Dunia Bergejolak: Transformasi Historis di Depan Mata

Suara Netizen Indonesia-Sejumlah negara di dunia belakangan sedang bergejolak dilanda demo besar-besaran, mulai dari Asia, Eropa, hingga Australia diguncang unjuk rasa yang utamanya ditujukan kepada pemerintah masing-masing. Di Indonesia, demonstrasi terjadi pada akhir Agustus hingga awal September. Setidaknya 10 orang meninggal dunia diberbagai kota selama protes yang diwarnai kekerasan aparat dan kerusuhan.
Di Australia juga terjadi gelombang demonstrasi besar yang mengguncang Australia pada 13 September 2025. Aksi bertajuk Australia Unites Against Government Corruption berlangsung serentak di 12 kota besar. Ribuan warga turun ke jalan membawa beragam tuntutan, dari isu anti-korupsi, seruan solidaritas Palestina, anti-imigrasi hingga anti-rasisme.
Di Bangladesh demonstrasi mahasiswa dan Gen Z berhasil membuat Perdana Menteri Hasina yang telah berkuasa 20 tahun mengajukan pengunduran diri. Demonstrasi ini telah berlangsung sejak bulan Juli dan memakan korban lebih dari 300 orang meninggal dunia. Demonstrasi kali ini menjadi ujian terbesar bagi Sheikh Hasina. Wanita berusia 76 tahun itu telah mengundurkan diri dan meninggalkan Ganabhaban, kediaman megah Perdana Menteri saat para pengunjuk rasa menyerbu tempat itu. Aksi dipicu oleh protes mahasiswa terhadap sistem kuota pegawai negeri sipil untuk anggota keluarga veteran perang kemerdekaan Bangladesh tahun 1971 melawan Pakistan.
Tak ketinggalan, Nepal juga bergejolak parah. Setelah demonstrasi Nepal yang berimbas pada turunnya Perdana Menteri KP Sharma Oli dan dibubarkannya parlemen. Kebijakan Pemerintah Nepal untuk membatasi akses media sosial menjadi keputusan yang paling disesali oleh pemerintahan Sharma Oli, menyebabkan semakin meluasnya demonstrasi anti-korupsi, kerusuhan, pembakaran gedung pemerintah, penjarahan rumah pejabat negara hingga mundurnya para pemangku kekuasaan. Korban jiwa sejumlah 72 orang, sebagian besar karena tertembak atau terjebak dalam kerusuhan.
Di Polandia demonstrasi mengangkat isu anti-imigrasi berlangsung di lebih dari 80 kota di seluruh Polandia termasuk di Warsawa, Krakow, Poznan, Wroclaw dan Bialystok. Protes anti-imigrasi diorganisir oleh partai sayap kanan Confederation Liberty dan Independence. Demonstrasi ini dibalas oleh demonstrasi balasan yang menyuarakan penerimaan pengungsi, menghapus para fasis dan hak untuk mencari suaka.
Senada dengan Polandia, Irlandia Utara juga mengalami demonstrasi anti-imigran yang berakhir dengan kerusuhan. Puluhan rumah dan toko terbakar serta melukai sedikitnya 32 petugas polisi. Aksi yang sama juga terjadi di London. Bahkan aksi anti-imigrasi di London menjadi aksi terbesar sepanjang sejarah modern Inggris. Aksi ini diinisiasi oleh aktivis sayap kanan jauh, Tommy Robinson bertajuk “unite the Kingdom” diikuti lebih dari 110.000 orang. Demo ini disambut dengan demo tandingan ”Stand Up to Racism”. Rangkaian demonstrasi ini awalnya dikemas sebagai “festival kebebasan berbicara” namun kemudian bentrokan pecah dan korban berjatuhan.
Adapun demo di Berlin melibatkan ribuan demonstran melakukan protes terhadap kampanye militer Israel di Palestina. Demonstrasi pecah di depan Gerbang Brandenburg menuntut Jerman berhenti terlibat dalam konflik Gaza dan pengiriman senjata ke Ukraina. Demonstrasi tersebut menjadi unjuk rasa pro-Palestina terbesar di Jerman dalam beberapa bulan terakhir. Para demonstran menilai bahwa dalam konflik Gaza, Jerman bukan sekadar penonton, melainkan “kaki tangan” penjajah.
Sementara demonstrasi di Serbia melibatkan puluhan ribu siswa sekolah, mahasiswa dan Gen Z yang menyerukan pemungutan suara secepatnya untuk mengatasi korupsi atas runtuhnya kanopi kereta api di Novi Sad, penyelidikan menyeluruh, penindakan hukum terhadap individu dan entitas yang bertanggung jawab dan akses media tanpa batas. Presiden Aleksandar Vucic membantah melakukan kesalahan selanjutnya melabeli demonstran sebagai teroris.
Di Madrid Spanyol lebih dari 100.000 demonstran pro Palestina turun ke jalan di Madrid hingga memaksa pembatalan etape final balap sepeda Vuelta a Espana. Demonstrasi menentang partisipasi tim Israel-Premier Tech dalam salah satu ajang balap sepeda terbesar dengan menyerbu polisi dan masuk ke lintasan di ibu kota Spanyol untuk memaksa panitia memotong etape akhir. Aksi ini mendapat pujian kebanggaan dari Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez.
Sedangkan di Prancis demonstrasi melibatkan 800.000 orang dalam aksi protes terhadap Presiden Macron. Serikat buruh mengajak warga Prancis turut mogok kerja untuk ikut memprotes anggaran “horor” pemerintah yang dirancang demi mengurangi utang negara yang membengkak.
Demontrasi juga terjadi di Timor Leste memprotes rencana pembelian mobil baru untuk anggota parlemen di tengah kesulitan ekonomi negara. Lebih dari 1.000 orang mengambil bagian dan berakhir dengan chaos. Sementara di Filipina, demonstrasi bergulir sejak awal September kemudian meledak di berbagai wilayah menuntut penindakan hukum terhadap menguapnya miliaran peso dana proyek pengendalian banjir.
Di Turki, protes besar dilakukan oleh puluhan ribu orang yang menuntut kebebasan berpolitik setelah pemimpin partai oposisi utama Turki, Partai Rakyat Republik (CHP) Ozgur Ozel, terancam digulingkan dalam kasus yang bergulir di pengadilan. Pengadilan Turki sedang meninjau berbagai kasus yang melibatkan CHP karena tuduhan keterlibatan dalam tindak terorisme. Ratusan anggota CHP telah ditangkap karena berbagai tuduhan, termasuk Ekrem Imamoglu selaku saingan politik utama Erdogan.
Fakta ini mengundang tanya, kemana arah dunia? Dunia tidak baik-baik saja, eskalasinya berlangsung cepat, tidak stabil, sporadis. Hal ini menunjukkan dunia sedang mengalami transformasi historis besar yang sedang membentuk kembali realitas masa depan. Kita sedang menghadapi momen penting yang mengingatkan kita pada momen-momen kejatuhan kerajaan-kerajaan besar di masa lalu.
Hegemoni Amerika yang bertahan sejak runtuhnya Uni Sovyet tidak lagi mampu mengendalikan dunia. Tiongkok telah bangkit secara ekonomi, Rusia telah mendapatkan kembali kehadiran militernya, dan kekuatan-kekuatan lain bergerak untuk mengamankan tempat mereka dalam tatanan dunia baru. Sementara perekonomian global kian lesu, berada di ambang inflasi dan tumpukan utang serta perebutan energi dan sumber daya alam yang semakin sengit.
Kita menyaksikan pergerakan negara-negara besar menuju blok-blok regional dan berupaya mengurangi ketergantungan mereka pada dolar. Sistem pembayaran lintas negara milik China Cross-Border Interbank Payment System (CIPS) misalnya berhasil memproses transaksi dengan mata uang yuan hingga 175 triliun yuan atau setara Rp403.000 triliun. Angka fantastis tersebut menunjukkan pergeseran signifikan dalam lanskap keuangan global di mana lebih dari 1.700 bank di seluruh dunia telah memfasilitasi transaksi menggunakan yuan.
Realitas ini menunjukkan telah terjadi restruksturisasi menyeluruh dalam sistem ekonomi internasional. Sementara Barat yang memaksakan modelnya kepada dunia, saat ini sedang menghadapi krisis nilai dan moral terutama dalam memandang genosida di Palestina, perpecahan internal serta terkikisnya kepercayaan terhadap sistem.
Barat yang merupakan punggawa Kapitalisme sedang membawa beban kemunduran yang luar biasa sementara kekuatan yang sedang bangkit, terutama Tiongkok, tidak menawarkan proyek peradaban alternatif, melainkan membatasi diri untuk membela kepentingan nasional mereka. Hal ini menunjukkan kekosongan peradaban yang mendalam dan ketiadaan kepemimpinan yang mampu menginspirasi umat manusia.
Apa yang kita saksikan hari ini mengingatkan kita pada keruntuhan Romawi dan kekosongan peradaban yang mengikutinya, atau masa Eropa selama perang agama sebelum lahirnya tatanan modern, jatuhnya Baghdad dan pergeseran selanjutnya ke pusat peradaban Islam, dan apa yang terjadi setelah Perang Dunia II ketika sebuah tatanan internasional baru lahir.
Kita sekarang berada di momen yang serupa: runtuhnya tatanan, kekosongan yang menganga, dan persaingan sengit untuk mengisinya. Kita menghadapi dunia yang terdisintegrasi, nilai-nilai yang runtuh, dan sistem yang runtuh. Pertanyaannya bukan lagi: bagaimana Barat akan mengelola hegemoninya? Melainkan: Siapa yang memiliki proyek peradaban yang jelas yang akan mengisi kekosongan ini dan memimpin umat manusia menuju era baru?
Inilah kesempatan bagi Islam yang sedang menyiapkan diri untuk mengisi kekosongan ini melalui proyek Khilafah. Penyebutan “proyek” sebagai penanda bahwa perjuangan ini bukan “mimpi” atau “cita-cita” karena kekhilafahan lebih dari sekadar diskusi yurisprudensi dan fase sejarah menjadi sebuah gagasan politik yang hidup.
Dengan demikian dunia yang bergejolak ini sedang menyiapkan peradaban baru yang bertransformasi dari tujuan pembebasan menjadi opini yang berakar kuat dalam kesadaran umum umat Islam.[SNI]
Komentar