Koperasi, Sudahkah Fix Untuk Perekonomian Indonesia?

Suara Netizen Indonesia–Selain Presiden Prabowo, acara peluncuran 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Desa Bentangan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, juga dihadiri sejumlah menteri Kabinet Merah Putih. Gubernur Jateng dan lebih dari 8 ribu kepala desa se-Jateng (Republika co.id, 21-7-2025).
Dalam kata sambutannya, Prabowo berpendapat, pembentukan koperasi tidak akan disukai pemodal dan kapitalis besar. Alasannya, dengan konsep gotong royongnya, koperasi berpotensi menjadi pesaing para pengusaha besar. Selain itu ada banyak negara di dunia yang tidak suka jika ada negara besar yang ingin bangkit. Negara-negara itu selalu berhasrat untuk hegemoni, berkuasa secara mutlak. Karena itu koperasi sebagai alat pihak yang lemah, yang mengubah kelemahan menjadi kekuatan, selalu dianggap sarana untuk berdaulat, sarana untuk kemerdekaan sejati.
Baca juga:
Pengangguran Sistemik, Saatnya Tak Berpolemik
Prabowo juga menerangkan, koperasi adalah konsep untuk masyarakat yang lemah. Orang-orang kuat tidak akan bersedia berurusan dan menjadi anggota koperasi.
Disukai Kapitalis atau Tidak, Apakah Koperasi Lebih Baik?
Entah ada maksud apa di dalam pernyataan presiden di atas. Yang jelas, koperasi hari ini diambil oleh pemerintah sebagai salah satu solusi mensejahterakan masyarakat Indonesia. Banyak jargon yang disematkan, di antaranya ekonomi Pancasila, ekonomi kerakyatan, gotong royong dan lainnya. Apakah pelabelan ini akan merubah Indonesia menjadi lebih baik?
Jika melihat dari sejarah berdirinya koperasi, konsep koperasi memang bukan dari sistem ekonomi kapitalisme, koperasi adalah antitesis kapitalis yaitu sosialisme. Merujuk pada konsep penguasaan modal dalam kapitalisme yang hanya dikuasai oleh satu orang atau lebih dan sangat mendominasi. Sehingga seringkali kekayaan tidak terdistribusikan secara adil.
Maka, sistem sosialisme ingin merubah kondisi itu agar lebih “ manusiawi” bahwa kekayaan seharusnya bisa dinikmati secara merata. Maka kesimpulannya, koperasi adalah sistem ekonomi campuran atau alternatif yang menggabungkan prinsip-prinsip dari kapitalisme maupun sosialisme. Karena pada faktanya, permodalan yang harusnya disetor oleh masing-masing anggota di awal pembentukan koperasi tidak bisa dipenuhi setiap orang secara mandiri. Muncullah lembaga keuangan yang siap membantu menyediakan dana.
Sebagaimana Koperasi Merah Putih ini yang terkoneksi dengan Bank Himbara ( Himpunan Bank Pemerintah). Secara konsep bergotong royong tapi secara perolehan model menggunakan konsep kapitalisme.
Dalam sistem Kapitalisme, kepemilikan dan pengelolaan usaha didominasi oleh individu atau kelompok dengan tujuan utama mencari keuntungan. Sedangkan koperasi modal dan keuntungan dibagi bersama. Disinilah yang patut kita kritisi, pemerintah kita sejatinya tidak memiliki konsep yang tegas terkait sistem perekonomian, semua didasari atas coba-coba. Indonesia sudah memiliki Koperasi Unit Desa, bukannya dikembangkan tapi malah membuat koperasi tandingan.
Baca juga:
Beras Oplosan, Sektor Pangan Nasional Kian Memprihatinkan
Jika dilihat, ruhnya masih cenderung kapitalisme, sebab menguntungkan para investor yang bergerak di bidang perbankan. Padahal koperasi sendiri adalah badan usaha batil, menurut pandangan Islam, ditambah dengan permodalan berbasis riba, bukankah ini namanya batil dobel? Bagaimana bisa negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam namun justru mengambil cara di luar Islam ketika berekonomi?
Islam Sejahterakan Rakyat Tanpa Riba
Koperasi dalam pandangan Islam selain batil karena akad pembentukan di awalnya yang hanya berisi pengumpulan modal bukan pengelola. Ada bagi hasil dalam koperasi yang tidak mengacu pada modal dan/atau kerja, melainkan pada kuantitas penjualan produk ke pasar (pada koperasi pemasaran), atau kuantitas belanja anggota koperasi (pada koperasi pembelian), atau kuantitas kredit yang diambil anggota ditambah bunga dan bea administrasi (pada koperasi simpan pinjam).
Ditambah adanya kemudahan akses pinjam bank yang tentu berbasis riba, padahal jelas, Allah SWT mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli, Allah SWT. berfirman, ..”Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu ia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (TQS Al-Baqarah: 275).
Al-‘Allâmah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977)—seorang ulama besar, pemikir muslim terkemuka, penulis banyak kitab tentang pemikiran Islam, sekaligus pendiri Hizbut Tahrir—menyampaikan kritik tajam dan mendalam terhadap sistem ekonomi kapitalis, sebagai subsistem ideologi Kapitalisme. Kritik tersebut antara lain tertuang dalam salah satu karya utama (masterpiece)-nya, an- Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm (Sistem Ekonomi dalam Islam).
Baca juga:
Kritik beliau yang pertama terkait asas Kapitalisme yang sekular, pemisahan agama dari kehidupan, yang jelas bertentangan dengan syariat Islam. Kedua, konsep kepemilikan yang bebas, individu boleh memiliki meski harta itu berstatus kepemilikan umum (tambang dan lainnya). Ketiga distribusi kekayaan dalam Kapitalisme yang tidak adil, mereka sibuk produksi tanpa peduli apakah rakyat mudah mengakses atau tidak. Keempat dalam sistem Kapitalisme, negara lebih melayani korporasi ketimbang rakyat, kelima kebebasan ekonomi telah menciptakan monopoli dan praktik zalim lainnya.
Saatnya kembali pada pengaturan Islam, sebab Islam bukan hanya pengatur ibadah Mahdoh tapi juga politik bernegara. Rasulullah Saw. bersabda, “ Khalifah adalah Raa’in, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban apa yang ia pimpin” ( HR. Bukhari dan Muslim). Maka sangat jelas, fungsi negara tak sekadar memimpin rakyat dengan kekuasaan tapi kekuasaan itu harus berdasarkan syariat. Bukan kapitalisme atau sosialis.
Kedua sistem selain Islam terbukti tidak mampu memberikan kesejahteraan. Maka pertanyaan yang harus segera dijawab, apakah ada keraguan ketika kaum muslim diwajibkan mengurus dirinya dengan syariat, sementara syariat sudah jelas berasal dari Allah SWT Pemilik langit dan bumi? Wallahualam bissawab. [SNI/ry].
Komentar