Saat Penopang Peradaban Bodoh, Bersiaplah Roboh

Suara Netizen Indonesia–Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP) (beritasatu.com, 2-5-2025).

 

Temuan ini menjadi cerminan bahwa pendidikan Indonesia masih didominasi oleh capaian jenjang menengah pertama, dan banyak penduduk belum melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2013 (9.13 tahun), menurut Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, capaian ini baru sedikit melampaui target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang ditetapkan sebesar 9,18 tahun.

 

Hal ini juga membuktikan ketimpangan dalam akses pendidikan di Indonesia masih cukup tinggi. Wilayah pedesaan, rumah tangga dengan kondisi ekonomi rendah, dan kelompok penyandang disabilitas menjadi yang paling rentan tertinggal dalam hal pendidikan. Pemerintah sudah berupaya memberikan solusi melalui program seperti kartu Indonesia pintar (KIP) kuliah, perluasan akses perguruan tinggi negeri, serta penguatan pendidikan vokasi agar terjadi peningkatan partisipasi pendidikan tinggi.

Baca juga: 

Pendapatan Negara Macet, PNBP Diseret

 

Namun, untuk meningkatkan kualitas dan capaian Pendidikan Indonesia secara menyeluruh, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, juga dukungan berupa sarana-prasarana pendidikan, kualitas guru, serta pendekatan inklusif terhadap kelompok rentan akan sangat menentukan keberhasilan peningkatan lama sekolah di masa mendatang.

 

Rakyat Disuruh Pintar Tapi Susah Mendapatkan Akses Belajar?

 

Apa yang disampaikan Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti ada benarnya, dan memang itulah fakta yang sedang terjadi. Dan ini juga yang amat disayangkan, pemerintah sangat lamban dalam merespon dan terkesan ala kadarnya. Masih hangat perkataan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sakidin yang membolehkan dokter umum melakukan operasi saecar menggantikan dokter obygn untuk daerah terpinggirkan.

 

Alasannya untuk kepraktisan saja, sebab secara ilmu sama, dokter spesialis awalnya juga dokter umum, dan jumlah dokter spesialis tidak sama banyaknya antara kota dan daerah pinggiran. Pernyataan ini jelas berbahaya, sebab ketika seorang dokter mengambil spesialis tentu ia memiliki wawasan dan pengalaman yang lebih akurat terkait setiap peristiwa yang terjadi di ruang operasi, bukan semata untuk keputusan teknis ketika muncul persoalan tapi juga untuk rekomendasi kesehatan lebih lanjut.

 

Mengapa tidak perbanyak sekolah dokter spesialis, permudah akses setiap anak bangsa menjadi dokter spesialis apapun agar pemerataan itu terjadi dan profesional. Rakyat pun berhak sehat dan mendapatkan pelayanan terbaik. Dari sini kita bisa melihat, bagaimana pandangan penguasa kita terhadap kebutuhan pendidikan, sangat lemah bahkan gegabah. Pantas saja pendidikan di negeri ini terus berwajah muram.

Baca juga:

Jihad Ekonomi untuk Palestina, Haruskah?

Lagi-lagi sistem Kapitalisme yang diterapkan saat inilah yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Aksesnya bergantung kemampuan ekonomi, meski ada jalur beasiswa, KIP, Sekolah gratis, sekolah rakyat dan bantuan lainnya tetap ala kadarnya. Dengan angka kemiskinan yang tinggi makin sulitlah rakyat dalam mengakses sarana pendidikan bahkan Pendidikan dasar sekalipun.

 

Di kota saja sekolah pemerintah masih jarang, apalagi di daerah pinggiran. Tidak setiap ASN tenaga pendidikan mau ditempatkan di daerah atau wilayah yang sangat minus, sebab sudah masyhur jika kesejahteraan sangat minim. Bukannya evaluasi, pemerintah justru membuka kesempatan luas bagi sekolah swasta.

 

Beberapa daerah, seperti Sidoarjo, Jawa Timur, bupati Subandi mensupport sekolah swasta didirikan dengan mempermudah izinnya, dibandingkan dengan membangun sekolah negeri yang di beberapa kecamatan jumlahnya minim bahkan tidak ada. Untuk begini saja penguasa masih belepotan, bagaimana kita berharap akan terwujud peradaban emas?

 

Masalah pendidikan kita juga ada pada penyusunan kurikulum, yang lebih relate dengan dunia pekerjaan, artinya, kurikulum disusun hanya untuk menjadi alat pembidik pasar yang menerima tenaga kerja murah terdidik. Sementara, kualitas SDM yang baik bukan sekadar intelektual namun juga berintegritas. Memiliki kepribadian unggul, beraklak dan bertakwa.

 

Parahnya, meski APBN sudah mengelontorkan dana anggaran pendidikan yang besar, pada kenyataannya harus berbagi dengan kelembagaan lain. Kita butuh perubahan.

 

Islam, Sistem Jaminan Pendidikan Terbaik

 

Islam memandang pendidikan sebagai pokok peradaban, dengan memerintahkan tidak setiap orang pergi berperang, melainkan ada sebagaimana yang menuntut ilmu, memperdalam tsaqofah dan pemahaman Islamnya, agar bisa mengajarkan kepada yang lain, sebagaimana Allah swt. berfirman yang artinya,” Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (TQS at-Taubah : 122).

 

Dalam Khilafah, pendidikan adalah hak setiap warga, miskin ataupun kaya. Negara wajib menyediakannya secara gratis dan merata untuk membentuk manusia berilmu dan bertakwa dan berketrampilan tinggi. Khilafah memiliki sumber dana yang mumpuni untuk mewujudkannya. Dana pendidikan diambil dari Baitul Mal, khususnya pos fai’, kharaj, dan kepemilikan umum. Negara mengelola langsung pendidikan tanpa campur tangan swasta.

Baca juga: 

Ambiguitas Pemahaman, Peran Utama Perempuan Terpangkas

 

Rasulullah Saw. pernah meminta kepada tawanan perang Badar mengajar anak-anak di Madinah belajar membaca dan menulis sebagai penebusan mereka. Posisi Rasûlullâh adalah sebagai kepala negara, yang artinya beliau konsen memenuhi hak rakyat untuk pandai. Dan negara benar-benar hadir menjadi penjaminnya. Fokus kepala negara kepada pendidikan berlanjut setelah wafatnya Rasûlullâh Saw. Kepada para Khalifah selanjutnya. Mereka begitu cinta ilmu sehingga membangun banyak sekolah-sekolah, mushala, universitas, perpustakaan dan lainnya secara gratis untuk rakyatnya. Bangunan peninggalan para Khalifah itu bahkan masih bisa dilihat di berbagai negeri muslim seperti Al-Azhar di Kairo.

 

Khalifah juga mendorong para aghniya ( orang kaya) untuk mewakafkan harta mereka untuk pendidikan, baik lahan, gedung, tanah maupun tenaga pendidikannya. Sejarah juga mencatat banyaknya para cendekiawan muslim yang tak hanya berilmu tapi juga ahli hadis. Mereka bukti cemerlangnya peradaban Islam. Wallahualam bissawab. [SNI].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Pemerataan Pembangunan Desa, Akankah Menjadi Realita?

Realitasnya bahwa tak semua desa mampu secara finansial membiayai pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri. Meski ada program Dana Desa yang konon katanya adalah bentuk perhatian pemerintah nyatanya terselip motif lain yaitu neoliberalisme ekonomi melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh tiap desa di negeri ini. Rupanya dibalik program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa di dasarkan pada untung dan rugi.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *