Peningkatan Kelembagaan Haji, Akankah Lebih Baik?

Suara Netizen Indonesia–Ibadah haji adalah salah satu aktifitas yang pasti berlangsung setiap tahunnya. Tak hanya butuh persiapan phisik tapi juga dana. Demikian pula persyaratan akomodasi yang menjadi kewajiban setiap negara untuk menyelenggarakannya dengan baik.
Nyatanya, meski rutin namun pelayanan haji dari tahun ke tahun tidak lebih baik, tahun lalu malah lebih cheos hingga ada jamaah haji yang benar-benar tak mendapatkan fasilitas maupun pelayanan yang semestinya. Parahnya, ada korupsi dana haji yang dilakukan oleh Menteri agama tahun lalu, Yaqut Cholil Qoumas yang semakin menambah panjang daftar buruknya pelayanan haji pemerintah.
Salah satu upaya pemerintah meningkatkan kualitas pelayanan semakin baik adalah adanya peningkatan Kelembagaan. Wakil Menteri Agama (Wamenag) Romo Muhammad Syafi’i menyampaikan, penyelenggaraan ibadah haji mulai 2026 diserahkan Kementerian Agama (Kemenag) kepada Badan Penyelenggara (BP) Haji, yang akan berubah menjadi Kementerian Haji dan Umrah (kompas.com,5-9-2025).
Baca juga:
Kebrutalan Zionis, Buah Diamnya Pemimpin Negeri Muslim
Setelah disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menjadi undang-undang oleh DPR, proses transisi penyelenggaraan ibadah haji masuk pada tahap berikutnya. Yaitu pengalihan wewenang, yang mencakup pegawai, fasilitas haji, hingga alokasi anggaran. Seluruh aspek tersebut akan dialihkan pengelolaannya ke Kementerian Haji yang diharapkan dapat bekerja lebih maksimal dan fokus dalam melayani jemaah haji.
Undang-Undang Haji dan Umrah yang baru diharapkan dapat menyesuaikan perkembangan dan kebijakan pemerintah Arab Saudi. Di samping itu, salah satu poin penting dalam revisi UU Haji dan Umrah adalah peningkatan status Badan Penyelenggara (BP) Haji menjadi Kementerian Haji dan Umrah, yang akan memberikan keuntungan seperti diplomasi yang lebih kuat dengan Arab Saudi, peningkatan profesionalisme dan efisiensi dalam pengelolaan pelayanan haji, serta penataan birokrasi yang lebih baik demi kenyamanan jamaah dan efektivitas penggunaan anggaran.
Anggota DPR komisi VIII, Bukhari Yusuf mengatakan, dengan status kementerian, posisi Indonesia menjadi setara dengan Kementerian Haji Arab Saudi, memungkinkan negosiasi yang lebih efektif dan meningkatkan bargaining position (posisi tawar) dibandingkan hanya sebatas direktorat jenderal.
Selain itu, BP Haji yang sebelumnya berdiri sebagai badan khusus, akan dilebur dengan Ditjen PHU di Kemenag. Nantinya, Ditjen PHU dihapus, sementara seluruh fungsi teknis, SDM, hingga aset akan dialihkan ke Kementerian Haji. Kepala BP Haji, Mochamad Irfan Yusuf, menuturkan pihaknya siap dengan mandat baru tersebut.
Persoalan Mendasarnya, Kapitalisasi Ibadah Haji
Apakah perubahan ini akan menjadikan pelayanan haji lebih baik? Sepertinya akan jalan di tempat. Bukan bermaksud meremehkan, namun perubahan ini sejatinya hanya akan menambah beban negara. Komposisi kabinet Prabowo akan semakin gemuk, tentu butuh anggaran lebih. Padahal kementerian yang lain masih acak kadut cara kerjanya, saling tumpang tindih hingga saling menyalahkan. Belum lagi dibayangi dengan kasus korupsi yang menyeret setiap pejabatnya.
Tak ubahnya pelayanan lainnya, hanya sekadar lips servis. Kebijakan inipun tak menyentuh akar persoalannya. Direktur The Economics Future Institute (TEFI) Dr. Yuana Tri Utomo mengatakan kapitalisme menyeret ibadah haji dari jalur ruhiah menuju arena kompetisi kelas sosial. Yang kaya dimanjakan fasilitas, yang miskin terpinggirkan dari tempat suci. Negara membiarkan pasar menentukan siapa yang layak mendapat kenyamanan dalam berhaji.
Demikian pula pendapat Pengasuh Ponpes Daar al-Musthafa Bandung Barat Dr. Barli, S.E.I., M.Ag., akar liberalisasi pengelolaan haji di Arab Saudi sebagai bagian dari agenda kapitalisme global (media-umat.com, 16-7-2025).
Baca juga:
MBG, Korban Berjatuhan, Masihkah Jadi Unggulan?
Menurut Dr.Barli, ibadah haji kini menjadi ladang industri besar yang dikendalikan modal. Investasi properti mewah di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi mendorong eksploitasi ekonomi atas nama pelayanan. Bahkan rencana pembangunan kampung haji di kawasan khusus di Makkah, Arab Saudi, untuk menampung dan memfasilitasi jemaah haji Indonesia yang rencananya akan dibangun di area strategis, sekitar 400 meter dari Masjidil Haram, seperti yang disetujui oleh Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Salman, juga tak akan banyak membantu.
Meski proyek ini bertujuan untuk memusatkan layanan jemaah dalam satu tempat, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi biaya akomodasi dengan pengelolaan fasilitas terpadu. Namun selama kapitalisasi haji dalam Sistem Kapitalisme ini tetap diterapkan maka selama itu pula persoalan tidak akan pernah selesai.
Syariat Islam Selesaikan Masalah Haji
Sistem Kapitalisme asasnya sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga tak kenal halal dan haram. Pun mindset pemerintah terkait penyelenggaraan haji ini bukan semata pelayanan perjalanan ibadah, tapi lebih kepada memberikan lahan bagi semua stockholder yang berhubungan dengan pelayanan haji. Untung rugi jadi fokusnya. Malah parahnya jadi bagi-bagi proyek.
Sementara Islam memandang, pemerintah sebagai penguasa adalah pelayan (rain), sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari). Makna yang terkandung di dalamnya sangatlah dalam. Pemimpin pantang abai selama rakyatnya belum nyaman dan sejahtera. Bahkan tidak boleh tidur nyenyak sebelum rakyatnya mudah beribadah.
Baca juga:
Rakyat Menjerit, Simpati Negara Semakin Irit
Para Khalifah telah memberikan bukti perhatian mereka terhadap ibadah haji, seperti pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, penyelenggaraan haji mengalami perbaikan signifikan, meliputi perluasan Masjidil Haram, perbaikan jalur perjalanan ke Mekah, serta penyediaan penginapan gratis bagi para jemaah yang disediakan oleh warga Mekkah.
Berbagai kemudahan terus dikembangkan oleh Khalifah-Khalifah selanjutnya. Termasuk tidak ada paspor yang harus diurus, sebab Makkah Madinah adalah bagian dari wilayah Daulah Khilafah, yang mana akan semakin memangkas biaya perjalanan dan pasti memunculkan kenyamanan. Pengaturan ini tidak mungkin ditegakkan dalam sistem yang bertentangan dengan syariat, maka tidakkah ini memantik rasa rindu kaum muslim untuk beribadah lebih nyaman dan aman? Wallahualam bissawab. [SNI].
[…] Peningkatan Kelembagaan Haji, Akankah Lebih Baik? […]
[…] Peningkatan Kelembagaan Haji, Akankah Lebih Baik? […]