kasih sayang.

 

Negara dalam sistem Islam berfungsi sebagai raa’in—pelindung rakyatnya. Negara menjamin kesejahteraan dan keadilan ekonomi, sehingga tekanan hidup tidak menjadi pemicu konflik rumah tangga. Dalam aspek hukum, Islam menetapkan sanksi tegas bagi pelaku kekerasan, bukan sekadar untuk menghukum, tetapi juga untuk mendidik masyarakat agar hidup sesuai dengan tuntunan syariat.

 

Ketahanan keluarga hanya bisa dibangun di atas fondasi iman dan takwa, bukan di atas ideologi yang menafikan peran agama. Karena itu, solusi hakiki bagi maraknya KDRT dan kenakalan remaja bukan sekadar reformasi hukum, tetapi perubahan paradigma hidup: kembali kepada Islam sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh. Hanya dengan itu, keluarga akan kembali kokoh, masyarakat tenteram, dan generasi muda tumbuh dengan jiwa yang sehat serta akhlak yang mulia.

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *