Tenang, Bukan Rakyat yang Bayar Utang Negara
Suara Netizen Indonesia–Menurut catatan Kemenkeu, diketahui posisi utang pemerintah per Agustus 2024 mencapai Rp 8.461,93 triliun. Rasio utang pemerintah pada periode tersebut sebesar 38,49 persen dari PDB, atau berada di bawah ambang batas 60 persen dari PDB. Artinya utang negara sudah naik 1 triliun dibandingkan tahun lalu.
Dan yang ” membahagiakan” Kementerian Keuangan menyampaikan utang negara yang besar itu tidak akan membebani kelas menengah. Utang yang membeludak dipastikan akan dibayar oleh pemerintah melalui pemasukan dari perputaran kegiatan ekonomi yang terus didorong (republika.co.id, 27-9-2024).
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Riko Amir, bahwa utang yang membiayai bukan masyarakat secara langsung. Kelas menengah tidak diambil uangnya untuk bayar utang, tapi dari revenue yang dihasilkan dari produk domestik bruto kita. Sehingga perlu diluruskan terkait masih ada anggapan bahwa utang negara akan memberatkan masyarakat terkhusus kelas menengah.
Baca juga:
Perlindungan Pekerja Langkah Menuju Indonesia Emas?
Rico kembali menegaskan, pemerintah sanggup membayar utang yang tercatat jatuh tempo pada 2025 sebesar Rp 800, 33 triliun. Selain memang masih ada kemampuan, pembayaran utang itu dicicil setiap tahun saat jatuh tempo.
Sementara Prof Didik J Rachbini mengatakan perlunya kita menggarisbawahi perbedaan mendasar antara utang pribadi dan utang negara, serta dampak signifikan dari keputusan utang negara terhadap seluruh lapisan masyarakat.
Karena utang negara berbeda dengan utang privat milik warga negara. Satu kali negara memutuskan mengambil utang maka pasti akan ada kewajiban membayar cicilan, secara pasti akan mengurangi berbagai anggaran pembiayaan yang lainnya, semisal pendidikan atau pendapatan daerah. Rakyat apapun kelasnya pasti akan merasakan imbasnya. Sedangkan utang individu efeknya hanya pada individu itu sendiri.
Baca juga:
Wakil Rakyat Mesum, Bagaimana Nasib Rakyat?
Profesor Didik menyesalkan sebab tidak ada satupun lembaga atau DPR yang melakukan cek balance saat pengambilan keputusan penambahan utang. Padahal dampaknya untuk bayar bunga saja sudah sedemikian besar setiap tahun. Negara ini menerapkan demokrasi, tapi tidak ada penyertaan secara demokratis pihak-pihak yang terkait saat dibuat keputusan utang. Inilah yang akan diwarisi oleh pemerintahan baru Prabowo, beliau mengutip kalimat yang pernah diucapkan Almarhum Faisal Basri, “Insyaallah kita akan krisis” (republika.co id, 16-9-2024).
Benarkah Jaminan Menkeu Akan Terealisir?
Rasanya juga tak bijak jika percaya kita “aman” sebagaimana yang pernah disampaikan oleh menteri Luhut karena jumlah utang kita tak sebesar di negara lain, semisal Jepang. Sangat tidak apple to apple. Hal yang sama harus kita kedepankan, yaitu waspada ketika mendengar jaminan kemenkeu ” kita bisa bayar utang, dan tidak akan membebani rakyat”. Pembayaran utang berasal dari revenue yang dihasilkan dari produk domestik bruto, dengan kata lain dari aktifitas perekonomian kita semisal ekspor impor.
Faktanya kita terikat dengan perjanjian pasar bebas, baik dunia maupun ASEAN, sehingga ada kewajiban membebaskan bea masuk kepada semua barang impor. Akibatnya, pelaku usaha di tanah air kalah dengan banjirnya produksi tekstil dari Cina, beras dari Thailad, bahkan BBM kita beli dari Singapura dan lainnya.
UMKM kita pun bukan produsen barang tambang, penjualannya tak akan signifikan mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga bisa sejahterakan rakyat satu Indonesia.
Sementara, pajak yang menjadi pendapatan terbesar negara, justru bagi para pengusaha luar negeri diperingan, bahkan pengemplang pajak dari pengusaha kelas kakap dirileksasi hingga diamnesty. Dan pajak bagi rakyat dari berbagai lapisan diperbanyak obyek pajaknya kemudian disesuaikan (baca: naik) tarifnya. Memang bukan rakyat secara langsung pembayar utang, tapi pajak yang dipajar rakyat masuk dalam APBN yang kelak digunakan untuk membayar utang ketika jatuh tempo.
Benar sebagaimana pernyataan Profesor Didik, imbasnya akan ada pengurangan anggaran di APBN untuk berbagai kebutuhan pokok rakyat, baik pendidikan, kesehatan dan lainnya yang seharusnya mendapatkan peningkatan sesuai tujuan pungutan pajak.
Lagi-lagi permainan kata yang disodorkan pemerintah berkaitan dengan jaminan. Langkah nyatanya zonk, selama negara ini masih menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi maka selamanya tak ada porsi istimewa bagi rakyat, karena utang dan pajak menjadi pendapatan utama negara. Ironi, bukankah Indonesia adalah negara kaya?
Baca juga:
Zakat, Pemberdayaan Ekonomi Tanpa Islam, Zonk!
Benar, namun kekayaan itu telah menjadi ajang komoditas bagi pejabat untuk dijual kepada investor asing, dengan kedok kerjasama bilateral, multilateral dan lainnya, hektaran tanah, hutan, laut, tambang dan lain-lainnya beralih tangan kepada para pemodal besar. Politik demokrasi memang tak bisa dilepaskan dari politik balas Budi. Demokrasi yang berbiaya mahal, hanya melahirkan pemimpin dengan mindset pengusaha, bukan periayah (pengurus rakyat).
Negara Tanpa Utang dan Pajak, Emang Bisa?
Saatnya kita menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dan mencabut sistem kufur, kapitalisme dan demokrasi. Sangat bisa sebuah negara tanpa utang dan pajak. Sebagaimana sabda Rasulullah , “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, rumput, dan api“. (HR.Ibnu Majah). Maknanya, segala kekayaan alam, tambang maupun energi adalah milik umum, yang tidak boleh pihak manapun mengelola kecuali negara.
Negara sebagai penerap hukum syara menjadi wakil bagi rakyat untuk mengelola, mendistribusikan baik secara langsung seperti air, BBM dan lainnya atau tidak langsung berupa pembiayaan sekolah, gaji pegawai, rumah sakit, jalan, dan lainnya. Negara memastikan individu rakyat mampu mengakses dengan mudah. Kemudian ada harta zakat yang dibagikan khusus untuk delapan ashnaf sebagaimana disebutkan dalam Alqur’an.
Semua harta hasil pengelolaan kepemilikan umum, kepemilikan negara, zakat dan lainnya disimpan di Baitulmal, pengeluarannya sesuai dengan pandangan Khalifah. Pajak (dharibah) hanya akan di pungut oleh negara ketika Baitulmal kosong padahal kewajiban negara harus tetap berjalan. Pajak dalam Islam bersifat temporal, jika apa yang menjadi kewajiban negara terhadap rakyatnya terpenuhi maka tidak dipungut.
Pungutan pajak pun hanya kepada orang yang kaya saja. Sedangkan utang, hukumnya mubah asalkan bukan berbasis riba. Negara akan membayar pokok pinjaman. Pengelolaan ekonomi dengan syariat Islam terbukti mampu menegakkan Peradaban cemerlang selama 1300 tahun tanpa tanding dan tiada banding. Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar