Standar Miskin Berbeda, Haruskah Pura-pura Bahagia dengan Angka?

Suara Netizen Indonesia–Kemiskinan jadi topik primadona hari-hari ini. Belum tuntas perkara vasektomi jadi syarat miskin penerima bansos, standarnya pun memicu kontroversi antara lembaga survei nasional dan dunia. Standar yang dimaksud tentu minimum pendapatan seseorang terkategori miskin.

 

Kaya dan Miskin dalam Angka

 

Bank Dunia merilis data via Macro Poverty Outlook, terdapat 171,8 juta warga Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024. Artinya, lebih dari 60,3 persen penduduk RI hidup miskin. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) sudah lebih dulu mencatat tingkat kemiskinan Indonesia hanya 8,57 persen atau 24,06 juta jiwa di tahun yang sama (cnnindonesia, 3-5-2025).

 

Sungguh terdapat selisih yang sangat tajam di antara keduanya. Tidak tanggung-tanggung, sekitar 147 juta orang! Maklum jika publik kemudian bertanya-tanya siapa yang salah dalam menghitung, BPS atau Bank Dunia?

Baca juga: 

PayLater, Benarkah Solusi di Tengah Turunnya Daya Beli?

 

Masih dari laman berita sebelumnya, BPS mengatakan selisih yang besar terjadi imbas adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan.

 

Dengan bahasa sederhana, ketika menghitung jumlah penduduk miskin, BPS  menggunakan standar garis kemiskinan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Artinya orang dengan penghasilan Rp20 ribu per hari tidak dikategorikan miskin.

 

Di saat yang sama, Bank Dunia menggunakan standar pendapatan negara menengah ke atas (upper middle income country) sebesar 6,85 dolar AS per kapita per hari. Artinya orang dikategorikan miskin jika penghasilannya kurang dari Rp115.080 per hari (kurs Rp16.800 per dolar AS).

 

Bank Dunia beralasan pada 2023, Indonesia sudah termasuk golongan menegah ke atas karena memiliki pendapatan  nasional bruto atau gross national income (GNI)  4.580 dolar AS per kapita.

 

Sampai di sini jelas terlihat bagaimana dunia termasuk lembaga resmi di negeri ini memandang kaya maupun miskinnya seseorang sebatas deretan angka di atas kertas. Sama sekali tidak mencerminkan realitas yang berlaku di tengah masyarakat.

 

Padahal belum lama kiranya seruan Indonesia Gelap menggema, menyuarakan kondisi terkini negeri. Salah satu indikatornya ketika terjadi  badai tsunami PHK. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 18.610 tenaga kerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Januari-Februari 2025 (tempo.co, 4-4-2025).

 

Baca juga: 

Gaza Tak Butuh Relokasi, Melainkan Perisai yang Hakiki

 

Terlebih angka 8,57 persen jumlah miskin namun dengan pendapatan 20 ribu per hari sungguh melampaui batas rasional. Sebab setiap orang dapat melihat dan merasakan sendiri betapa semua harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Belum termasuk pendidikan dan kesehatan yang tiada gratis di negeri ini. Untuk itu tak perlu kiranya berpura-pura bahagia hanya dengan angka. Cukup sudah.

 

Islam Nyata Menyejahterakan, Bukan Sekedar Angka

 

Tiada guna berpanjang lebar, bila kenyataannya sistem Demokrasi Kapitalis yang sekarang berlaku hanya dapat mewujudkan kesejahteraan dalam angka. Karena Islam yang diterapkan secara kafah  tidak demikian. Rasulullah saw. bersabda,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).

 

Maka sejahtera menurut Islam adalah ketika setiap orang terpenuhi  kebutuhan pokoknya (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) tanpa kecuali. Maka merupakan tugas negara untuk memastikan dan menjamin terwujudnya hal tersebut.

 

Kebijakannya tentu bukan dengan cara yang sifatnya temporer macam pembagian sembako, makan gratis, BLT dan Bansos melainkan dengan mekanisme yang bisa mengentaskan seseorang dari kemiskinan untuk selamanya. Antara lain sebagai berikut, negara menyediakan lapangan kerja yang memadai yang mudah diakses oleh  setiap laki-laki baligh yang hukumnya wajib bekerja mencari nafkah.

Baca juga: 

Pemangkasan Anggaran Berhemat untuk Siapa? 

 

Jika ada laki-laki yang tidak sanggup bekerja karena cacat, misalnya, maka Islam melalui negara mewajibkan kerabat dekatnya yang mampu untuk membantu. Bila tiada kerabat yang masuk kriteria mampu, maka negara akan mengambil alih tanggung jawab dengan memberikan santunan hingga seseorang tersebut tak lagi miskin. Sebagaimana yang dicatat dalam sejarah di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M), tiada satu orang pun yang miskin. (Ibnu Abdil Hakam, Sirah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz).

 

Hanya saja jika dalam suatu masa, kondisi keuangan negara sedang tidak baik- baik saja dikarenakan terjadi bencana atau mobilisasi jihad maka kewajiban menyantuni yang miskin jatuh pada kaum muslim yang mampu secara kolektif.

 

Teknisnya bisa lewat sedekah secara langsung, atau dengan perantara negara, yaitu negara memungut pajak (dharibah) kepada orang kaya untuk diberikan kepada rakyat miskin dan tak dipungut lagi saat keuangan negara kembali stabil.

 

Namun tak perlu cemas akan terjadinya kondisi tersebut. Sebab hakikatnya pendapatan negara dalam Islam datang dari berbagai sumber, bukan hanya dari pajak saja. Hasil kelola harta milik umum seperti tambang yang jumlahnya berlimpah di negeri ini saja, misalnya sudah lebih dari cukup guna membiayai pemenuhan kebutuhan setiap individu masyarakat.

 

Sangat disayangkan penerapan sistem Demokrasi Kapitalis kini justru menyerahkan tata kelola sumber daya alam yang merupakan milik umum kepada asing. Lalu rakyat sebagai pemilik sah hanya kebagian membayar pajak kemudian harus bahagia cukup dengan angka. Miris. Wallahua’lam. [SNI].

 

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *