Kapitalisme, Genjot Obyek Pajak Catut Zakat

Suara Netizen Indonesia–Apa yang menyibukkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhir-akhir ini? Jawabnya sibuk memperluas obyek pajak karena penerimaan pemerintah dari sektor pajak melemah. 

 

Sri Mulyani mengatakan, extra effort akan ditempuh Kementerian Keuangan untuk menambal potensi penerimaan negara yang hilang, akibat batalnya penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk semua barang dan jasa pada 2025. Sesuai perintah Presiden Prabowo Subianto tarif PPN sebesar 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah, sedangkan selainnya tetap sebesar 11 persen (cnbcindonesia.com, 14-3-2025). 

 

Pada dua bulan awal tahun 2025, pendapatan negara hanya senilai Rp 316,9 triliun, turun 20,82 persen dibanding periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp 400,36 triliun. Pemicunya, setoran pajak yang masuk ke kas negara hanya senilai Rp187,8 triliun, terkontraksi sebesar 30,19 persen dibandingkan catatan Februari 2024 sebesar Rp 269,02 triliun. 

 

Sedangkan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP hanya senilai Rp 76,4 triliun, turun 4,15 persen dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 79,71 triliun. Hanya penerimaan bea dan cukai yang naik 2,13 persen dari Februari 2024 Rp 51,50 triliun menjadi Rp 52,6 triliun.

Baca juga: 

Gaza, Pelaparan Sistemis dan Momentum Kebangkitan Umat

 

Menanggapi fakta ini, Anggito Abimanyu, Wakil Menteri Keuangan RI, menjelaskan, turunnya penerimaan negara itu memang sudah diantisipasi, tidak lain supaya bisa tetap sesuai dengan target yang ditetapkan dalam APBN 2025 sebesar 3.005,1 triliun, atau lebih tinggi dari APBN 2024 yang targetnya senilai Rp 2.802,29 triliun.

 

Anggito mengatakan itulah mengapa butuh optimalisasi beberapa inisiatif strategis melihat ada faktor penurunan penerimaan negara Dan sudah diantisipasi. Kemudian perlu diadakan leaders official meeting di Kemenkeu untuk memutuskan beberapa inisiatif strategis dengan tujuan mengurangi tax gap dan mencoba mencari sumber-sumber yang masih bisa dioptimalkan. 

 

Pajak sama dengan Zakat? 

 

Dan itulah yang terjadi, sepanjang tahun anggaran APBN tidak pernah surplus, selalu defisit Dan makin kesini angka defisitnya semakin melebar. Banyak masukan pendapat Dari beberapa ekonom, demikian juga pemerintah sudah melakukan efisiensi belanja hampir di semua lembaga kenegaraan, baik pusat maupun daerah. Keadaannya tetap sama. 

 

Yang menggelikan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyamakan kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Menurutnya,  ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan. Sri Mulyani mengilustrasikan dengan orang yang mampu harus menggunakan kemampuannya karena di dalam setiap rezeki dan harta yang didapatkan ada hak orang lain. 

 

Hal itu disampaikan Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025, Rabu (cnbcindonesia.com, 13-8-2025). Sri Mulyani pun menjelaskan dalam konteks kebijakan fiskal, pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kembali ke masyarakat dalam berbagai bentuk. Seperti program perlindungan sosial, hingga subsidi yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat. Terutama kelompok berpendapatan rendah.

 

Juga di aspek pendidikan, kesehatan Dan pertanian. Semuanya sebagai instrumen APBN untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Bahkan saat membahas gaji guru dan dosen yang masih rendah, Sri Mulyani mempertanyakan secara retorika, apakah semua harus dibiayai negara atau saatnya rakyat berpartisipasi? Secara substansi pajak untuk APBN adalah ekonomi syariah. 

Baca juga: 

Menghormati atau Tak Ada Solusi Pasti?

 

Sangatlah menggelikan ketika melihat lisan para pejabat hari ini. Perluasan obyek pajak membuat mereka linglung dan berkata secara acak, seperti misalnya wacana penarikan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk setiap musik yang diputar di kafe, suara burung hingga menyanyikan lagi kebanggaan di even-even Nasional. 

 

Dengan maksud yang sama, pajak pun disamakan dengan zakat agar rakyat tidak merasakan beban karena menyamakan dengan aktifitas ibadah. Apakah Sri Mulyani sudah benar-benar memeriksa definisi pajak dalam syariat Islam? Jangan-jangan ia hanya mencatut tanpa pernah memahami maknanya.

 

Namun ini membuktikan betapa rapuhnya Sistem Ekonomi Kapitalisme. Sistem ini asasnya adalah memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga yang menjadi acuan dalam pengaturan adalah manusia itu sendiri. Pengemban Sistem ini menghendaki kebebasan tanpa batas dalam mengakses faktor-faktor ekonomi strategis. 

 

Tak ada pembagian status kepemilikan harta, sepanjang mereka memiliki modal dan menguasai penguasa sehingga bisa mengendalikan kebijakan Maka semua bisa dimiliki. Privatisasi, hilirisasi, Proyek Strategis Nasional (PSN) program hibah dan lainnya hanyalah kamuflase untuk menyamarkan kerakusan mereka. 

 

Sistem Ekonomi Kapitalisme membatasi peran negara dalam mengurusi rakyatnya. Negara lebih berfungsi sebagai regulator kebijakan yang memudahkan para investor asing menguasai kekayaan alam negeri ini. Bahkan ironinya, para pejabat negara juga banyak yang merangkap sebagai pengusaha. Mereka punya andil saham dalam beberapa perusahaan baik lokal maupun international. 

 

Para pejabat memanfaatkan kewenangan yang ada pada mereka untuk kepentingan mereka sendiri atau partai pengusung dirinya untuk bisa duduk di kursi kekuasaan. Itulah alasannya mengapa pendapatan yang dianggarkan dalam APBN sebagian besar berasal dari perolehan pajak. Ya karena sumber yang seharusnya dikelola negara sudah beralih kepada pihak ketiga.

 

Islam Solusi Sejahtera Tanpa Pajak

 

Memang pajak kemudian menjadi Instrumen penting dalam APBN yang dengannya negara bisa membiayai kebutuhan negara dan rakyat. Namun sejatinya, pajak adalah sumber pendapatan yang rapuh sekaligus zalim. Sebab, dalam Sistem Kapitalisme pajak dipungut sepanjang tahun dan kepada semua rakyat, tak peduli kaya atau miskin. Juga menyangkut obyek apa saja, tak hanya penghasilan seseorang Dari bekerja, rumah, tanah, bangunan, kafe, mobil, barang mewah, hingga royalti musik pun kena pajak. 

 

APBN dalam Sistem Kapitalisme juga rentan dikorupsi hingga dijadikan sapi perah bagi orang-orang partai. Sementara Baitulmal, tidak akan masuk dan keluar dari hartanya kecuali atas perintah syariat. Sungguh, tak ada kaedah fikih yang bisa menyamakan pajak dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme dengan zakat dalam Islam. Penyamaan ini hanyalah lips servis negara dalam rangka menutupi ketidakmampuannya mengurus rakyat. 

Baca juga: 

Blokir Rekening Doormant, Blokir Nasib Rakyat

 

Sementara zakat dipungut pada orang yang mampu saja, dengan prosentase tertentu dan waktu tertentu (nisab dan haul). Obyek zakat ditentukan syariat salah satunya bukan ditarik dari profesi seseorang. Dan penyaluran zakat juga bukan untuk infrastruktur dan semua orang, melainkan sudah ditentukan syariat hanya untuk 8 asnaf (golongan) saja. 

 

Sangat naif jika kemudian menyamakan zakat dengan pajak. Sangat tidak apple to apple. Bahkan menunjukkan kebodohan terhadap agamanya. Dalam Islam, pendapatan Baitulmal berasal Dari pengelolaan kepemilikan umum dan negara, ditambah zakat. 

 

Kepemilikan Individu, negara samasekali tidak akan mengutak-atik. Namun negara hanya mengontrol darimana harta itu diperoleh, halal atau haram, dan memberikan tuntunan pengeluarannya dengan melarang menimbun, menipu, curang, korupsi, boros,  mencuri, mubazir dan lain sebagainya. 

 

Hal ini selain karena perintah Allah SWT, tapi juga menjadi mekanisme terbaik menjaga harta yang diterima Individu. Negara hadir menjaga baik itu harta, darah, kehormatan Individu muslim atau non muslim. Negara tidak akan mempertanyakan apa yang sudah rakyat berikan, sebab fungsi negara justru melayani rakyat. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

 

Artinya, seorang pemimpin tidak boleh menyusahkan rakyat yang ia pimpin. Sebab kekuasaan yang ada padanya akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh pemilik kekuasaan sesungguhnya, yaitu Allah SWT. Hanya satu jalan agar ia bisa memimpin dengan adil sekaligus mewujudkan kesejahteraan hakiki, yaitu dengan menerapkan syariat Islam secara kâfah (menyeluruh), tak hanya istilah atau substansi tapi benar-benar nyata dalam bentuk hukum positif negara. 

 

Sungguh inilah yang dimaksud dengan kesempurnaan Islam, yang sistem lain tak ada. Yaitu Islam sebagai pengatur akidah dan ibadah seorang hamba, juga menjadi idiologi sebuah negara. Wallahualam bissawab. [SNI].

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *