Pendidikan di Bawah Kapitalisme: Antara Komoditas dan Ketimpangan Akses

Suara Netizen Indonesia–Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas tercatat sebesar 9,22 tahun (beritasatu.com, 02-05-2025). Artinya ini setara dengan lulusan sekolah menengah pertama (SMP).
Penduduk di Provinsi DKI Jakarta tercatat paling tinggi rata-rata lama sekolahnya yaitu 11,5 tahun atau tidak lulus SMA. Dan penduduk di Provinsi Papua pegunungan tercatat rata-rata lama bersekolahnya hanya mencapai 5,1 tahun atau tidak lulus SD (metrotvnews.com, 06-03-2025).
Fenomena rata-rata lama sekolah di Indonesia yang hanya mencapai jenjang setara SMP ini merupakan potrem buram sistem pendidikan saat ini. Ini bukan semata persoalan teknis atau kurangnya anggaran, melainkan buah dari sistem Kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas.
Dalam logika Kapitalisme, pendidikan tidak lagi dipandang sebagai hak dasar yang harus dipenuhi, tetapi sebagai layanan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu secara ekonomi. Layanan pendidikan diserahkan kepada mekanisme pasar sehingga biaya pendidikan terus meningkat dan menjadi beban berat bagi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah.
Baca juga:
Kapitalisme Mendatangkan Bencana, Umat Butuh Pemimpin Amanah
Alhasil, masyarakat miskin, yang jumlahnya masih sangat tinggi di Indonesia, kesulitan mengakses pendidikan, bahkan pada level paling dasar sekalipun. Hanya mereka yang mampu secara finansial yang bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Padahal pendidikan adalah tanggung jawab negara sepenuhnya untuk menjamin setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Memang, pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk menjawab problem ini, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), sekolah gratis, hingga berbagai bentuk bantuan lainnya. Namun, semua itu belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bantuan-bantuan tersebut terbatas jumlahnya dan sering kali hanya menyentuh kelompok tertentu.
Fenomena swastanisasi pendidikan juga memperparah keadaan. Sekolah-sekolah swasta yang bertaburan di kota-kota besar mengenakan biaya tinggi yang tak terjangkau mayoritas rakyat. Kurikulum yang disusun juga mengikuti kepentingan pasar yang akhirnya mengubah wajah pendidikan. Pendidikan tidak lagi dipandang untuk membentuk manusia berilmu dan bertakwa, melainkan hanya untuk mencetak tenaga kerja murah demi kepentingan industri.
Belum lagi persoalan distribusi layanan pendidikan yang timpang, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), yang membuat akses terhadap pendidikan berkualitas pun jauh panggang dari api.
Masalah pendidikan ini sejatinya hanya bisa diselesaikan jika mengambil sistem Islam dalam penerapan sistem pendidikannya. Berbeda dengan sistem Kapitalisme, dalam sistem Islam, pendidikan dipandang sebagai hak dasar setiap individu, tanpa memandang latar belakang ekonomi. Negara bertanggung jawab penuh dalam menyelenggarakan pendidikan secara gratis, berkualitas, dan merata bagi seluruh rakyat.
Baca juga:
Standar Miskin Berbeda, Haruskah Pura-Pura Bahagia dengan Angka?
Negara bertanggungjawab langsung atas pembinaan generasi dengan memastikan setiap individu mendapatkan pendidikan yang membentuk kepribadian Islam yang kokoh serta menguasai ilmu yang bermanfaat.
Tujuan pendidikan dalam Islam bukan semata untuk mencetak pekerja, memenuhi kepentingan pasar apalagi sekedar menjadi komoditas ekonomi. Jauh lebih mulia, dalam islam pendidikan bertujuan membentuk generasi berilmu, bertakwa, terampil, serta mampu mengemban amanah sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi.
Kurikulum yang disusun akan berdasarkan akidah Islam. Mengintegrasikan antara ilmu syariat dan ilmu kehidupan sehingga melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, kuat secara spiritual, dan siap menjadi penggerak peradaban Islam.
Sumber pendanaan pendidikan dalam Islam bersumber dari Baitulmal, terutama dari pos fai’, kharaj, dan kepemilikan umum. Negara bertindak sebagai penyelenggara akan mengelola langsung sistem pendidikan tanpa melibatkan swasta, memastikan tidak ada komersialisasi dalam proses pembelajaran. Dengan pengelolaan yang terpusat dan visi ideologis yang kuat, akan tercipta sistem pendidikan yang adil, merata, dan mencerdaskan seluruh rakyat.
Baca juga:
Pendapatan Negara Macet, PNBP Diseret
Sudah saatnya kita mengevaluasi akar persoalan pendidikan hari ini. Selama pendidikan masih diposisikan sebagai barang dagangan dalam sistem kapitalisme, ketimpangan akan terus terjadi. Kita butuh sistem alternatif yang meletakkan pendidikan sebagai hak, bukan komoditas dan itu hanya bisa terwujud jika negara menerapkan sistem Islam secara sempurna. Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar