Perundungan , Tren atau Salah Urus ?

Suara Netizen Indonesia–Kapolrestabes Bandung, Kombes Budi Santoso membenarkan adanya insiden perundungan di kawasan Cicendo, Bandung, mirisnya pelaku merupakan siswa SMP. Dari kedua belah pihak, yaitu antara pihak sekolah dan anak-anak menurut Kombes Budi sudah mengadakan pertemuan sekaligus mediasi di Polsek Cicendo. Namun orangtua korban tetap melaporkan kasus yang menimpa anaknya ke kepolisian.
Pelaksana harian Polsek Cicendo, AKP I Wayan Mirasni secara terpisah menambahkan pelaku perundungan berjumlah enam orang. Menurutnya, perundungan ini terhadap sesama siswa SMP. Dari Video yang diunggah hingga viral, terekam aksi perundungan terhadap korban dengan cara dipukul dan ditendang secara bergiliran oleh pelaku. Bahkan ada ancaman dibunuh dengan obeng oleh salah satu pelaku.
Peristiwa serupa, juga menimpa seorang anak usia ditendang hingga kepalanya berlumuran darah karena terantuk batu, kemudian diceburkan ke dalam sebuah sumur di Kampung Sadang Sukaasih, Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Para pelaku sempat mengunggah video perundungan itu dan menjadi viral (cnnindonesia.com, 26-6-2025).
Baca juga:
Satgas Andalan, Kriminalitas Terus Jalan
Kapolsek Ciparay, Iptu Ilmansyah mengungkapkan kejadian yang menimpa seorang anak bersama dua orang temannya dan seorang pria dewasa lainnya, berkumpul di Kampung Sadangasih. Kemudian korban dipaksa minum tuak, saat korban menolak terjadilah perundungan itu.
Banyak Aturan Dibuat, Salah Sistem Tak Banyak Bermanfaat
Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani memberikan pendapatanya, kerja sama dengan kementerian PPPA, KPAI dan aparat penegak hukum sangat krusial untuk mengatasi masalah perundungan. Perlu adanya tindakan administrasi dan hukum.
Legislator dari Fraksi PKB itu juga menambahkan perlu adanya penguatan pengawasan penanganan kekerasan di sekolah. Kementerian dan dinas pendidikan harus memastikan setiap sekolah memiliki protokol jelas untuk menangani kasus kekerasan terhadap anak-anak. Serta perlu adanya pencegahan berbasis pendidikan karakter dan pengawasan komunitas sekolah (rri.co.id, 27-6-2025).
Persoalan perundungan memang semakin mengiris hati, bagaimana bisa pelaku sesama pelajar SMP, usia masih sangat belia, bisa begitu kejam. Perundungan kini bukan lagi sekadar kenakalan remaja tapi semakin mengarah kepada tindak kriminal. Lebih ngeri lagi, pertambahan kasusnya bak fenomena gunung es, terlihat dipermukaan hanya puncak kecilnya, sementara di dasar laut lebih besar.
Ditambah satu kasus bisa ketahui ketika viral. Jika tidak, bersiaplah lebih hancur. Banyak aturan telah dibuat, diantaranya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, pasal 130 dan 131 KUHP tentang perundungan atau pasal 351 KUHP tentang tindak penganiayaan dan lain sebagainya. Namun semua Solah angin tanpa suara. Tak menghasilkan keadilan satu pun.
Bukti bahwa regulasi yang ada gagal, ditambah dengan sistem sanksi yang lemah menambah penderitaan anak tak kunjung usai, demikian pula rasa aman yang kian terenggut dari para orangtua. Sistem Kapitalisme yang diterapkan hari ini adalah akar persoalannya, sistem ini telah salah mendefinisikan anak.
Setiap mereka yang berada di bawah usia 18 tahun adalah anak, tentu menjadi masalah ketika terjadi kasus. Di sisi lain juga menunjukkan kegagalan sistem pendidikan di negeri ini. Pendidikan karakter Pancasila yang digaungkan terbukti tidak mampu menghalau budaya menghalalkan segala cara.
Baca juga:
Moderasi Beragama, Panggung Usang Sekulerisme
Tuak yang merupakan salah satu minuman haram bebas diperjualbelikan, padahal dampak negatifnya semua orang sudah tahu, tetap saja dibiarkan beredar bebas hanya karena mendatangkan manfaat materi. Ketika akal telah kehilangan kesadaran, menganiaya malah dijadikan hiburan dan pengisi konten. Sungguh biadab. Pendidikan mana yang mengajarkan demikian kecuali kapitalisme yang asasnya sekular.
Islam Jamin Perlindungan Anak Hakiki
Jelas kita butuh perubahan, siapa yang menghendaki keadaan semakin memburuk? Dan mungkinkah target Indonesia Emas 2045 akan mulus kita capai jika generasinya bermental kriminal? Hendaknya kita bertanya kepada para penguasa di negeri ini, kemana fokus mereka?
Kita butuh perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Tidak cukup masukkan anak ke barak militer, tidak cukup menyusun regulasi atau sanksi yang memberatkan tapi lebih kepada paradigma kehidupan yang diemban oleh negara. Dimana hidup bukan sekadar beraktifitas di dunia, tapi harus benar sesuai tuntunan agama yang kelak dipertanggungjawabkan di akhirat.
Dalam pandangan Islam, haram melakukan tindakan perundungan. Baik verbal maupun fisik. Apalagi menggunakan barang haram. Terlebih ketika harus ada kesadaran bahwa semua perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan. Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara’. (H.R. Muslim No. 4650).
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Malu itu dari iman dan iman ada di surga, sedangkan perkataan keji itu dari perangai yang kasar dan perangai yang kasar ada di neraka.” (H.R. Ahmad No 10108). Sungguh kedua hadis di atas membuktikan bahwa mencela saja sudah diharamkan apalagi hingga melukai fisik. Berapa lemah lembutnya Islam dan betapa zalimnya Kapitalisme.
Baca juga:
Anomali Harga Beras, Ternyata Tak Cukup Satgas
Terkait definisi anak, Islam pun menjadikan usia baligh sebagai titik awal pertanggumgjawaban seorang manusia. Dari Aisyah, Rasulullah Saw. bersabda, “Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga mimpi basah, dan orang gila hingga berakal.”(HR Ahmad, Addarimi, dan Ibnu Khuzaimah). Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Al-Syakhsiyah al-Islamiyyah mengatakan bahwa yang dimaksud “diangkat pena” (rufi’a al-qalamu) dalam hadis ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukalaf.
Dengan definisi anak sebagaimana yang Islam jelaskan, maka keadilan akan semakin ditampakkan. Karena hukum atas seorang mukalaf bisa ditegakkan, tidak rancu dan tidak menimbulkan masalah baru. Yang terpenting adalah sistem pendidikan yang berasas akidah Islam, dengan tujuan memberikan bekal untuk menyiapkan anak mukallaf pada saat baligh.
Pendidikan ini menjadi tanggung jawab keluarga masyarakat terutama negara sebagai pihak yang paing bertanggungjawab dalam menyusun kurikulum pendidikan dalam semua level. Bahkan Pendidikan dalam keluarga pun negara memiliki kurikulumnya. Semua untuk mewujudkan generasi yang memiliki kepribadian Islam. Dimana pola pikir dan pola sikap selaras dengan akidah Islam.
Ketika pendidikan telah berbasis akidah, maka negara mengatur sistem informasi dan sistem sanksi agar pendidikan semakin kuat tertancap dalam benak setiap anak didik. Tak ada tayangan yang melanggar syariat bisa bebas dikonsumsi masyarakat, dengan demikian akan lahir generasi yang berkepribadian Islam.
Semua karena Islam mewajibkan seorang pemimpin adalah raa’in (pelayan) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. ‘Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud). Wallahualam bissawab. [SNI].
[…] Perundungan, Tren atau Salah Urus? […]