Hukum Islam Memberantas Korupsi

Suara Netizen Indonesia, Harvey Moeis akhirnya divonis 6 tahun 6 bulan penjara dalam kasus korupsi timah. Padahal dia telah merugikan negara sebesar 300 triliun (Kumparan, 2-01-2025).

 

Vonis ini memicu kemarahan publik yang menilai hukuman tersebut tidak mencerminkan keadilan. Korupsi, yang merugikan negara secara signifikan dan berdampak luas pada masyarakat, seharusnya dihukum dengan tegas untuk memberikan efek jera.

 

Sungguh vonis yang ditetapkan telah mencabik rasa keadilan. Bandingkan dengan perlakuan pada pencuri ayam (karena untuk memenuhi rasa lapar) pelakunya dipukuli hingga babak belur.

 

Baca juga: 

Bagi-Bagi Bansos demi Kebutuhan Warga atau Raihan Suara?

 

Begitu pula perlakuan pada nenek Asyani dalam kasus pencurian tujuh batang kayu pada 2015 yang divonis lima tahun penjara.

 

Begitu ringannya hukuman yang diberikan pada koruptor yang telah merampok uang negara hingga triliunan rupiah tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi rakyat kecil yang terpaksa melakukan kejahatan karena untuk memenuhi kebutuhan hidup.

 

Kasus ini telah memperlihatkan bentuk ketidakadilan hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Hukum di negeri ini mudah untuk dibeli dan yang bisa membeli hukum adalah orang-orang yang memiliki uang.

 

Sekali lagi kita dipertontonkan dengan ketidakadilan dan tidak amanahnya para penentu kebijakan dalam memperlakukan warga negaranya.

 

Sistem Demokrasi Sekularisme Biang Kerok Ketidakadilan

 

Ketidakadilan hukum yang terjadi saat ini merupakan buah dari penerapan sistem demokrasi sekularisme yang menjauhkan aturan agama dari mengatur kehidupan manusia.

 

Aturan ini dibuat oleh manusia sehingga menghasilkan hukum yang bersifat subyektif dan lebih memihak pada pembuat hukum itu sendiri sehingga jauh dari keadilan.

 

Sistem Demokrasi Sekularisme berpadu dengan sistem ekonomi Kapitalistik akan melahirkan pragmatisme dalam mengelola negara sehingga memunculkan tindakan dan keputusan yang lebih mengutamakan hasil praktis daripada prinsip moral dan lebih mengedepankan kepentingan pemilik modal daripada memperhatikan nasib rakyat.

 

Alhasil ketidakadilan dan kesengsaraan terus dirasakan oleh rakyat dalam sistem ini karena kebijakan negara ditentukan oleh para pemilik modal dan hukum yang diterapkan pun dalam rangka untuk memenuhi kehendaknya.

 

Fakta ini semestinya menggugah umat untuk segera meninggalkan sistem sekuler dan beralih pada sistem yang memberikan rasa adil dan ketentraman.

 

Yah, rasa keadilan dan ketentraman itu hanya ditawarkan dalam sistem Islam. Karena ketika Islam diterapkan maka yang akan mendapatkan keadilan dan ketentraman itu tidak hanya umat Islam saja tetapi seluruh umat manusia.

 

Islam diterapkan dalam rangka memenuhi perintah Allah SWT. Karena dengan patuh pada perintahnya maka keridaan-Nya akan diperoleh dan manusia pun akan diberkahi kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat.

 

Berbeda dengan sistem sekuler yang memberikan keadilan dan ketentraman jika bisa menghasilkan manfaat, jika tidak maka jangan berharap keadilan dan ketenteraman akan dapat diperoleh.

 

Islam Mencegah Korupsi

 

Dalam Islam pelaku tindak korupsi akan diberikan sanksi yang sangat berat karena efek dari perilaku korupsi akan merugikan masyarakat luas dan akan merugikan semua pihak.

 

Untuk mencegah perilaku korupsi dan penyogokkan (risywah), Islam melarang menyentuh harta milik umum. Hal ini tergambar ketika Baginda Rasul Saw mengkritik Abu Lutaibah seorang pegawai yang beliau angkat untuk mengurusi zakat Bani Sulaim.

 

Ketika dia menjalankan tugas itu, dia mendapatkan hadiah. Mendengar hal tersebut, Rasulullah Saw merespon dengan menyampaikan khutbah di depan masyarakat:

Amma ba’du. Sesungguhnya aku menugaskan beberapa orang laki-laki di antara kalian untuk mengurusi hal-hal yang dikuasakan kepadaku oleh Allah, lalu salah seorang dari kalian datang dan berkata: ‘ini milikmu dan yang ini hadiah yang dihadiahkan kepadaku. ‘Kenapa tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, sampai datang kepadanya hadiah, jika dia benar? Demi Allah, tidak seorang pun dari kalian mengambil sesuatu yang bukan miliknya, kecuali dia akan menanggungnya pada hari kiamat,” (HR. Bukhori).

 

Jika hadis tersebut diterapkan oleh seorang pemimpin negara, maka akan menutup pintu risywah (penyogokan) dan korupsi sehingga perilaku korupsi tidak akan semakin menjadi seperti yang tengah terjadi saat ini.

 

Hukum yang akan diterapkan pun tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas karena Islam tidak menganggap kedudukan para pejabat lebih mulia daripada rakyat.

 

Para pejabat yang menjabat pada saat Islam diterapkan pun memiliki pemahaman Islam yang sangat baik sehingga mereka sadar betul bahwa amanah yang diembannya adalah amanah yang sangat berat dan akan dimintai pertanggungjawabnya di yaumil akhir kelak.

 

Gambaran hukum Islam yang adil ini tercermin dari sebuah kisah berikut:

Dari Siti Aisyah ra, menuturkan, suatu ketika kaum Quraisy gelisah memikirkan nasib seorang wanita makhzumíyyah yang telah melakukan pencurian. Mereka berkata, “Siapa yang sanggup melobi Rasulullah Saw. Terkait ini?” Mereka menjawab, “Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah saw.” Lalu Usamah pun melobi beliau.

Kemudian Rasulullah Saw bersabda,

Apakah kalian hendak meringankan hukuman syar’i (hadd) di antara hukuman-hukuman syar’i Allah?

Kemudian beliau bangkit dan berkhutbah, “Wahai manusia, sungguh orang-orang sebelum kalian itu binasa karena bila yang melakukan pencurian itu orang terpandang, mereka biarkan, tapi bila yang mencuri itu kalangan rakyat jelata, mereka menerapkan had atasnya. Demi Allah, kalau saja Fathimah putri Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya” (HR Muslim).

 

Begitulah Islam dalam memberantas korupsi di kalangan pejabat negara. Mereka akan dikenai hukuman yang berat dan berefek jera sehingga tidak akan berani untuk melakukan korupsi.

 

Hukum yang diterapkan pun berlaku adil dan tak pandang bulu. Setiap rakyat yang melanggar syariat akan dihukumi sesuai dengan yang termaktub dalam Alquranv dan As sunnah.

 

Selain itu, kesadaran masyarakat untuk taat pada hukum Allah dibangun atas dasar keimanan dan ketakwaan individu melalui pembinaan dan pemahaman terhadap agama Islam bukan atas dasar paksaan. Sehingga akan terbangun kondisi masyarakat yang saling nasihat menasihati dan menjaga dalam ketaatan kepada Allah SWT.[ SNI].

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *