Industri Halal Dibidik, Syariat Kafah Diselidik

Suara Netizen Indonesia, Ekonomi syari’ah sedang naik daun. Salah satunya adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Menurut Head of Center for Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Handi Risza, KEK industri halal dapat menjadi indikasi keseriusan pemerintah dalam mengoptimalkan sektor industri halal karena dapat menjadi terobosan dalam mengakselerasi produktivitas industri halal Indonesia. 

 

“Saat ini dari sekian banyak KEK, yang masuk kategori KEK industri halal itu baru tiga, halal industrial Park Sidoarjo, modern halal Valley Cikande, dan Bintan inti halal hub,” ujar Handi dalam diskusi publik Indef bertajuk “Penguatan Ekosistem Halal untuk Masa Depan Ekonomi dan Keuangan Syariah” di Jakarta, Jumat (republika.co.id, 5-10-2024). 

 

Wakil Rektor Universitas Paramadina itu berharap ke depan semakin banyak KEK,  sebab akan berdampak positif dalam mengintegrasikan rantai pasok, menjaga kualitas produk, dan memiliki orientasi ekspor untuk bersaing di pasar internasional, terlebih KEK mendapatkan insentif penuh dari pemerintah, mulai lahan, pajak sampai teknologi. 

 

Dengan berbagai keunggulannya, menurut Handi lagi, KEK industri halal akan menyediakan berbagai fasilitas fiskal dan nonfiskal yang telah diatur dalam berbagai regulasi. Dimana potensi pengembangan KEK industri halal tidak hanya terbatas sebagai kawasan industri, melainkan juga dapat diperluas menjadi KEK kawasan berikat, pusat logistik berikat, kawasan perdagangan bebas, dan pelabuhan bebas. Apalagi mumpung pemerintahan baru, KEK bisa menjadi model baru dalam mempercepat pengembangan industri halal dan mendatangkan efek berganda secara masif. 

 

Ekonomi Syari’ah Dibidik, Islam Kâfah Diselidik

 

Dengan pertumbuhan keuangan syariah yang mencapai 3,96 triliun dolar AS pada 2022, Handi menyebut, industri halal tidak hanya menawarkan alternatif ekonomi, tetapi juga mampu mendorong pertumbuhan yang inklusif. Handi mengatakan sektor-sektor seperti makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, fesyen, pariwisata, media, dan rekreasi, menyimpan pasar potensial yang besar.

Baca juga: 

Merajut Hari, Harapan Untuk Anak Perempuan

 

Perkembangan industri fesyen halalnya saja tercatat nilainya mencapai 318 miliar dolar AS atau tumbuh 8,4 persen dari tahun sebelumnya. Dengan lebih dari dua miliar konsumen Muslim di seluruh dunia, Handi memperkirakan transaksi di sektor halal diperkirakan mencapai 2,29 triliun dolar AS pada 2022 atau tumbuh 9,5 persen.

 

Tantangan utamanya pertama integrasi antarsektor. Saat ini, industri halal masih bersifat parsial dan tidak terhubung satu sama lain. Dengan sinergi yang baik antarsektor dan dukungan kebijakan yang kuat, industri halal bisa menjadi mesin pertumbuhan yang efektif bagi Indonesia. Kedua praktik sertifikasi halal yang masih bersifat self-declare yang dapat menimbulkan keraguan mengenai kehalalan bahan dan proses produksi.

 

Apalagi, dunia global, OKI kini juga fokus pada ekonomi Islam sebagai prioritas pembangunan. Malaysia, Arab Saudi, dan Indonesia ini menjadi tiga negara terbesar dalam Global Islamic Economy Indicator. Impor produk halal dari negara-negara Organisasi Kerja sama Islam (OKI) mencapai 359 miliar dolar AS pada 2022. Diperkirakan, impor produk halal ke OKI akan mencapai 492 miliar dolar AS pada 2027 dengan rata-rata pertumbuhan 7,6 persen.

 

Undang-undang nomor 59 tahun 2024 tentang RPJPN 2025-2045 menjadi terobosan kebijakan yang mendukung penguatan ekonomi syariah di Indonesia. Dengan adanya regulasi yang jelas, ekosistem industri halal dapat berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan sosial.

 

Banyak harapan tertumpu pada KEK, seolah hanya ini jalan satu-satunya menguatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan sosial. Padahal faktanya, belum ada bukti secara signifikan antara KEK dengan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, sejak regulasi UU 39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, pasal 5 ayat 1 diterbitkan, pemerintah gencar menawarkan peluang investasi asing, jelas mereka yang untung dan kita yang buntung. 

Baca juga:

Kala Wakil Rakyat Resmi Dilantik, Episode Baru?

 

Yang terpampang jelas justru dampak dari KEK, apalagi jika bukan perkara pembukaan lahan besar-besaran guna pembangunan kawasan, jelas rakyat adat yang dirugikan sekaligus habitat asli di dalamnya. Banyaknya tanah yang tergusur dan ruang hidup yang terganggu akibat pembangunan proyek atas nama negara. Imbasnya, pola kehidupan masyarakat di sekitar kawasan jelas berubah seiring bergantinya wilayah mereka menjadi KEK. 

 

Karena asing yang bermodal besar memiliki kewenangan akhirnya meminta berbagai fasilitas kepada pemerintah salah satunya dimudahkan akses ke berbagai aspek, baik itu akomodasi dan transportasi. Mereka beritung untung rugi, pemerintah menjadi penyangga kebutuhan, rakyat terus menjadi obyek penderita. 

 

Harapan mampu menyerap tenaga kerja juga tak sesuai harapan, rata-rata mereka yang bekerja di KEK sebatas buruh. Dan ternyata, pengangguran masih saja tinggi di Indonesia. 

 

Mengapa negara tak belajar dari pengalaman sebelumnya? malah terus bernafsu membuat berbagai proyek, dengan dalih Proyek Strategis Nasional, nyatanya rakyat sendiri yang menjadi korban. Dan inilah risiko ketika kita menerapkan sistem kapitalisme liberalisme. Sangat tidak mungkin sistem hari ini akan benar-benar mendorong maju perekonomian secara signifikan, sebab landasannya saja sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. 

 

Ironinya, halal yang merupakan salah satu syariat dalam Islam digunakan sebagai penopang ekonomi. Padahal ekonomi syariat tidak ada artinya jika tidak dibenahi aspek lainnya, semisal kesehatan, pendidikan , keamanan dan lainnya. Islam harus diterapkan secara keseluruhan, bukan hanya sebagian. Yang terjadi, ketika ada rakyat yang ingin menerapkannya akan menerima perlakuan tak adil, selain diselidiki juga dimonsterisasi dengan Islam radikal, Islam teroris dan lain sebagainya. 

 

Islam Menyejahterakan Umat

 

Dalam Islam, pembangunan haruslah memberikan dampak positif yang besar bagi kehidupan masyarakat. Ini karena salah satu kewajiban negara adalah menyediakan infrastruktur publik yang dapat diakses masyarakat luas. Kesejahteraan rakyat di tangan negara tanpa ragu, sebab Rasulullah bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

 

Khalifah Umar bin Khaththab bin Khatab pernah mendanai pembangunan infrastruktur melalui anggaran khusus di baitulmal. Islam tidak akan mengalokasikan pembiayaan infrastruktur dengan jalan utang atau investasi asing. Negara akan memodali secara penuh pembiayaan pembangunan infrastruktur. Dananya berasal dari kas baitulmal yang terdiri dari harta fai, ganimah, anfal, usyur, khumus, rikaz, zakat, jizyah, kharaj, serta pengelolaan barang tambang. 

 

Allah swt. berfirman yang artinya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya“. (TQS Al-A’raf :96).

 

Maka, tak akan bisa terwujud pertumbuhan ekonomi yang membawa keberkahan ketika syariat masih dicampur adukkan dengan kapitalisme yang jelas bertentangan sejak asas. Wallahualam bissawab. [ SNI].

Artikel Lainnya

Penonton Konser jadi Luber

Penonton Konser jadi Luber

Konser ‘Berdendang Bergoyang’ yang diselenggarakan di Istora Senayan, Jakarta Pusat dihentikan karena over kapasitas. Dari kejadian tersebut upaya aparat untuk menghindari bencana di tengah keramaian patut diapresiasi. Hanya saja, tindakan tersebut juga perlu dikritisi. Lalu bagaimanakah Islam memandang peristiwa ini?

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *