Negara Mengambil Alih Tanah, Untuk Kepentingan Siapa?

Melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pemerintah berencana mengambil alih tanah dengan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun.
Wacana tersebut menuai pro kontra. Mereka yang tidak setuju di antaranya adalah Pengamat Tata Kota dan Transportasi, Yayat Supriatna. Menurutnya, negara harus menjelaskan dulu siapa yang nanti akan mengolah dan mengelola lahan, juga berapa biaya yang harus dikeluarkan? Karena faktanya masih banyak lahan kosong milik instansi-instansi pemerintah yang dibiarkan terlantar hingga menjadi pemukiman liar warga. (Bloombergtechnoz.com, 19/7/2025)
Sebuah kewajaran muncul pertanyaan di atas. Sejauh mana negara mampu menertibkan lahan yang ada? Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20/2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar (PKTT) tujuannya untuk mencegah konflik. Namun sampai saat ini konflik pertanahan malah semakin kompleks. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama tahun 2015-2022 terdapat 2.710 kasus agraria yang menimpa pada 5,8 juta hektar tanah yang menjadi sumber penghidupan 1,7 juta keluarga. Setidaknya ada 1.615 orang ditangkap dan dikriminalisasi serta ada 77 yang tewas ditembak aparat. Sementara Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat di tahun 2020 terjadi 45 konflik sosial dan kerusakan lingkungan di sekitar tambang. Kejadian ini menyebabkan 69 orang dikriminalisasi dan 700 ribu hektar lahannya rusak.
Pihak yang terlibat dalam konflik pertanahan adalah rakyat, pengusaha dan penguasa. Dari semua sengketa itu, lebih banyak melibatkan para pemilik modal dari pada masyarakat sekitar. Seperti perambahan hutan, penyerobotan tanah, ganti rugi yang tidak dibayar atau tidak adanya titik temu terkait besarannya.
Jika wacana pengambilalihan tanah oleh pemerintah demi penertiban, tidak merugikan masyarakat, bahkan demi dimanfaatkan oleh rakyat, atau diolah negara dan manfaatnya bisa dirasakan masyarakat, maka tentu saja harus diapresiasi. Namun sayang pengaturan di bawah sistem kapitalisme sekular yang telah mengubah cara pandang terhadap tanah dari yang seharusnya menjadi amanah publik untuk kemaslahatan rakyat, menjadi komoditas yang diperjualbelikan demi keuntungan segelintir pihak, maka kebijakan apapun tetap akan berpihak kepada para kapital bukan untuk rakyat. Dalam sistem ini kepemilikan dan penguasaan lahan didasarkan pada kekuatan modal, bukan pada kebutuhan masyarakat. Akibatnya lahan-lahan yang bersertifikat HGB dan HGU lebih banyak jatuh ke tangan korporasi besar yang mempunyai akses luas terhadap regulasi dan kekuasaan.
Saat mayoritas masyarakat tengah kesulitan dalam mendapatkan lahan untuk kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, bertani maupun berdagang, penguasa yang seharusnya berperan sebagai pelindung dan pengatur distribusi tanah yang adil, justru lebih cenderung berpihak ke pemilik modal dengan menjadi fasilitator kepentingannya. Alih-alih melindungi hak warga, negara kerap kali membiarkan praktik ketimpangan ini terus berlangsung. Bahkan turut andil dalam proses legalisasi penguasaan lahan oleh pihak-pihak berkepentingan.
Hal ini mencerminkan kegagalan sistem kapitalisme dalam mewujudkan keadilan agraria yang merata. Di tengah krisis kepemilikan tanah, banyak aset milik instansi-instansi pemerintah justru terbengkalai tanpa kejelasan pemanfaatannya. Minim perencanaan strategis dan berpeluang terjadinya penyalahgunaan dan pengelolaan yang tidak tepat sasaran. Akibatnya masyarakat dirugikan sementara pengusaha bermodal besar mendapat kemudahan mengakses lahan.
Kondisi ini semakin memperjelas bagaimana tata kelola lahan dalam sistem kapitalisme, tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Pengelolaan wilayah hampir selalu dikaitkan dengan ketersediaan anggaran atau potensi keuntungan finansial. Seolah lahan hanya bernilai jika menghasilkan uang. Padahal sejatinya tanah adalah sumber kehidupan yang seharusnya dikelola untuk mencukupi kebutuhan dasar masyarakat seperti untuk tempat tinggal, bercocok tanam dan ruang hidup yang layak. Namun dalam konsep kapitalisme, suatu kawasan tunduk pada logika pasar, dieksploitasi demi keuntungan investor dan kehilangan fungsi sosialnya. Akibatnya keadilan dalam penguasaan serta pemanfaatan daratan menjadi semakin jauh dari kenyataan.
Berbeda dengan pengelolaan wilayah dalam negara yang menerapkan Islam, yaitu khilafah. Agama ini memandang bahwa tanah merupakan tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Maka dari itu aturannya lahir untuk menjamin ketahanan pangan, keamanan, pemukiman dan lain-lain. Terdapat tiga kepemilikan lahan, yaitu individu, umum dan negara. Milik individu dilindungi, pemerintah setidaknya memberi sertifikat gratis ke warga. Sementara yang milik umum adalah kawasan yang mengandung tambang yang melimpah, sumber air, danau, sungai, hutan, jalan-jalan semuanya dikelola negara untuk kepentingan publik. Sehingga tidak ada hak penguasaan hutan (HPH) kepada para pemilik modal domestik atau asing. Karena itu merupakan kebijakan zalim yang menguntungkan pihak tertentu.
Sementara yang termasuk kepemilikan negara meliputi padang pasir, gunung, bukit, lembah, pantai, wilayah mati yang tidak terurus yang belum pernah diolah atau pernah digarap tapi ditinggalkan lagi. Lahan seperti ini dikelola sepenuhnya oleh khalifah berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Namun tetap memperhatikan kemaslahatan publik. Penguasa diperbolehkan memberikan tanah milik negara kepada rakyat atau memberikan hak guna (pemanfaatan) pada seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian negara tidak bertindak sebagai fasilitator pemodal, tapi sebagai pengatur dan pelayan umat, serta menjaga agar distribusi kawasan untuk pertanian dan kekayaan lainnya tidak melahirkan ketimpangan dan kezaliman.
Dengan tujuan mulia itulah dulu Khalifah Umar bin Khaththab pernah merampas tanah dari Bilal bin Haris al-Muzani. Beliau berhujah dengan sabda Rasulullah saw.:
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu untuk dirinya. Dan tidak ada hak untuk orang yang memagari tanah setelah tiga tahun.” (HR Abu Yusuf dan Abu Ubaid)
Hadis ini kemudian akan menjadi peraturan yang dijalankan negara Khilafah. Rakyat diberi kesempatan untuk mengolah tanah seluas yang dia mampu, tapi jika menelantarkannya selama tiga tahun berturut-turut maka akan diambil alih kembali. Aturan ini bisa menjamin keadilan dan harapan hidup bagi masyarakat dan hanya sistem Islam yang mampu mewujudkannya. Penegakannya kembali adalah kebutuhan yang mendesak.
Wallahu a’lam bish shawab.
Aturan tanah mati/tidak digarap lebih adil dalam sistem Islam.
#UdahPakeKhilafahAja