No Other Land

SuaraNetizenIndonesia__ Berbeda dengan gempita panggung perhelatan Oscar, Academy Awards ke-97 yang diselenggarakan pada hari Minggu, 2 Maret 2025, di Dolby Theatre yang ikonik di Los Angeles, California, justru di rumahnya sendiri, sutradara asal Palestina Hamdan Ballal mendapat serangan dan ditangkap tentara Israel.
No Other Land, adalah film dokumenter yang mendapat penghargaan, direkam Ballal antara tahun 2019 dan 2023, menunjukkan penghancuran komunitas Palestina di Tepi Barat. Meski penduduk di wilayah tersebut telah menolak pemindahan paksa, namun menyusul deklarasi “zona tembak” entitas Zionis di tanah mereka.
Serangan terhadap Palestina terjadi terus menerus dan semakin brutal. Mereka merangsek ke pemukiman warga. Siapapun terkena serangannya. Ratusan korban luka-luka dan tewas. Tidak hanya para petinggi Hamas, namun juga bayi, anak-anak, perempuan, lansia dan jurnalis pun akhirnya meregang nyawa. Entitas Zionis telah menodai kesucian Ramadan dengan aksi teror yang sangat mengerikan.
Maka dunia tak boleh tidur, ataupun berpaling meski hanya sejenak. Bahkan sekalipun teralihkan dengan beragam persoalan di dalam negeri. Pandangan kita tetap harus terarah kepada urusan kaum muslim. Mereka perlu mendapatkan perlindungan di dalam kehidupannya. Film Ballal hanya salah satu dari sekian banyak pengingat (reminder) agar dunia tak menganggap remeh perkara Palestina.
Sebagaimana Palestina saat ini sangat membutuhkan dukungan, berupa bantuan makanan, logistik, dan donasi, juga doa dan suara kita yang terus menyampaikan solusi sahih melenyapkan kebrutalan penjajahan, yakni melalui jihad fi sabilillah dan menegakkan satu kepemimpinan bagi umat yaitu Khilafah ala minhajin nubuwwah.
Upaya dakwah dan membangun kesadaran umat merupakan perkara krusial dan mendesak, yang harus segera ada di tengah kaum muslim. Sebab sejatinya umat ini telah sebatang kara tanpa seorang pemimpinpun selama lebih dari 1 abad. Akibatnya, kekuatan kufur senantiasa berupaya mengambil alih kepemimpinan atas kaum muslim, mengendalikannya, dan melanggengkan kehidupan yang jauh dari Islam.
Sementara hal itu tidak boleh terjadi. Sebab kepemimpinan dalam Islam bersifat khas, dialah yang akan mengurus umat, menyelesaikan seluruh permasalahan, serta menggerakkan pasukan jihad untuk membebaskan negeri-negeri yang terjajah.
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu ’anhu bahwa Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’alayh dll)
Di samping itu, Khilafah bertanggung jawab mengelola urusan umat dengan menggunakan syariat. Dari sini akan melahirkan kehidupan yang penuh dengan keberkahan. Islam menjadi rahmat bagi semesta alam. Karenanya kaum muslim wajib menegakkan Khilafah, Imamah atau Imarah al-mukminin.
Banyak dalil yang menunjukkan kewajiban tersebut. Dan bahwasanya tidak hanya perkara ibadah saja yang menjadi kewajiban kaum muslim, namun urusan sehari-hari yang berkelindan pun harus dijalankan sebagaimana hukum Allah mengaturnya seperti ekonomi, sosial, pendidikan, rumah tangga, pemerintahan dan sebagainya wajib berjalan sesuai syariat.
Imam Al-Bukhari telah menuturkan riwayat dari jalan Al-Miswar bin Mukhrimah yang mengatakan bahwa Abdurrahman bin Auf pernah mendatangiku setelah tengah malam. Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Lalu ia berkata, “Apakah kamu lebih memilih tidur? Demi Allah, janganlah enggak melewati 3 malam ini dengan banyak tidur”.
Hanya 3 hari 3 malam, kita boleh kosong tanpa pemimpin. Itupun bukan hari santai berleha-leha, tetapi merupakan hari-hari penuh kesibukan yaitu saat genting bagi kaum muslim bersegera mengupayakan pengangkatan kepemimpinan atas kaum muslim.
Dari sini terlihat bahwa umat harus senantiasa memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan negeri-negeri muslim yang terjajah, melalui penyebaran opini tentang kewajiban penegakan Khilafah. Sebab hanya ini solusi satu-satunya membebaskan seluruh kaum muslim yang terjajah.
No other land bagi kaum muslim, Palestina adalah tanah kharajiyah. Selamanya ia menjadi milik kaum muslim. Maka Entitas Zionis atau siapa pun, tak berhak mengambilnya. Status sebagai tanah kharajiyah sudah ada sejak era kekhalifahan Umar bin Khaththab pada tahun 637 M. Maka tak mungkin membaginya dengan Zionis, melalui two state solution, atau bahkan memberikan seluruhnya secara suka rela sebagaimana Trump ingin mengambil alih dan mengubahnya menjadi Riviera Timur Tengah.
Justru sebaliknya, seluruh kaum muslim harus bersatu padu membebaskannya dan mengembalikan kepada pemiliknya yang sah yaitu kaum muslim itu sendiri.
Dalam buku hariannya berbahasa Jerman, Theodor Herzl menuliskan bahwa, orang-orang Yahudi Eropa yang kaya akan membayar utang luar negeri Ottoman, yang mereka perkirakan berjumlah 20 juta pound; Sebagai imbalannya, mereka izin bermigrasi dan meminta tempat di wilayah Palestina di mana mereka dapat membangun tanah air.
Abdulhamid dengan marah berkata, “Aku tidak bisa menjual satu inci pun tanah, karena tanah itu bukan milikku, tapi milik rakyatku. Mereka mendirikan kerajaan ini dan membuatnya subur dengan darah mereka. Kami tahu cara menutupinya dengan darah kami sekali lagi sebelum tanah itu dirampas dari kami.”
Khalifah Utsmani, Abdulhamid II telah menegaskan bahwasanya tak ada tempat sedikitpun dalam Daulah Islam, bagi entitas Zionis untuk menetap, mendirikan tanah air atau bahkan kemudian mengusir si empunya tanah, yakni kaum muslim itu sendiri. Tsumma takuunu khilafatan a’la minhajin nubuwwah. [SNI]
Komentar