Paylater, Benarkah Solusi di Tengah Turunnya Daya Beli?

Suara Netizen Indonesia–Tak bisa dipungkiri, semakin lama tren PayLater menjelma jadi semacam gaya hidup. Tidak afdal rasanya jika tak menggunakan PayLater. Hal ini terlihat antara lain dari data yang dirilis lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Per Februari tahun ini total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut PayLater menyentuh angka Rp 21,98 triliun (liputan6.com, 11-4-2025).
Problemnya, sadarkah kita bahwa di balik nilai fantastis itu, ada hal yang memprihatinkan? Ya, apalagi kalau bukan menurunnya daya beli. Begitu rendahnya hingga nyaris aneka barang kebutuhan konsumsi diselesaikan dengan cara PayLater. Meski hal tersebut juga tak lepas dari dukungan teknologi fintech yang makin beragam, yang menjadikan toko, pasar, supermarket seolah berpindah ke telepon yang ada di genggaman kita.
Baca juga:
Gaza Tak Butuh Relokasi Melainkan Perisai yang Hakiki
Memang jika dirunut berdasar logika, daya beli yang rendah harusnya mendorong masyarakat lebih menahan diri untuk belanja. Tetapi apa daya, gempuran konsumerisme dalam bentuk promosi gaya hidup dan iklan di dunia maya dan nyata makin sukar dielakkan. Bahkan hal ini pula yang sedikit banyak memicu lahirnya FOMO (Fear of Missing Out) alias sikap yang takut ketinggalan tren terbaru yang berlaku di tengah masyarakat.
Riba di Balik PayLater?
Gaya hidup konsumtif yang tidak diiringi dengan kemampuan finansial yang memadai akhirnya berisiko tinggi mengambil PayLater maupun pinjaman daring sebagai jalan keluar. Padahal keberadaan PayLater dan yang sejenis hakikatnya adalah utang berbasis riba. Dari persyaratan yang ada, sudah menunjukkan hal tersebut. Ambil contoh salah satu layanan PayLater dari toko daring dengan warna kebangsaan oranye. Dengan plafon limit pinjaman mulai dari Rp 500 ribu s/d Rp 15 juta, berlaku bunga pinjaman (baca:riba) sebesar 2,95 persen dan denda 5 persen dari total tagihan, apabila terjadi keterlambatan pembayaran.
Baca juga:
Pemangkasan Anggaran Berhemat untuk Siapa?
Mengutip penjelasan ulama fikih kontemporer yang kerap menyerukan penerapan syariah Islam kafah, KH. Shiddiq Al Jawi, keberadaan riba menjadikan haram hukumnya menggunakan layanan PayLater, yang tersedia di platform belanja daring mana pun. Karena setiap tambahan dari pinjaman yang disepakati di awal (saat akad), maka statusnya adalah riba yang hukumnya haram (QS Al Baqarah : 275).
Dari Imam Ibnu Qudamah, ”Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan, maka tambahan itu adalah riba tanpa perbedaan pendapat (di kalangan ulama)” (Ibnu Qudamah, Al Mughnî, Juz IV, hlm. 360).
Dengan demikian hal tersebut berlaku pula pada denda yang juga berarti tambahan dari pokok pinjaman.
Islam Menghapus Riba
Saat ini riba adalah bagian dari sistem ekonomi Kapitalisme yang asasnya sekulerisme, paham yang menolak campur tangan agama dalam kehidupan. Riba kemudian dimanfaatkan oleh para kapitalis/oligarki, untuk memperkaya diri dengan mengeksploitasi ekonomi orang lain tak peduli walau risikonya dapat menyengsarakan dunia akhirat.
Sebaliknya dalam Islam, memberikan utang adalah bagian dari amal baik guna menolong sesama, bukannya investasi untuk mendapatkan keuntungan, apalagi jadi alat mengeksploitasi orang lain yang sedang kesulitan. Nabi saw. bersabda,
“Siapa saja yang meringankan suatu kesusahan (kesedihan) seorang Mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada Hari Kiamat. Siapa saja yang memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberi dia kemudahan di dunia dan akhirat” (HR Muslim).
Orang yang memberikan pinjaman pun dianjurkan oleh Allah Swt. untuk memudahkan urusan saudaranya yang meminjam. Allah Swt. berfirman,
“Jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia lapang. Menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian jika saja kalian mengetahui” (QS Al-Baqarah: 280).
Namun Nabi saw. juga mengingatkan dengan keras agar seorang muslim tidak terjebak gaya hidup konsumtif dan hedonis hingga bermudah-mudah dalam berutang. Sebab Rasul saw. bersabda:
“Jiwa seorang Mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utangnya dilunasi” (HR Ahmad).
Guna menjaga dan melindungi rakyat tak sampai terjerat riba, Islam bahkan telah menetapkan mekanismenya secara sistemis. Negara yang dipimpin Khalifah dalam Islam wajib menghapus praktik ekonomi ribawi karena haram, termasuk dosa besar, dan dapat menghancurkan ekonomi.
Selanjutnya negara juga menata utang-piutang yang sedang berjalan agar terbebas dari riba, dengan tetap menjaga hak-hak harta warga negara. Untuk itu, Khalifah akan menetapkan bahwa yang wajib dibayar hanyalah utang pokoknya.
Khalifah juga akan menjatuhkan sanksi terhadap warga yang masih mempraktikkan muamalah ribawi.
Baca juga:
Terowongan Simbol Toleran Benarkah Dibutuhkan?
Sanksi yang dijatuhkan berupa ta’zîr yang diserahkan pada keputusan hakim, bisa berupa penjara hingga cambuk. Sanksi dijatuhkan kepada semua yang terlibat riba; pemberi riba, pemakan riba, saksi riba dan para pencatatnya.
Rasulullah saw. bersabda,
“Allah melaknat pemakan riba, orang yang mewakilkan, yang mencatat, dan yang menyaksikannya, padahal ia mengetahui” (HR. Muslim).
Akhir kalam, sebelum memutuskan untuk terlibat PayLater, mari merenungkan wasiat Khalifah Umar bin Abdul Aziz. “Aku mewasiatkan kepada kalian agar tidak berutang meskipun sedang kesulitan. Sungguh utang itu adalah kehinaan pada siang hari dan kesengsaraan pada malamnya. Karena itu tinggalkanlah ia, niscaya kehormatan dan kedudukan kalian akan selamat, dan kemuliaan bagi kalian di antara manusia selama kalian hidup.” Wallahua’lam. [SNI].
Komentar