Hunian Murah Teruntuk Rakyat dari Pemerintah, Seriuskah?

SuaraNetizenIndonesia_ Pemerintahan Prabowo Subianto menargetkan pembangunan 3 juta rumah per tahun yang difokuskan untuk orang-orang berpendapatan di bawah 8 juta per bulan alias yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Diharapkan melalui program ini masyarakat yang memiliki penghasilan tetap atau tidak tetap bisa mempunyai tempat tinggal sendiri.
Namun konsultan properti Anton Sitorus, pesimis dengan realisasi program ini. Berkaca dari pengalaman pemerintahan sebelumnya yaitu pemerintahan Jokowi yang mencanangkan 1 juta rumah per tahun saja tidak berhasil memenuhi target, apalagi program yang seolah mengada-ada ini. (Bbc.com,10-01-2025)
Perumahan adalah salah satu kebutuhan primer dan merupakan hak sosial setiap rakyat. Selama ini penyediaan perumahan di Indonesia masih dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dengan cara membangun sendiri rumah-rumah impian mereka. Dan mayoritas masyarakat Indonesia masih berpikir bahwa perumahan itu adalah barang privat sehingga bukan menjadi tanggung jawab negara dalam penyediaannya.
Padahal dalam UUD 45 pasal 28 H ayat 1 menyebutkan bahwa negara memberikan hak kepada setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Hal ini juga ditegaskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab melindungi seluruh rakyat Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sehingga masyarakat dapat bertempat tinggal secara layak di lingkungan yang aman, sehat, harmonis dan berkelanjutan.
Jadi bisa disimpulkan bahwa negaralah yang bertanggung jawab penuh dalam penyediaan perumahan untuk rakyat. Penyediaan perumahan untuk rakyat ini bukan hanya sekedar program presiden terpilih saja, akan tetapi merupakan amanat UUD 1945 dan UU yang wajib dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara negara.
Akan tetapi pada kenyataannya, apa yang dilakukan pemerintah saat ini adalah menjalankan amanat kapitalisme. Barometer sistem kapitalisme sangat jelas yaitu asas manfaat dengan tolak ukurnya adalah perolehan materi. Sepanjang mendatangkan keuntungan pasti akan dilakukan berbagai macam cara untuk mendukungnya.
Sama halnya dengan program penyediaan 3 juta rumah hunian, pasti akan melibatkan para pemilik modal juga. Ini terbukti adanya penawaran peluang berinvestasi di Indonesia yang dilakukan oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruar Sirait atau kerap di sapa Ara dengan Ooreedoo QSC, perusahaan asal Qatar.
Tidak hanya itu pemerintah bahkan menerima bantuan dari beberapa konglomerat untuk program perumahan ini. Konon para konglomerat ingin membangun dan merenovasi rumah rakyat melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), bukan investasi. Beberapa perusahaan yang terlibat diketahui sebagai raksasa perusahaan properti di Indonesia, diantaranya Agung Sedayu Group, Adaro Group, PT Harum Energi/PT Santan Batubara, Yayasan Buddha Tzu Ci Indonesia dan Kamar Dagang dan Industri (kadin). (CNN indonesia.com, 30-4-2025)
Adalah sebuah keniscayaan apabila ada campur tangan pemilik modal dan investor, maka bukan lagi kesejahteraan jaminan sosial yang diharapkan, akan tetapi keuntungan atau tidak membawa kerugian dalam kacamata bisnis. Pada akhirnya rakyat juga yang terbebani dengan kredit kepemilikan rumah. Jangka waktu cicilannya di luar nalar, belum lagi riba menanti apabila terjadi tunggakan pembayaran cicilan. Bahkan program DP rumah 0% saja pada kenyataannya terganjal kepentingan politik.
Desain negara yang menganut sistem kapitalisme memang bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Negara hanya berfungsi sebagai regulator untuk menyelaraskan kepentingan rakyat dengan pengusaha. Tentu saja negara akan lebih mengedepankan kepentingan pengusaha maupun investor ketimbang rakyatnya.
Karena dalam sistem ini telah terjalin relasi harmonis yang saling menguntungkan di antara pengusaha dan para penyelenggara kebijakan atau penguasa. Realitas yang tidak bisa dipungkiri saat ini, sebagian penguasa adalah dari kalangan pengusaha itu sendiri.
Sudah saatnya desain sistem kapitalisme saat ini diganti dengan sistem terbaik yang merupakan wahyu dari Ilahi. Sistem paripurna yang apabila diterapkan akan mendatangkan kesejahteraan hakiki. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam dalam bingkai kekhilafahan.
Dalam perspektif Islam, rumah termasuk kebutuhan dasar tiap individu sama halnya dengan sandang dan pangan. Tiap individu berhak memiliki hunian yang layak sesuai dengan kemampuannya. Kebutuhan pokok ini menjadi tanggung jawab negara. Khalifah sebagai kepala negara adalah pelayan umat yang wajib mengurusi rakyat hingga seluruh kebutuhan pokoknya terpenuhi termasuk perumahan.
Islam memiliki regulasi dan kebijakan yang mempermudah rakyat dalam memiliki hunian. Pertama, Islam mewajibkan setiap laki-laki baligh untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya secara layak meliputi sandang, pangan, termasuk papan. Negara membantu dengan membuka seluas-luasnya lapangan kerja, memberikan modal usaha, maupun memberikan lahan untuk diolah.
Dalam Islam hunian masuk dalam kepemilikan individu tanpa dibatasi. Mereka bebas memiliki hunian sesuai dengan kemampuan. Mempunyai hunian mewah tidak berdosa dalam Islam, begitupun ketika hanya memiliki hunian sederhana. Namun kesederhanaan hunian harus tetap bersandar pada standar syar’i. Di mana jumlah kamar disesuaikan dengan anggota keluarga.
Dan apabila ada individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya karena alasan syar’i, maka Islam mewajibkan keluarga dan kerabat terdekatnya untuk membantu mencukupinya. Bila keluarga dan kerabatnya pun tidak mampu maka kewajiban negara untuk mencukupi kebutuhan pokoknya.
Kedua, menurut hukum Islam dalam memenuhi kebutuhan atas tanah untuk membangun hunian selain jual beli, waris atau hibah, tanah juga bisa dimiliki melalui ihya, tahjir dan iqta’. Ihya adalah menghidupkan atau pemanfaatan tanah yang tidak jelas kepemilikannya. Tahjir adalah membuat batas atau memagari sebidang tanah yang terbengkalai, sedangkan iqtha’ adalah pemberian tanah milik negara kepada individu rakyat.
Namun perlu diingat mekanisme penerapan ketiganya harus diatur dengan cermat dan teliti oleh negara beserta seluruh perangkatnya hingga ke tingkat daerah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan, persengketaan, kekacauan dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat terkait kepemilikan tanah untuk perumahan.
Terkait pembiayaan dalam penyediaan hunian untuk rakyat, negara menggunakan dana yang ada di Baitul Mal melalui pos zakat. Apabila kas di Baitul Mal tidak cukup maka negara akan menggunakan harta milik umum yang dikelola negara (barang tambang, air, padang gembalaan) dan harta milik negara pos fai, kharaj, jizyah, dll. untuk menutupinya.
Kemudian hunian yang dibangun oleh negara bisa dijual baik secara tunai ataupun kredit dengan harga yang sangat terjangkau. Negara juga dapat menyewakan, meminjamkan bahkan memberikan rumah secara gratis kepada orang-orang yang membutuhkan. Sehingga tidak ada lagi individu rakyat yang merasakan tinggal di gubuk-gebuk reot, bantaran sungai, kolong jembatan, atau rumah-rumah dari kardus yang tidak layak huni.
Dalam skema pembiayaan kredit perumahan, Islam memiliki prinsip dasar yaitu pembiayaan rumah tidak boleh ada akad batil dan jauh dari unsur riba. Lingkungan perumahan juga mendapat perhatian besar karena lingkungan merupakan salah satu unsur penting di mana generasi muslim tumbuh dan berkembang.
Sehingga terciptalah kesejahteraan hakiki, di mana rakyat dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya tanpa terkecuali. Dan ini bisa mengikis kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat. Semua ini bisa terjadi ketika sistem Islam dijadikan asas dalam mengatur setiap lini kehidupan termasuk masalah hunian yang aman dan nyaman. [SNI]
Komentar