Anak adalah Anugerah, Bukan Penyebab Kemiskinan!

SuaraNetizenIndonesia_
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra’ : 31)
Kiranya cukuplah ayat di atas menjadi hujjah. Terutama bagi pihak yang kerap menuding banyak anak jadi penyebab kemiskinan. Ya, beberapa waktu lalu seketika media sosial diramaikan topik jumlah anak dan relasinya dengan kemiskinan. Pemicunya, tak lain narasi seorang Kepala Daerah Jawa Barat yang menyinggung vasektomi sebagai syarat keluarga miskin menerima Bansos. (tempo.co, 8-5-2025). Meski belakangan hal ini diralat dan diklarifikasi, namun publik sudah keburu riuh menanggapi.
Beragam respons datang dari masyarakat umum. Banyak yang negatif, tapi tak sedikit pula yang menilai positif dengan alasan sudah selayaknya yang miskin tahu diri bahwa miskin tapi terus menambah anak hanya menambah beban kemiskinan. Pertanyaannya, benarkah demikian?
Anak Bukan Sebab Kemiskinan
Para ahli membedakan kemiskinan dipicu dua faktor. Yaitu kultural dan struktural. Kemiskinan kultural lebih terkait dengan budaya, nilai, dan perilaku masyarakat yang membuat sulit keluar dari kemiskinan, misalnya malas, suka menunda pekerjaan dan temperamental. Sedangkan kemiskinan struktural disebabkan oleh sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Salah satu imbasnya, tidak semua angkatan kerja bisa dengan mudah mengakses lapangan kerja yang memadai untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari dua faktor di atas, tentu masyarakat dapat menilai mana yang mayoritas terwujud di negeri ini, kultural atau struktural? Jawabnya sudah pasti struktural. Sederhana saja, data menunjukkan dari angkatan kerja sebanyak 153,05 juta orang maka jumlah orang yang belum mendapatkan pekerjaan mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025. Angka ini bertambah 83,45 ribu dibandingkan Februari 2024. (bps.go.id, Sukernas 2025). Artinya, belum semua angkatan kerja bisa diserap oleh lapangan kerja yang tersedia.
Hal lainnya lagi yang merupakan realitas, semakin banyak terbongkar perkara-perkara korupsi uang rakyat yang nilainya sampai ribuan triliun karena dilakukan masif, berlarut-larut dan diwariskan dari pejabat ke pejabat setelahnya. Andai uang ribuan triliun yang bukan daun itu dialokasikan memenuhi kebutuhan rakyat, niscaya kemiskinan tak lagi jadi persoalan besar di negeri ini.
Nyata, kemiskinan tak disebabkan oleh deretan anak yang lahir atas kehendak Allah, namun lebih dari itu oleh struktural akibat tata kelola sistem yang buruk. Pengangguran dan korupsi baru dua hal, belum termasuk yang bisa dirasakan langsung yaitu harga sembako yang melambung, dan minimnya akses pendidikan serta kesehatan di negeri ini. Lalu bagaimana bisa faktor banyak anak jadi kambing hitam kemiskinan?
Kapitalisme: Akar Masalah
Ketika seluruh hal ihwal dinilai bersandar pada materi, uang, kaya maupun miskin, maka di saat itulah penerapan ideologi kapitalisme nyata. Mengutip kitab Nizham Islam, Syaikh Taqiyuddin An Nabhaniy menjelaskan dengan gamblang. Bahwasanya kapitalisme tegak atas akidah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Ide ini menjadi asasnya, sekaligus sebagai kepemimpinan ideologis, serta kaidah berpikir. Dampaknya manusia dibiarkan membuat peraturan hidupnya sendiri. Nilai-nilai kebebasan dalam hal berakidah, berpendapat, hak milik, dan kebebasan bertingkah laku dijunjung tinggi. Dari kebebasan hak milik ini kemudian lahir sistem ekonomi kapitalis, yang termasuk perkara paling menonjol dari ideologi ini.
Sistem ekonomi kapitalis yang lahir dari prinsip kebebasan kepemilikan ini, mengakibatkan faktor-faktor produksi hanya bisa diakses oleh segelintir pemilik modal saja. Sementara yang tidak bisa mengakses bersiap untuk miskin dan semakin miskin.
Hal ini diakui sendiri oleh masyarakat di negeri kampiunnya kapitalisme, Amerika Serikat. Melalui slogan “Kami adalah 99%”, masyarakat AS menentang ketimpangan sosial dan kesenjangan yang tajam dengan kaum 1%. Sebagai contoh, pada tahun 2007 satu persen orang terkaya dari populasi Amerika memiliki 34,6% dari total kekayaan negara dan terus bertambah sepuluh kali lipat dibandingkan 99 persen masyarakat AS secara umum. (wikipedia). Sampai di sini jelas, kapitalisme gagal mewujudkan kesejahteraan. Kemiskinan malah jadi niscaya, yaitu kemiskinan struktural.
Islam Solusinya
Berbeda dengan kapitalisme, Islam yang diterapkan secara kafah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. mengentaskan kemiskinan secara struktural. Mulai dari pembagian kepemilikan, baik kekayaan milik negara, milik umum dan milik individu. Kekayaan milik umum tidak boleh dimiliki oleh individu, seperti energi, barang tambang, dan air, melainkan harus dikelola negara dan dikembalikan kemanfaatannya bagi seluruh rakyat. Praktik monopoli, curang, culas dan korupsi pun dapat dicegah dengan mekanisme keteladanan pemimpin dan sistem peradilan yang tegas tanpa tebang pilih.
Di saat yang sama, negara berperan langsung sebagai operator yang wajib menjamin setiap individu mendapatkan kebutuhan pokok termasuk di dalamnya menyediakan lapangan kerja yang memadai. Karena kesejahteraan dalam Islam diukur per orang bukan asumsi maupun kolektif.
Alhasil anak-anak akan selamanya dipandang sebagai anugerah dari Sang Maha Pencipta. Ketika mereka tumbuh jadi Shalih dan Shalihah, maka doa-doanya untuk kedua orang tua mereka kelak dapat menembus waktu, zaman bahkan langit. Wallahua’lam. [SNI]
Komentar