Realitas Pahit : Rakyat Tak Terwakilkan Wakilnya

Suara Netizen Indonesia–Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, Kepala Staf Kepresidenan RI (KSP) Moeldoko mengatakan bahwa sebanyak 9,9 juta rakyat Indonesia saat ini belum punya rumah.

 

Kondisi rakyat ini berbanding terbalik dengan kondisi wakil rakyat yang malah mendapat tunjangan rumah. ICW (Indonesia Corruption Watch) mengatakan, kebijakan pemberian tunjangan rumah bagi anggota DPR Periode 2024-2029 merupakan bentuk pemborosan uang negara.

 

Peneliti ICW Seira Tamara dalam keterangan tertulis,nya,  “ICW memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik,” (KOMPAS.com,11-10-2024).

 

ICW mengkritisi upaya pengalihan rumah jabatan anggota (RJA) DPR RI periode 2024-2029 ke tunjangan perumahan. Sebab, ICW menilai langkah itu akan mempersulit pengawasan. Terlebih tunjangan tersebut ditransferkan secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan, minimnya pengawasan akan berdampak pada pemborosan anggaran dan penyalahgunaan. 

Baca juga: 

Tanpa Syariat, Pengentasan Kemiskinan Hanya Ilusi

 

Selain itu, ICW juga menduga bahwa upaya pengalihan itu tidak memiliki perencanaan, sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya untuk memperkaya para anggota wakil rakyat tanpa memikirkan kepentingan publik.

 

Seira juga mengatakan bahwa lembaganya mempersoalkan argumentasi utama Sekjen DPR RI yaitu Indra Iskandar, sebagai dalih pengalihan ke tunjangan karena fleksibilitas bagi anggota dewan dalam mengelola dan memilih rumah dinasnya sendiri.

 

Padahal tunjangan rumah dinas ini berasal dari anggaran negara yang bersumber dari pajak rakyat. Oleh karena itu, ICW memandang aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya memiliki urgensi yang lebih penting dibanding hanya sekadar fleksibilitas sebagaimana yang diargumentasikan oleh Sekjen DPR itu.

Baca juga: 

Harapan Perubahan pada Kabinet Baru, Ilusi!

 

Sungguh ironis dan menjadi realitas pahit, jika dibandingkan dengan realita yang dihadapi rakyat hari ini, yang masih kesulitan memiliki rumah. Bahkan ditambah lagi dengan adanya ‘beban’ iuran Tapera bagi pekerja. Makin ironis lagi ketika keputusan anggota dewan justru membuat rakyat makin susah.

 

Tentunya ini sudah menjadi rahasia umum dalam sistem demokrasi, bahwa para ‘wakil rakyat’ itu bekerja hanya demi materi saja. Perilaku para anggota dewan yang seperti ini mengarah pada indikasi kuat bahwa kinerja DPR itu tidak akan jauh-jauh dari kue kekuasaan.

 

Belum lagi maraknya politik dinasti yang sudah jelas meningkatkan potensi bancakan uang negara. Lagi dan lagi rakyat terlibat hanya sekadar untuk menjadi penggembira dalam ajang pesta demokrasi. Maka dari itu, sebenarnya apa yang bisa kita harapkan dari sistem demokrasi? Sistem yang dibuat oleh manusia yang lemah dan terbatas.

 

Seharusnya kita menyadari kelemahan dan keterbatasan itu, lalu mengambil dan menerapkan sistem yang berasal dari Sang Pencipta yang tidak akan mungkin menyengsarakan manusia, yaitu sistem Khilafah.

 

Dimana dalam sistem ini aturan-aturannya bersumber dari Allah Taala. Dalam sistem Khilafah terdapat struktur yang bernama Majelis Umat, yaitu majelis yang berisikan orang-orang yang mewakili kaum muslimin dalam memberikan pendapat serta menjadi rujukan bagi saorang Khalifah untuk meminta masukan/nasihat mereka dalam berbagai urusan.

 

Keberadaan Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw. yang sering meminta pendapat/bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang mewakili kaum mereka. Kaum muslimin pun melanjutkan aktivitas mengoreksi para pejabat pemerintahan itu pada masa khulafaurasyidin dan para khalifah setelahnya.

 

Majelis Umat ini jelas berbeda dengan para wakil rakyat di dalam sistem demokrasi, karena dalam sistem demokrasi wakil rakyat ini memiliki peran untuk melegislasi hukum perundang-undangan dan menetapkan anggaran. Fungsi ini tidak ada dalam Majelis Umat, mereka mewakili umat benar-benar murni dalam rangka melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-hukkam) serta syura (musyawarah).

Baca juga: 

IPM Tinggi Indikator Sejahtera Hakiki?

 

Legalisasi hukum itu adalah wewenang khalifah selaku kepala negara, melalui adanya ijtihad dan dalam konteks tabani (adopsi) hukum dan perundang-undangan yang tentunya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah.

 

Kemudian penetapan anggaran negara juga merupakan wewenang khalifah yang berada dalam pengelolaan Baitulmal. Kemudian, anggota Majelis Umat itu bukanlah pegawai negara yang berhak menerima gaji. Adapun ketika ada hal-hal yang perlu dianggarkan untuk menunjang kinerjanya, itu berupa santunan dalam jumlah yang secukupnya saja, tidak seperti tunjangan para anggota dewan di sistem demokrasi yang jumlahnya fantastis.

 

Karena atas dasar keimanan dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat, maka mereka benar-benar menjadi para wakil rakyat yang amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Taala.

 

Mereka berupaya untuk riayatusy syuunil ummah (mengurusi urusan umat), kemudian muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) yang landasannya adalah amar makruf nahi mungkar. Sehingga tidak ada motivasi untuk memperkaya diri menggunakan uang rakyat atas nama wakil rakyat. Wallahu ‘alam. [SNI].

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *