Raja Ampat Terluka Sebab Keserakahan Penguasa

Suara Netizen Indonesia–Raja Ampat adalah gugusan pulau yang menyimpan keindahan alam bawah laut dan memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi terletak di provinsi Papua Barat Daya.

 

Pada tahun 2023 lalu UNESCO menetapkan Raja Ampat sebagai Global Geopark atau Taman Bumi Dunia. Raja Ampat memenuhi syarat sebagai Global Geopark karena memiliki sejumlah zat biologi dengan keindahan, kelangkaan, ataupun kepentingan ilmiah khusus.

 

Tak hanya berhubungan dengan geologi saja tetapi juga ekologi, arkeologi, serta nilai sejarah ataupun budaya. Kawasan Raja Ampat memiliki formasi batuan tertua yang berasal dari 443,8 sampai 358,9 juta tahun lalu pada era Silur Devon sepersepuluh usia bumi. Dengan membentuk pulau-pulau kapur yang khas dan dapat ditemui di Wayag Kabui dan pulau-pulau kecil di sebelah timur Misool.

Baca juga: 

Perundungan, Tren atau Salah Urus?

 

Raja Ampat juga digadang-gadang akan dijadikan Cagar Biosfer di bawah program Man and the Biosphere (MAB) di bawah naungan UNESCO. Biosfer sendiri berfungsi untuk melindungi keanekaragaman hayati termasuk keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem. Namun, rupanya tak hanya memiliki keindahan alam saja, Raja Ampat ternyata menyimpan kekayaan lain berupa nikel di gugusan pulau-pulau kecilnya.

 

Dan meskipun termasuk dalam Global Geopark, tak sedikit pun mengurungkan niat para penguasa negeri ini untuk melakukan eksplorasi pertambangan nikel di sana. The Last Paradise on Earth yang merupakan julukan Raja Ampat dibuat tak berdaya oleh pisau-pisau tajam yang mulai membabat habis keindahannya. Tagar Save Raja Ampat pun ramai di media sosial.

 

Saat ini memang industrialisasi nikel serius digarap pemerintah. Seiring naiknya tren permintaan kendaraan listrik, pemerintah sangat berambisi untuk menjadikan Indonesia sebagai “tokoh utama” dalam ekosistem kendaraan listrik. Dibuatlah kebijakan hilirisasi nikel yang merupakan salah satu bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik.

 

Demi menghasilkan nilai tambah yang konon kabarnya dapat menguntungkan negara, eksplorasi mineral penting gencar dilakukan. Seakan tidak puas melakukan penambangan di sejumlah wilayah di Sulawesi kini pemerintah pun mulai melirik Raja Ampat di Papua.

 

Meski sejumlah penelitian mengatakan bahwa hilirisasi mineral penting kerap menimbulkan persoalan serius, namun tidak membuat kendor langkah pemerintah untuk menerbitkan izin menambang ke sejumlah perusahaan industri nikel terbesar di negara ini.

Baca juga: 

Korupsi Tumbuh Subur dalam Sistem Demokrasi

 

Seolah tak cukup dengan menghancurkan tanah, hutan, sungai, laut, di berbagai wilayah Indonesia mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera hingga Obi kini Raja Ampat pun tak luput dari bidikan pemerintah sebab kandungan nikel di dalamnya.

 

Pulau Gag, salah satu pulau kecil di gugusan Raja Ampat yang seharusnya bebas dari ekstraktif pasif pun tak berdaya oleh pisau-pisau tajam yang mulai membabat habis keindahannya. Dengan luas hanya sekitar 6030,53 hektar, namun luas konsesi PT Gag Nikel (PT GN) yang merupakan anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) lebih dari 13.136 hektar. Ini artinya aktivitas tambang berpotensi melalap habis daratan bahkan laut di pulau kecil tersebut.

 

Protes keras pun dilakukan berbagai kalangan, terutama komunitas yang aktif menyoroti masalah kerusakan lingkungan. Salah satunya adalah Greenpeace yang merilis hasil investigasi dan film dokumenter mengenai aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat.

 

Temuan di lapangan mengindikasikan bahwa penerbitan izin dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tidak sesuai prosedur dan tidak melalui proses konsultasi publik yang memadai sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang. Bahkan Amos Sumbung, juru kampanye hutan Greenpeace menyebut bahwa kerusakan Raja Ampat merupakan dampak dari undang-undang Cipta Lapangan Kerja yang berpihak pada investor, utamanya perihal pertambangan.

 

Di lain pihak menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Malamoi, Torianus Kalami menilai lambatnya respon pemerintah membuat permasalahan pertambangan nikel di Raja Ampat menjadi fenomena gunung es yang berlangsung sejak tahun 2018. Apa yang terjadi di Raja Ampat adalah bentuk akumulasi dari investasi di Indonesia yang abai terhadap lingkungan, dan melupakan hak-hak masyarakat adat, serta tidak adanya proses transparansi dari awal yang melibatkan masyarakat secara substansial (Mongabay.co.id, 8-6-2025).

 

Meskipun pemerintah mencoba memberikan perlindungan pada pulau-pulau kecil dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 2012, akan tetapi memang sudah menjadi watak dasar dari pemerintahan yang menganut pada sistem kapitalisme selalu memberikan celah di setiap undang-undang atau peraturannya.

 

Sehingga dapat diakali dengan mudah seperti yang dilakukan penguasa di negeri ini. Selama bisa meyakinkan dengan dokumen dan direstui oleh pemerintah pusat maka pulau-pulau kecil yang kaya akan mineral pun tak luput dari aktivitas penambangan. Seperti diketahui skema hilirisasi nikel yang diusung pemerintahan lebih menguntungkan investor dibanding negara.

 

Memang terjadi pertumbuhan ekonomi di wilayah pertambangan karena adanya investasi dan ekspor, tapi terdapat kesenjangan ekonomi juga tak lagi bisa ditawar karena pertumbuhannya hanya bisa dinikmati oleh para investor dan segelintir penguasa.

 

Negara hanya mendapatkan royalti yang nilainya sangat kecil sedangkan dampak kerusakan lingkungan serta kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Dalam sistem kapitalisme tidak akan pernah ada kesejahteraan atau peningkatan ekonomi rakyat, meskipun hilirisasi nikel dilakukan besar-besaran hingga mencaplok pulau-pulau kecil sekalipun. Malah program hilirisasi ini menjadi masalah besar bagi rakyat Indonesia dan generasi 10 sampai 20 tahun yang akan datang karena ekosistem yang rusak.

 

Bagaimana Islam memberikan solusi terhadap masalah pertambangan ini? Sebagai sebuah ideologi, Islam melahirkan peraturan yang terpancar dari akidah yang berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT. Peraturan yang dapat mengatasi berbagai macam persoalan manusia termasuk masalah penambangan.

 

Berbeda ketika manusia yang membuat aturan pasti menyebabkan masalah dan tidak mampu mencari solusi bahkan malah menambah masalah baru. Prinsip dasar terkait lingkungan, Islam mewajibkan menjaga lingkungan dan tidak merusaknya. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepadaNya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang beriman.” (TQS. Al-A’raf: 56).

 

Dalam Islam tidak ada kompromi untuk kerusakan lingkungan. Pulau kecil dengan daya dukung terbatas yang apabila dilakukan aktivitas penambangan akan menimbulkan kerusakan lingkungan, maka hukumnya haram untuk dieksploitasi. Pulau kecil termasuk ke dalam kepemilikan umum bukan milik negara. Sehingga negara tidak memiliki hak untuk memonopoli demi kepentingan segelintir orang atau memperjualbelikan demi keuntungan sepihak.

Baca juga: 

Kapitalisme Mendatangkan Bencana, Umat Butuh Pemimpin Amanah

 

Islam juga melarang aktivitas yang berbahaya dan beresiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan. Serta dapat menghancurkan ekosistem yang telah diciptakan Allah SWT yang bisa menimbulkan kemudorotan besar bagi seluruh makhluk hidup. Meski, pulau-pulau kecil dikelola oleh BUMN sekalipun.

 

Sudah saatnya harus menghentikan aktivitas tambang di pulau-pulau kecil. Stop kompromi terhadap hilirisasi dan akal-akalan regulasi. Tiba waktunya wujudkan sistem yang berpihak pada lingkungan, manusia dan keberkahan Allah SWT. Bukan sistem hari ini yang mengeruk pulau-pulau kecil hanya demi ambisi dan keserakahan Kapitalisme.Wallahu’alam. [SNI]. 

 

 

Artikel Lainnya

LPG Melon (Kembali) Langka, Ada Apa?

Menyoroti kelangkaan gas melon 3 kg, Dr. Fahrur Ulum, M.E.I. ekonom dari Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) mengatakan, ini lebih karena kebijakan.
“Kelangkaan ini sebenarnya bukan semata karena faktor alam, tetapi memang karena kebijakan,” tuturnya di Kabar Petang.

Penyebab dari semua ini tidak lain karena kebijakan pemerintah yang terdapat pada sistem yang bukan berdasarkan pada Islam. Melainkan saat ini negara yang menerapkan sistem Kapitalisme, dimana pasti selalu mencari celah keuntungan dalam hal apapun, walaupun akan merugikan orang lain. Saat ini pelayanan negara kepada rakyat yang terjadi seperti pelayanan penjual terhadap pembeli (transaksional). Fahrur mencontohkan, subsidi pada 2023 berkurang 12% daripada subsidi pada 2022, sehingga masyarakatlah yang menanggung beban kenaikan harga.

Berbeda dengan sistem Islam, yang memosisikan gas alam, sumber daya alam, minyak bumi itu menjadi milik rakyat, yang pengelolaannya diserahkan kepada negara. Kemudian, dalam sistem Islam itu ada peruntukan dalam hal kepemilikan. “Secara filosofi kepemilikan dalam Islam dibagi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum, termasuk di dalamnya gas bumi, minyak bumi, tidak boleh dimiliki oleh negara yang kemudian dijual kepada rakyat karena pemerintah hanya mengelola saja sementara kepemilikannya milik rakyat,”.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *