Ranah Minang Terpapar LGBT, Efektifkah Perda Dibuat?
Suara Netizen Indonesia, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” sepertinya mulai dilupakan , Ranah Minang terpapar LGBT, Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang Srikurnia Yati mengungkapkan dari 308 total kasus HIV di Padang, sebanyak 166 kasus (53,8 persen) berasal dari luar kota itu. Sementara 142 kasus (46,2 persen) lainnya merupakan warga Kota Padang.
Dari jumlah pengidap HIV tersebut kasus tertingginya berada di Kecamatan Koto Tangah yakni 40 kasus dan 22 kasus di Kecamatan Lubuk Begalung. Sementara kasus paling kecil berada di Kecamatan Lubuk Kilangan yakni empat kasus.
Yang mengenaskan, mereka yang terserang lebih dari separuh masuk dalam usia produktif yaitu rentang 24 hingga 45 tahun. Perilaku lelaki seks lelaki (LSL) menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya angka HIV di Kota Padang. Benar-benar bencana yang seharusnya tidak terjadi di negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Mendapati fakta ini, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat, Nanda Satria di Padang, sedang mengkaji rencana pembentukan peraturan daerah (perda) untuk memberantas penyakit masyarakat ini, terutama lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Ranah Minang (Republika co.id, 4-1-2025).
Baca juga:
Bagi-Bagi Bansos, Demi Kebutuhan Keluarga atau Raihan Suara?
Langkah ini diharapkan bisa menjadi sebuah solusi mengatasi penyakit masyarakat. Nanda menegaskan pemerintah daerah harus merancang strategi bersama masyarakat sebagai solusi. Sebab perilaku menyimpang seperti LGBT berkaitan erat dengan HIV/AIDS.
Menurut Nanda, selain pembentukan peraturan, pihaknya juga mendesak pemerintah untuk lebih memasifkan sosialisasi pencegahan penyakit menular lewat berbagai publikasi seperti baliho dan videotron milik pemerintah.
Cukupkah Perda Atasi Penyakit Masyarakat?
Peningkatan angka penderita HIV/AIDS tak mungkin lepas dari tingginya angka penyimpangan seksual, bak efek domino, tingginya penyimpangan perilaku ini tak akan tumbuh subur jika aturan atau sistem yang ada dalam masyarakat tegas dan jelas.
LGBT adalah buah dari sistem sekuler yang diterapkan hari ini. Sekulerisme adalah ide memisahkan agama dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Islam hanya sebatas pengisi identitas di KTP, kajian Islam sebatas pembunuh waktu luang atau sekadar bersosialisasi antar tetangga tak lebih.
Baca juga:
Berbagai aturan dalam Islam yang seharusnya dipahami bahkan wajib diterapkan berganti dengan hukum manusia yaitu HAM . Padahal yang diwujudkan HAM hingga hari ini hanyalah memperlebar kebebasan berperilaku tanpa batasan, sekularisme membuat manusia bebas menentukan kehendaknya sendiri termasuk dalam menentukan orientasi seksualnya. Mereka menyebutkan sebagai kebebasan mutlak.
Sistem hari ini menumbuh suburkan kemaksiatan demi kemaksiatan. Apalagi jika berbicara sistem politik negeri ini yaitu Demokrasi, setiap orang yang sukses berada ditampuk pimpinan hanyalah boneka rezim. Melanjutkan kebijakan lama, maksimal ganti nama, intinya tak beda. Dan ini membuktikan, negeri ini tak Islami, sebab sudah tahu penyakit masyarakat ini terlarang, pemerintah tak tegas melarang atau membolehkan.
Tentu saja keinginan adanya peraturan daerah untuk memberantas LGBT adalah keinginan yang sangat baik. Namun hal ini tidak akan efektif. Sudah begitu banyak perda syariah yang dibuat daerah tapi terus menerus dipermasalahkan pihak pihak tertentu.
Bahkan ada yang dibatalkan oleh pemerintah pusat karena dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Apalagi dalam sistem demokrasi sekuler, bukan Islam yang menjadi acuan, tetapi HAM. Maka tidak ada tempat bagi penerapan syariat islam kafah.
Asas yang batil tidak akan mampu memberikan solusi tuntas atas permasalahan manusia, apalagi bersumber pada akal manusia yang lemah. Ditambah setiap kepala beda keinginan dan kepentingan, jelas tak akan memberikan keadilan bahkan penyelesaian yang sebenarnya.
Baca juga:
Ironi Demokrasi, Adanya Caleg Depresi
LGBT hanya akan dapat diberantas dengan tuntas ketika Islam diterapkan secara kafah. Sebab hanya Islam yang memiliki hukum tertentu sesuai syariat Allah terkait sistem pergaulan atau sistem sosial, yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dan orientasi seksualnya.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam hlm. 54, “Dikecualikan dari itu jika Allah telah membolehkan adanya interaksi di antara keduanya, baik dalam kehidupan khusus maupun kehidupan umum. Allah Swt., misalnya, telah membolehkan kaum wanita untuk melakukan jual beli serta mengambil dan menerima barang; mewajibkan mereka untuk menunaikan ibadah haji; membolehkan mereka untuk hadir dalam salat berjemaah, berjihad melawan orang-orang kafir, memiliki harta dan mengembangkannya, dan sejumlah aktivitas lain yang dibolehkan atas mereka. Semua aktivitas di atas yang dibolehkan atau diwajibkan oleh syariat Islam terhadap kaum wanita, harus dilihat dulu. Jika pelaksanaan berbagai aktvitas di atas menuntut interaksi/pertemuan (ijtima’) dengan kaum pria, boleh pada saat itu ada interaksi dalam batas-batas hukum syariat dan dalam batas aktivitas yang dibolehkan atas mereka. Ini misalnya aktivitas jual beli, akad tenaga kerja (ijârah), belajar, kedokteran, paramedis, pertanian, industri, dan sebagainya.
Maka kedudukan negara akan menjadi pelindung dan penjaga umat agar tetap berada dalam ketaatan pada Allah termasuk dalam sistem sosial. Negara akan menutup rapat setiap celah yang akan membuka peluang pelanggaran hukum syara.
Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan atas pelanggaran hukum syara termasuk dalam penyimpangan orientasi seksual. Islam memiliki mekanisme tiga pilar tegaknya aturan Allah yang akan mencegah adanya LGBT. Allah SWT. berfirman yang artinya, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS Al Maidah:50). Wallahualam bissawab. [ry].
Komentar