Sekolah Gratis? Bukan Ditolak, Ganti Sistemnya

Suara Netizen Indonesia–Masyarakat heboh dengan berita Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir Mei lalu memutuskan penggratisan biaya pendidikan di SD dan SMP swasta. Masyarakat jelas menerima dengan gembira, sebab siapapun tahu, biaya sekolah ukuran PAUD saja sudah sangat mahal. Apalagi perguruan tinggi. Semua harus didata, mulai dari foto rumah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, mutasi bank tiga bulan terakhir, BPJS, slip gaji, slip bayar pajak, slip bayar air hingga berapa pengeluaran rumah tangga dalam setahun.
Begitu detilnya pihak perguruan tinggi menghitung kekayaan orangtua calon mahasiswa baru hanya untuk menentukan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang akan ditarik sepanjang menempuh pendidikan di kampus yang bersangkutan. Bukan puluhan ribu tapi ratusan juta nominalnya, terutama untuk jalur mandiri.
Dan meski yang wajib digratiskan masih batas SMP, sudah sangat melegakan. Biaya hidup yang ditanggung setiap keluarga sudah cukup tinggi, jika bisa berkurang satu saja pasti lebih ringan. Tapi tidak bagi pihak sekolah, terutama sekolah swasta, dimana selama ini biaya operasional mereka bukan dari negara melainkan dari wali murid. Pastilah mati kutu jika tetap digratiskan.
Baca juga:
Dari UKT Menuju Janji Pendidikan Gratis
Atas hal ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyatakan ketidaksetujuannya. Haedar menilai bahwa kebijakan semacam itu perlu dipertimbangkan secara matang karena menyangkut masa depan pendidikan nasional. Ia menekankan bahwa para penyusun konstitusi dan pembuat kebijakan di sektor eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus memahami semangat para pendiri bangsa dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat (pwmu.co, 10-6-2025).
Jangan sampai keputusan yang dibuat justru mematikan peran sekolah swasta, karena itu berarti melemahkan pendidikan nasional secara keseluruhan. Apalagi pemerintah memiliki keterbatasan anggaran dalam mendukung seluruh institusi pendidikan, termasuk swasta. Haedar mempertanyakan apakah anggaran pendidikan yang hanya 20 persen dari APBN mampu menanggung kebutuhan seluruh lembaga swasta, mengingat dana tersebut juga harus dibagi ke berbagai kementerian dan instansi terkait? Apakah Kemendikbud dan Kemendikdasmen mendapat porsi cukup untuk mendanai semua sekolah swasta, tegas Haedar.
Haedar juga menggarisbawahi bahwa lembaga pendidikan swasta memiliki dinamika dan fleksibilitas yang tinggi untuk berkembang. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pemerintah memberikan ruang gerak yang luas bagi sektor swasta dalam mengelola pendidikan. Semestinya swasta juga bisa sebagaimana sekolah negeri yang saat ini memiliki badan hukum dan bisa mengembangkan unit usaha di bawah naungan institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi perhatian bersama.
Kepala SMP Muhammadiyah 5 Surabaya (Spemma), Misbach Noehruddin SSi MM menanggapi keputusan MK tersebut menjadikan pemerintah harus memberikan perhatian yang sama antara keberadaan sekolah swasta dengan sekolah negeri dalam mengakses komponen pendidikan, terutama dalam sarana prasarana, pengembangan SDM dan manajemen sekolah.
Baca juga:
Nilai-Nilai Kebangsaan, Kompas Moral Pengabdian Negara
Sekolah-sekolah swasta yang elit mestinya tetap memandang secara positif putusan MK tersebut. Ini karena putusan MK tersebut tidak serta merta melarang sekolah swasta memungut biaya. Sekolah-sekolah swasta yang memiliki sister school di luar negeri, memiliki international assesment, memiliki kegiatan keagamaan yang lebih banyak serta melaksanakan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat masih diperkenankan memungut biaya (pwmu.co, 11-6-2025).
Ketika Pendidikan Dikapitalisasi
Apakah tidak bisa sekolah digratiskan? Apakah keputusan sekolah gratis buruk sehingga harus ditolak? Jawabnya, sekolah bisa digratiskan dan keputusan gratis juga tidak boleh ditolak. Hanya saja kita perlu menggali lebih dalam mengapa kebijakan sekolah gratis justru menciptakan polemik.
Negara kita mau diingkari atau diakui sudah menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang asasnya sekular atau pemisahan agama dari kehidupan. Artinya, setiap keputusan yang diambil penguasa dalam menyelesaikan urusan rakyatnya berdasarkan keputusan manusia dan agama tidak ada ranah di dalamnya. Risikonya rentan kepentingan.
Pemerintah bahkan tunduk kepada oligarki atau mereka pemegang modal yang akhirnya mampu merecoki keputusan dalam negeri kita, Indonesia. Jangan dikira para pemimpin yang duduk di kursi pemerintahan hari ini murni pilihan rakyat, mereka kebanyakan adalah titipan partai, tim sukses dan lagi-lagi tujuannya untuk memudahkan para pemodal mendapatkan jalur tol bagi usaha mereka.
Peran negara menjadi terbatas, terutama dalam hal penjamin pendidikan yang seharusnya tak hanya membuat kurikulum pendidikan tapi juga membangun sarana prasaran pendidikan, buku-buku, laboratorium, perpustakan hingga menjadikan pendidikan gratis dan mudah diakses seluruh individu rakyat baik di desa maupun di kota, di pusat wilayah maupun di pinggiran, kaya atau miskin. Hingga jika ada satu kelompok masyarakat yang nomaden, maka negara wajib menyertakan pendidik dan semuanya.
Baca juga:
Yakin Solusi Dua Negara Akhiri Konflik?
Namun naas, negara tak punya kemampuan menjamin itu semua karena pendanaannya berbasis APBN, dimana pendapatan terbesarnya pajak dan utang luar negeri. Disinilah letak penyebab keterbatasannya, sumber daya alam yang dimiliki negara, sebagaimana amanat UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan dikelola untuk masyarakat samasekali tidak berlaku.
Semua sudah dijual atas nama investasi, hilirisasi, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan lainnya, yang intinya melibatkan negara pengusung Kapitalisme lainnya. Semua hadir secara legal, mengeksplorasi berbagai tambang, energi dan berbagai kekayaan hayati negara kita. Negara mendapatkan pajak sementara rakyat mendapatkan penderitaan akibat terkontaminasi zat-zat beracun limbah industri pertambangan. Tanahnya hancur, hutannya hilang, lautnya tercemar, terumbu karangnya hancur dan berbagai bencana lainnya.
Islam: Pendidikan Gratis
Cocoklah kiranya sebuah perumpamaan, kita bak anak ayam mati di dalam lumbung padi. Kaya raya namun sengsara karena akses menuju pemenuhan kebutuhan pokok sudah dikuasai asing.
Sementara Islam sangat mengutamakan ilmu, sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya, “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [TQS An-Nahl: 43]. Allah menciptakan manusia di dunia adalah untuk beribadah kepadaNya, maka wajib menuntut ilmu lebih dahulu agar tidak sesat. Segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan pun butuh ilmu agar kita tidak terjebak dalam dosa. Sebuah peradaban akan menjadi mulia jika manusianya berpendidikan tinggi. Apalagi dengan basis akidah Islam.
Atas dasar inilah pendidikan menjadi hal yang paling diupayakan pelayanannya. Munculnya sekolah swasta karena sekolah negeri kualitasnya apa adanya. Padahal fasilitas yang lengkap bisa menjamin tercetaknya output pendidikan yang luar biasa. Dan hal demikian tidak akan terjadi ketika sistem Islam yang digunakan.
Negara akan mendapatkan pendapatan dari hasil pengelolaan SDA, kemudian diberikan kepada rakyat dalam bentuk material ( BBM ,air dan lainnya) dan pembiayaan pembangunan berbagai sarana publik seperti sekolah, rumah sakit, jalan dan lain sebagainya. Semua individu rakyat diberi kesempatan menuntut ilmu setinggi mungkin.
Semua pendapatan dimasukkan ke dalam Baitulmal, APBNnya negara Daulah yang anti inflasi apalagi korupsi. Jadi, sekolah gratis sangat mungkin jika kita mencabut Kapitalisme dan menerapkan syariat Islam kafah. Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar