Satgas Andalan, Kriminalitas Terus Jalan

Suara Netizen Indonesia–Kita kerap mendengar setiap persoalan yang terjadi di masyarakat, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan pembentukan satgas atau satuan tugas. Urusan pertanian, ketahanan pangan, korupsi, dan lainnya. Kali ini akan dibentuk tim khusus (timsus) semacam satgas (satuan tugas) untuk merazia pesantren ilegal.
Hal sebagaimana hasil penilaian Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), sebab Jawa Barat jumlah pesantren ilegal lebih banyak dibandingkan daerah lainnya (republika.co.id, 29-6-2025).
KDM (Kang Dedi Mulyana) Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi pun menyatakan sikap setuju atas kebijakan Cak Imin. Kang Dedi tak menampik jika kasus pelecehan anak memang banyak terjadi di lembaga-lembaga tak berijin tersebut.
Baca juga:
Anomali Harga Beras Ternyata Tak Cukup Satgas
Dedi mengakui, sejauh ini pihaknya sudah menangani puluhan kasus bahkan mungkin ratusan. Ia berpesan kepada para orang tua untuk berhati-hati saat menitipkan anak mereka ke lembaga pendidikan. Harus ada kepastian legalitas lembaga pendidikan tersebut sebelum memasukkan anak. Dedi pun sudah meminta Kanwil Kemenag Jabar untuk segera mendata.
Potret Kegagalan Riayah Negara
Sebetulnya jika mau jujur, pemerintah sudah gagal memastikan rakyatnya bisa mengenyam pendidikan secara berkualitas, merata dan terjangkau. Tak menutup kemungkinan munculnya pesantren ilegal karena persoalan pendidikan di atas. Sehingga keresahan para orangtua dijawab oleh beberapa pihak dengan membuat lembaga.
Sepanjang yang diajarkan bukan kesesatan atau pelanggaran hukum syara, sah-sah saja sebuah lembaga mengumpulkan anak-anak untuk belajar dan membentuk karakter. Perizinan saja yang membedakan ilegal atau tidak, dan sudah semestinya negara mendukung aktifitas masyarakat ini dengan memberi fasilitas terbaik, bukan sekadar legalitas hitam di atas putih ( izin dan lain sebagainya).
Sayangnya yang dipilih pemerintah malah timsus atau satgas. Sangat-sangat pragmatis. Pastilah hasilnya justru akan menimbulkan persoalan baru, salah satunya adalah menimbulkan benturan dengan masyarakat, yang sudah terbantukan dengan adanya pesantren, kebutuhan pendidikan yang murah dan mudah setidaknya sudah dapat mereka penuhi. Pendataan yang dilakukan justru yang paling berbahaya, karena solusi yang digunakan samasekali tidak menyentuh akar persoalan.
Sebanyak apapun data yang berhasil dikumpulkan oleh timsus, pasti tidak akan mengurai maraknya kasus pelecehan itu. Selama penyebab kemunculannya tidak diberantas, yaitu sistem sekular atau pemisahan agama dari kehidupan.
Baca juga:
Di Darat Berebut Gunung, Di Laut Berebut Pulau
Maraknya “pesantren ilegal” dan pelecehan sebetulnya sesuatu yang berbeda, namun berakar pada masalah yang sama. Yaitu ketidakmampuan negara menyiapkan pendidikan bagi generasi. Baik dari sisi kurikulum, SDM pendidik maupun infrastruktur pendukung pelayanan pendidikan bisa berjalan lancar.
Islam Wujudkan Generasi Bertakwa
Jika landasan pendidikannya saja sudah sekular, maka jangan harap akan tercetak generasi bertakwa. Peran Tuhan Sang Khalik (pencipta) dan Mudabbir ( pengatur) dibatasi hanya pada masalah ibadah individual, sementara ketika berinteraksi dengan manusia lain, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya apapun malah menggunakan aturan manusia, sudah bisa dipastikan, tidak akan pernah ada kedamaian, sebab semua orang ingin kebebasan tanpa batasan, tanpa aturan bahkan tanpa pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Sistem pendidikan sekuler tidak mampu membentuk pribadi takwa dan berkepribadian (syakhshiyah) Islam, padahal pembentukan syakhshiyah Islam sangat penting sebagai panduan dalam menjalani kehidupan. Akibatnya mayoritas individu tidak memiliki panduan yang benar dalam menjalani kehidupan. Pelecehan seksual hanya salah satu dampaknya. Yang lebih luas lagi masyarakat menjadi kacau dan terguncang, tak ada standar halal haram.
Bahkan mereka yang menjadi korban malah menjadi komoditas berita. Alat intimidasi seseorang untuk mendapatkan keuntungan materi dan lain sebagainya. Sangat berbeda dalam pandangan Islam terkait masalah pendidikan dan pelecehan seksual. Allah SWT. berfirman yang artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (TQS An-Nisa:9).
Kita dilarang untuk meninggalkan generasi yang lemah, maka cara terbaik adalah dengan menjalankan perintah takwa. Takwa dalam pandangan Islam diwujudkan dalam tiga pilar, yaitu individu/keluarga yang bertakwa, masyarakat yang bertakwa, dan negara yang bertakwa.
Baca juga:
Kemiskinan Kian Ekstrem, Vasektomi Jadi Jalan Pintas
Takwa dalam keluarga diwujudkan dengan kesadaran untuk menguasai ilmu-ilmu (tsaqafah) yang terkait dengan kehidupan sebagai panduan mengarungi hidup. Baik ilmu terkait dengan hubungan dirinya dengan Allah, hubungan dengan dirinya sendiri, maupun hubungan dengan sesama manusia. Tsaqafah ini akan menjadi bekal dalam pembentukan syakhshiyah Islam bagi anggota keluarga.
Takwa dalam masyarakat adalah menghidupkan kebiasaan amar makruf nahi mungkar, yang kini digilas habis oleh Kapitalisme menjadi individualis, tidak peduli dengan orang lain jika tidak memberi manfaat materi. Dan terakhir adalah ketakwaan negara, yang hanya menerapkan syariat Islam bukan lainnya. Sehingga sanksi hukum bagi pelanggaran sangatlah adil dan tegas.
Termasuk bagi pelaku pelecehan. Negara juga menjamin terselenggaranya pendidikan bukan saja formalitas dalam bangku sekolah, tapi juga menciptakan suasana keimanan yang kental di tengah masyarakat. Termasuk memfilter situs dan web yang bertentangan dengan syariat Islam, agar masyarakat mendapatkan tontonan yang mendidik dan semakin menumbuhkan keimanan dan ketakwaan yang kuat. Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar