Guru dan Dosen Bukan Beban Negara

Suara Netizen Indonesia-Agenda besar pencapaian Generasi Emas 2045 terasa bak story tale manakala menyimak pengakuan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa kemampuan menggaji guru dan dosen dengan layak masih menjadi tantangan. Ia menilai negara memiliki keterbatasan anggaran sehingga hanya sanggup memberikan gaji kecil kepada guru dan dosen. Menurutnya karena gaji kecil ini menjadi salah salah satu faktor yang membuat banyak orang enggan memilih profesi sebagai guru dan dosen dengan kata lain guru dan dosen menjadi beban negara.

Berbicara dalam forum Sains dan Teknologi sebagai Fondasi Kedaulatan Fiskal dan Transformasi Nasional, Sri Mulyani mempertanyakan apakah gaji guru dan dosen harus bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), atau sebaliknya apakah publik juga bisa berpartisipasi dan masuk dalam sistem penggajian ini (tirto.id, 9/8/2025). Ucapan tersebut menuai kritik secara luas, Sri Mulyani dianggap tidak peka terhadap tenaga pendidik di Indonesia yang masih mendapat bayaran kecil.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2) Satriwan Salim menilai Menteri Keuangan tidak memahami spirit Undang-Undang Dasar 1945 yang mencantumkan dengan jelas dalam Pasal 31 bahwa pendidikan adalah hak warga negara (kompas.com, 11/8/2025). UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sehingga negara wajib membiayai pendidikan nasional.

Selain itu, pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 juga menyatakan bahwa tujuan nasional negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan guru dan dosen adalah garda terdepan untuk mencapai tujuan tersebut semestinya dimuliakan dan mendapat tempat yang bermartabat. Oleh sebab itu pendidikan memang harus dibiayai oleh negara, karena itu merupakan tugas kewajiban negara dan pemerintah secara konstitusional.

Salah Kelola

Pada dasarnya konstitusi kita sudah benar bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Namun mengapa realitasnya tidak demikian? Inilah yang kami maksud dengan salah kelola. Negara ini menerapkan paradigma Kapitalisme untuk mengelola pendidikan Indonesia. Hal itu tampak nyata dari berbagai kebijakan penguasa yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas.

Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, memperbolehkan modal asing masuk ke pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan non formal dengan batasan tertentu. Selain itu, adanya komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan biaya pendidikan yang tinggi dan fokus pada keuntungan juga memicu kapitalisasi. Inilah bentuk dukungan pemerintah terhadap komersialisasi pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menjamurnya sekolah-sekolah bertaraf internasional (SBI) atau rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI)  dengan pembiayaan tinggi, menyebabkan kesenjangan akses bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Realita ini memutus harapan anak-anak cerdas namun dari kalangan rakyat biasa untuk mengecap pendidikan di sekolah yang berkualitas.

Secara perlahan namun pasti paradigma kapitalisasi pendidikan ini menggeser tujuan pendidikan dari upaya mencerdaskan bangsa menjadi lahan bisnis. Pendidikan tak lagi hadir untuk memanusiakan manusia melainkan sebagai gengsi.

Mengutip tempo.co pada 14/8/2025 Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang diajukan oleh Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID). Pemohon meminta pendidikan perguruan tinggi atau perkuliahan dibiayai sepenuhnya oleh negara. Menurut mahkamah, dapat atau tidaknya para pemohon mengikuti pendidikan menengah dan/atau pendidikan tinggi, tidak semata-mata ditentukan oleh kewajiban negara dalam menyediakan biaya untuk seluruh jenjang pendidikan. Inilah bukti kegagalan Kapitalisme dalam memenuhi hak-hak dasar rakyat.

Guru dan Dosen Bukan Beban Negara

Sejalan dengan amanat pendidikan Indonesia, negara memiliki tanggung jawab yang besar untuk memastikan hak tenaga pengajar terpenuhi dengan baik. Apakah pemerintah serius memperhatikan kesejahteraan guru dan dosen? Utamanya terkait dengan guru honorer yang hingga kini tak kunjung diberikan kepastian penggajiannya.

Negara tidak hadir untuk memberikan penyelesaian mengenai standar guru honorer, ada yang digaji Rp150 ribu, ada yang Rp300 ribu, namun di sekolah-sekolah bergengsi  gaji gurunya sampai puluhan juta. Kesenjangan itu nyata. Pernyataan Sri Mulyani memunculkan anggapan bahwa mensejahterakan guru adalah sesuatu yang sia-sia.

Masyarakat melihat pemerintah setengah hati bahkan tidak memiliki kemauan politik atau political will untuk menyejahterakan guru dan dosen. Padahal kedua profesi ini adalah kunci terwujudnya visi Generasi Emas 2045. Data Jobstreet pada Agustus 2025, rata-rata gaji guru di Indonesia berkisar antara Rp3,8 juta hingga Rp5,5 juta per bulan. Angka ini berbeda di tiap daerah. Ini menjadikan gaji guru di Indonesia terendah se-Asia Tenggara. Fakta lainnya, tak sedikit guru yang skema penggajiannya di bawah UMR dengan kisaran ratusan ribu rupiah per bulan.

Selain itu ketidakseriusan pemerintah tampak dari alokasi anggaran pendidikan termasuk pengelolaannya yang tidak transparan. Jika saja pengelolaannya amanah maka alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen di APBN dapat menjadi solusi menaikkan kesejahteraan guru dan dosen. Namun pemerintah lebih menganakemaskan sekolah kedinasan melalui alokasi anggaran pendidikan kedinasan sebesar Rp104,5 triliun atau setara 39 persen dari anggaran pendidikan di APBN, yang hanya dinikmati oleh 13 ribu orang.

Sementara untuk pendidikan formal lainnya, dari mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi hanya mendapat anggaran Rp91,2 triliun per tahun, atau 22 persen dari dana alokasi APBN. Padahal dana ini digunakan oleh 62 juta siswa, 4.769 kali lebih banyak.

Atas pemaparan tersebut, Sri Mulyani menegaskan bahwa anggaran pendidikan kedinasan tidak masuk ke dalam anggaran pendidikan senilai Rp724,2 triliun, alias masuk dalam kementerian terkait. Meski demikian, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyangsikan hal itu. Sebab sudah ada temuan lama mengenai penggunaan anggaran pendidikan untuk sekolah kedinasan dan bahkan program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Islam Memuliakan Guru

Memuliakan guru dalam Islam adalah kewajiban, sebab guru dianggap sebagai pewaris ilmu dan penerus risalah kenabian. Negara berdiri di garda terdepan untuk memastikan kesejahteraan guru karena Islam memandang ilmu dan pendidikan sebagai perkara yang sangat vital, serta memiliki peran strategis yang tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan materi. Oleh sebab itu negara akan mengupayakan pemenuhan kebutuhan pendidikan berapapun biayanya.

Dalam sistem Khilafah, pendidikan merupakan bagian dari hak-hak kolektif masyarakat yang diperoleh secara murah bahkan cuma-cuma. Khalifah memastikan generasi kaum Muslimin dididik oleh guru dan pengajar berkualitas dengan memprioritaskan kesejahteraannya baik dengan penggajian yang tinggi, penyediaan rumah dinas dan pemenuhan infrastruktur pendidikan lainnya.

Negara tidak akan memeras rakyat untuk berkontribusi dalam pembiayaan sektor pendidikan dengan berbagai pungutan, justru pemberdayaan pendidikan bersinergi dengan penerapan sistem ekonomi Islam dengan sumber pembiayaan dari pos kepemilikan negara dan pos kepemilikan umum. Dengan terpenuhinya kesejahteraan guru, para pengajar dapat menjalankan profesinya dengan tenang, fokus mengajar dan mengembangkan ilmu. Untuk itu hanya visi Islamlah yang terbukti mewujudkan kesejahteraan guru dan memuliakannya sebagai pahlawan.[]

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *