Jurus Beras SPHP, Jaminan Pangan Masih “PHP” ?

Pemerintah kembali meyakinkan publik bahwa Indonesia mampu mencapai swasembada beras pada tahun ini. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman memastikan Indonesia tidak bakal impor beras hingga akhir 2025 (kumparan.com, 06-09-2025). Alasannya, stok beras nasional disebut melimpah, kenaikannya hingga mencapai kurang lebih 4 juta ton, yang mana ini lebih banyak dari tahun lalu (kumparan.com, 06-09-2025).
Namun, kenyataan di lapangan justru menampilkan wajah berbeda: harga beras tetap tinggi alias bertahan di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) di 214 daerah kabupaten/kota (kompas.com, 03-09-2025). Tak ayal rakyat pun menjerit. Sementara kebijakan penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang diharapkan mampu menurunkan harga juga terbukti gagal.
Ironi ini semakin kentara ketika bantuan pangan beras gratis untuk rakyat miskin terancam dihapus karena anggarannya dialihkan ke program beras SPHP (cnbcindonesia.com, 04-09-2025). Artinya, rakyat miskin yang semula mendapat jaminan pangan gratis kini diarahkan membeli beras SPHP yang kualitasnya pun kerap dikeluhkan. Tidak sedikit masyarakat enggan membelinya, bahkan ritel modern pun menolak untuk menjual beras SPHP. Akhirnya, rakyat yang miskin makin terbebani, sementara beras menumpuk di gudang Bulog.
Mimpi swasembada beras menjadi sekadar jargon ketika fakta di lapangan menunjukkan harga beras tetap mahal. Stok beras yang menumpuk di gudang Bulog pun bisa berpotensi menurunkan kualitas karena proses penyimpanan yang terlalu lama. Situasi ini menggambarkan “obesitas” Bulog: gudang penuh beras, tapi harga di pasar tetap mencekik rakyat.
Menggantungkan stabilisasi harga pada beras SPHP juga terbukti keliru. Masalah harga beras di Indonesia bersifat sistemik, mulai dari hulu hingga hilir. Bulog sendiri menghadapi persoalan tata kelola, sehingga penyaluran beras tidak berjalan lancar. Di sisi lain, praktik oligopoli dalam tata niaga beras memperparah situasi: segelintir pihak menguasai distribusi sehingga harga bisa dikerek seenaknya.
Dalam sistem kapitalisme, negara sebatas bertindak sebagai regulator. Pemerintah memastikan stok aman, tetapi tidak menjamin harga terjangkau. Rakyat akhirnya tetap harus membeli beras mahal meski di atas kertas swasembada sudah tercapai. Janji stabilisasi harga dengan beras SPHP hanya menjadi “PHP” (pemberi harapan palsu) bagi rakyat kecil.
Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah raa’in yakni pengurus rakyat yang wajib memastikan pangan tersedia di masyarakat dengan harga terjangkau. Bukan hanya sekadar menjamin stok di gudang atau pasar, melainkan memastikan beras sampai ke tangan rakyat dengan harga wajar.
Kepemimpinan dalam sistem Islam akan membenahi tata kelola pangan secara menyeluruh: mulai dari produksi, penggilingan, distribusi, hingga sampai ke konsumen. Praktik merusak seperti oligopoli akan diberantas karena jelas merugikan rakyat. Negara juga tidak akan ragu memberikan bantuan beras gratis bagi rakyat miskin, dananya bersumber dari baitulmal yang memang dialokasikan untuk menjamin kebutuhan dasar masyarakat.
Dengan tata kelola seperti ini, swasembada beras bukan sekadar mimpi manis atau “PHP” politik, melainkan realitas yang terwujud: rakyat mampu membeli beras dengan harga terjangkau, bahkan yang miskin pun dijamin tidak kelaparan. Inilah jaminan pangan yang nyata dalam sistem Islam.
Komentar