Menghormati atau Tak Ada Solusi Pasti?

Suara Netizen Indonesia–Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengungkapkan pemerintah menghormati keputusan ratusan siswa Sekolah Rakyat (SR) yang tetap memutuskan mundur dan tidak memaksa mereka harus kembali sekolah. 

 

Hal ini menyambung berita banyaknya siswa yang sudah terjaring Program SR, namun memilih mundur. Tidak lanjut sekolah meski biaya gratis. Calon siswa yang paling banyak memilih mundur berasal dari Jawa dan Sulawesi. Di Kalimantan ada 10 siswa, di Sumatera 26 siswa, di Jawa dan Sulawesi masing-masing 35 siswa. Di Bali dan Nusa Tenggara 4 siswa, dan di Maluku 5 siswa. Hanya Papua yang terdata tidak ada peserta mundur (Kompas.com, 1-8-2025).

 

Alasan utama pengunduran diri beragam, menurut Gus Ipul, antara lain karena tidak siap tinggal di asrama dan memilih bersekolah di sekolah reguler. Ada yang tidak bisa jauh dari orangtua atau bahkan harus menjaga orangtua tunggal, baik anak yatim maupun yatim piatu.

 

Jika ditotal siswa yang mundur tercatat sebanyak 115 siswa, atau sekitar 1,4 persen dari total siswa yang diterima. Dan menurut Gus Ipul lagi, jumlah ini masih sangat kecil dibanding total keseluruhan siswa SR, yaitu 9.705 siswa. Gus Ipul sekaligus memastikan bahwa pemerintah telah siap menggantikan ratusan siswa yang mundur itu. Artinya, tidak ada kerugian dari pihak pemerintah atas kemunduran itu. 

Baca juga: 

Blokir Rekening Dormant, Blokir Nasib Rakyat

 

Data yang diterima Gus Ipul, Sulawesi, sudah ada 26 yang menggantikan, di Bali dan Nusa Tenggara, dari 4 yang mundur, sudah digantikan seluruhnya. Di Kalimantan, masih dalam proses.

 

Sekolah Rakyat, Kebijakan Tambal Sulam

 

Dengan lugas, pemerintah menyebut keputusan mundurnya siswa SR sebagai “menghormati”, kalimat ini sangat rancu, antara tidak peka dan tega sangatlah tipis. Mendapatkan pendidikan adalah hak setiap manusia. Dengan sumber daya manusia yang memiliki pendidikan unggul maka peradaban bangsa tangguh dan berjaya akan mudah diwujudkan. Mengapa pemerintah mudah menyerah? Wajibkah SR ini dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang sudah ada lebih dahulu yang juga butuh perhatian. Apalagi fasilitas SR sangat njomplang dengan sekolah-sekolah di negeri ini dari pusat hingga daerah terpencil dan terpinggir. 

 

Namun rasanya sangat sulit terwujud sepanjang pemerintah kita masih menerapkan kebijakan sebagaimana hari ini. Kebijakan yang bersumber bukan Dari wahyu Ilahi, melainkan dari kecerdasan manusia semata, tentu sekuler, yaitu meniadakan peran agama ketika mengatur seluruh urusan manusia. 

 

Program SR sejatinya ditilik dari ide sudah menunjukkan perbedaan perlakuan penguasa kepada rakyat, khususnya rakyat miskin. Seolah miskin adalah beban, sehingga pemerintah merasa perlu ” hanya memperhatikan” yang miskin, sementara faktanya, dunia pendidikan kita tidak baik-baik saja. 

 

Pendidikan bukan hanya bicara manusianya, tapi juga infrastruktur pendukungnya. Masih banyak sekolah di negeri ini yang tak memiliki gedung layak, laboratorium, perpustakaan, bahkan akses ke sekolahnya banyak yang Masih harus bertaruh nyawa saking sulitnya. 

Baca juga: 

Koperasi, Sudahkah Fix Sebagai Perekonomian Indonesia?

 

Pendidikan di desa dan kota sangat berbeda, banyak sekolah yang tidak menerima murid baru karena ketertinggalan mereka dalam sarana Dan prasarana. Biaya pendidikan juga saking berkejaran, katanya swasta mahal, namun sekolah negeri hari ini lebih mencekik lagi. 

 

Belum ditambah dengan fakta output sekolah di berbagai jenjangnya hari ini sangat mengenaskan, tak hanya tak pandai baca tulis, tapi juga rentan depresi, mudah membully hingga tak berat berbuat kriminal. 

 

Alih-alih pemerataan pendidikan pemerintah malah fokus pada SR, lantas siapa yang menyelesaikan semua persoalan di atas? LSMkah? Bupati atau Gubernurnyakah? Jelas harus negara. Sebab negara memiliki segala kekuatan, baik wewenang maupun alat untuk mewujudkan pendidikan terbaik teeselenggara dengan sempurna. 

 

Kita sedang berada dalam Sistem Kapitalisme, dimana penguasaan aspek-aspek strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh segelintir pemilik modal, dan ironinya negara berpihak pada mereka, meski sudah ada amanat rakyat saat memilih pemimpin. Negara hanya berfungsi penyedia regulasi atau kebijakan bagi para investor.

 

Ketika kekayaan alam yang melimpah dikuasai para korporat, negara mencari dana melalui jalan lain yaitu pajak. Inilah yang semakin menambah berat beban rakyat. Semua pelayanan publik bertarif mahal, hingga kemiskinan bukan lagi soal takdir melainkan tersistem. Benar adanya, jika dikatakanbahwa kemiskinan menurun, bukan angka sebagaimana diungkap presiden kita, tapi ke anak cucu. 

 

Islam Solusi Tuntas Lahiran Generasi Berkualitas

 

Islam sebagai agama sempurna, sangat picik jika Masih ada yang mengatakan hanya mengatur masalah ibadah. Islam mengatur sistem pendidikan, perekonomian, hingga bernegara. Dan semua sudah sempurna docontohkan oleh Rasulullah saw. Sebagaimana firman Allah SWT., ” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah,” (TQS Al-Ahzab:21). 

 

Sebagai kepala negara, Rasulullah saw. pernah meminta tebusan dari tawanan perang suku Quraisy untuk mengajari anak-anak Madinah membaca Dan menulis. Demikian pula Umar bin Khattab pernah menggaji guru 15 dinar atau setara dengan Rp 33 juta/bulan, dari hasil kurs 1 dinar sama dengan 4,25 gram, semisal emas Antam dengan kadar 91,7 persen dan berat 4,25 gram dijual seharga Rp 3.582.007 dikali 30 hari kerja. Sungguh gaji yang luar biasa. 

 

Diikuti oleh Khalifah-khalifah selanjutnya, yang tak kalah fokus pada pendidikan, dengan membangun berbagai perguruan tinggi , laboratorium, perpustakaan hingga rumah sakit dan masjid sebagai pusat pendidikan terbaik pada masanya, Eropa pun masih dilanda kebodohan dan kegelapan. Wajar jika Daulah Khilafah menjadi mercusuar dunia, yang menghasilkan para ilmuwan multipolymath yang banyak menyumbang kemajuan peradaban. 

Baca juga: 

Pengangguran Sistemik, Saatnya Tidak Berpolemik

 

Pendidikan dijamin diberikan kepada individu rakyat dalam versi terbaik, Dari berbagai jenjang dan untuk si kaya maupun si miskin. Tak ada sekolah negeri atau sekolah rakyat. Semua wajib menggunakan kurikulum berdasarkan akidah Islam, pembiayaan penjaminan ini berasal dari hasil pengelolaan SDA yang menjadi kepemilikan umum dan harta milik negara ( jizyah, fai, kharaj dan lainnya) ditambah dengan harta zakat. 

 

Tak hanya di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, keamanan, perubahan, sandang dan pangan berada dalam jaminan negara. Rakyat hanya wajib bekerja, tanpa memikirkan pajak dan biaya lainnya, negara menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Kemiskinan teratasi, hingga pernah pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, tak ada warga negara Khilafah yang mau menerima zakat. 

 

Miskin dan kaya adalah fitrah, namun miskin dan kaya jika dalam sistem bukan Islam adalah bencana. Bagi kita kaum Muslim, adalah pilihan lain selain diterapkannya syariat Islam? Bagaimana mungkin orang yang membaca Al-Qur’an diyakini mendapatkan pahala, sedangkan menerapkan seluruh syariat yang termaktub dalam Al-Qur’ an adalah dosa? Tidak wajib atau diabaikan saja? Wallahualam bishowab. [SNI].

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *