Korupsi Makin Menjadi : Potret Buruk Kapitalisme

Suara Netizen Indonesia–Belum usai drama kasus-kasus korupsi sebelumnya, publik kembali dikejutkan dengan mencuatnya kasus dugaan korupsi proyek pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di salah satu bank pelat merah dengan nilai fantastis mencapai 2,1 triliun rupiah. Kasus ini menambah panjang daftar skandal keuangan di negeri ini yang proses hukumnya sering kali berlarut-larut, penuh sandiwara, dan jarang benar-benar tuntas.

 

Ironisnya, kasus-kasus korupsi ini terjadi di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran dengan dalih keterbatasan keuangan negara. Dampaknya sangat dirasakan oleh rakyat. Berbagai hak dasar dan sektor strategis justru mengalami pemangkasan.

 

Seperti penonaktifan Penerima Bantuan Iuran (PBI), pengurangan tunjangan kinerja guru, pemotongan dana bansos, riset, bahkan alokasi untuk militer, menjadi bukti nyata dari kebijakan efisiensi yang justru menyengsarakan rakyat. Di saat yang sama, uang milik rakyat justru dengan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi.

Baca juga: 

Beras Oplosan, Sektor Pangan Nasional Kian Memprihatinkan

 

Inilah bukti nyata kegagalan sistem sekular Kapitalistik neoliberal dalam mengurus urusan rakyat dan menyelesaikan problematika kehidupan. Sistem ini lebih mengutamakan kepentingan para pemilik modal dan elite politik, dibandingkan kepentingan rakyat banyak.

 

Slogan Demokrasi tentang kekuasaan yang berasal dari rakyat ternyata tak lebih dari jargon kosong, karena praktiknya justru penuh dengan transaksi kepentingan. Jabatan politik bukan lagi amanah, melainkan komoditas yang diperdagangkan. Para pejabat saling bertransaksi dengan para pengusaha dan pemilik modal, hingga akhirnya korupsi menjadi budaya yang subur di semua level dan ranah kehidupan masyarakat.

Baca juga: 

Kebebasan Berekspresi atau Kebebasan Menghina?

 

Berbeda dengan Islam. Kepemimpinan dalam Islam berasas pada akidah yang menjadikan seluruh aktivitas pemerintahan dan kehidupan berjalan sesuai tuntunan syariat. Negara Islam menjalankan amanah kekuasaan dengan penuh tanggung jawab, sarat dengan moralitas kebaikan, serta menegakkan amar makruf nahi munkar. Dalam sistem Islam, kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama, bukan keuntungan segelintir elit.

 

Islam juga memiliki perangkat aturan yang komprehensif dan solutif. Jika diterapkan secara kafah (menyeluruh), sistem ini mampu meminimalisir munculnya kasus korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Pada saat yang sama, Islam menjamin kesejahteraan masyarakat sehingga tidak membuka celah bagi kerusakan maupun pelanggaran hukum.

Baca juga: 

Perempuan dan Anak Butuh Jaminan Perlindungan Siber

 

Fakta sejarah membuktikan, masa keemasan peradaban Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah adalah bukti konkret bahwa masyarakat ideal tanpa korupsi dan penyimpangan benar-benar bisa diwujudkan. Masyarakat hidup dalam kemakmuran yang luar biasa, dengan keamanan dan keadilan yang terjamin. Inilah solusi hakiki yang semestinya menjadi pertimbangan serius jika ingin membangun peradaban yang adil dan sejahtera. Wallahualam bissawab. [SNI/ry].

Artikel Lainnya

Realitas Pahit : Rakyat Tak Terwakilkan Wakilnya

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, Kepala Staf Kepresidenan RI (KSP) Moeldoko mengatakan bahwa sebanyak 9,9 juta rakyat Indonesia saat ini belum punya rumah. Kondisi rakyat ini berbanding terbalik dengan kondisi wakil rakyat yang malah mendapat tunjangan rumah. ICW (Indonesia Corruption Watch) mengatakan, kebijakan pemberian tunjangan rumah bagi anggota DPR Periode 2024-2029 merupakan bentuk pemborosan uang negara. Ujar peneliti ICW Seira Tamara dalam keterangan tertulis, “ICW memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik” .

Tentunya ini sudah menjadi rahasia umum dalam sistem demokrasi, bahwa para ‘wakil rakyat’ itu bekerja hanya demi materi saja. Perilaku para anggota dewan yang seperti ini mengarah pada indikasi kuat bahwa kinerja DPR itu tidak akan jauh-jauh dari kue kekuasaan.

Berbeda dengan Majelis Umat dalam sistem Islam yaitu khilafah, mereka menjalankan tugas atas dasar keimanan dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat, maka mereka menjadi para wakil rakyat yang amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Taala.

Mereka berupaya untuk riayatusy syuunil ummah (mengurusi urusan umat), kemudian muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) yang landasannya adalah amar makruf nahi mungkar. Sehingga tidak ada motivasi untuk memperkaya diri menggunakan uang rakyat atas nama wakil rakyat.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *