Perlindungan Pekerja, Langkah Menuju Indonesia Emas?

Suara Netizen Indonesia–Ada 12 Provinsi, 11 Kabupaten/Kota, 3 Desa serta 13 pelaku usaha mendapatkan Paritrana Award di Plaza BPJAMSOSTEK beberapa waktu lalu. Penghargaan diberikan kepada pihak yang dinilai sukses mendukung implementasi program jaminan sosial ketenagakerjaan (Republika.co.id, 24-9-2024).

 

Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin, dalam sambutannya menginstruksikan pemerintah daerah hingga ke tingkat pemerintahan terkecil, seperti desa/kelurahan untuk berperan aktif memastikan setiap pekerja menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Yakni, melalui optimalisasi program Jamsostek dan program percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.

 

Penganugerahan Paritrana Award menurut wapres, merupakan salah satu upaya pemerintah mengakselerasi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial bagi pekerja Indonesia secara menyeluruh. Penyelenggaraan Paritrana Award saat ini sudah memasuki tahun ke-7, dan harapannya capaian universal coverage jaminan sosial ketenagakerjaan akan terus mengalami peningkatan.

 

Pemerintah berharap pada tahun 2045, 99,5 persen pekerja di Indonesia telah dapat terlindungi. Program perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan sekaligus menjadi wujud nyata hadirnya negara dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarganya. 

 

Pembangunan manusia melalui reformasi ketenagakerjaan salah satunya dengan meningkatkan universal coverage jaminan sosial ketenagakerjaan juga menjadi salah satu pilar pembangunan menuju Indonesia Emas 2045. Program ini sejalan dengan APBN Tahun 2025 yang berfokus pada peningkatan kualitas SDM melalui penguatan Perlinsos untuk sepanjang hayat dalam rangka membangun demografi Indonesia menuju aging society.

 

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo, dalam sambutannya mengatakan hingga saat ini jumlah peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan mencapai 39,2 juta pekerja atau meningkat 49,34 persen sejak awal Paritrana Award digelar. Hal ini menunjukkan bahwa berkat komitmen dan sinergi yang kuat dari seluruh pihak, mampu mendorong terciptanya kesejahteraan bagi para pekerja.

 

Angka ini menurut Anggoro memang masih jauh dari jumlah penduduk bekerja Indonesia yang dapat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan yakni sejumlah 101 juta pekerja. Dari total jumlah pekerja yang terlindungi terdapat 2,81 juta merupakan pekerja rentan ( sangat membutuhkan perlindungan, karena kerawanan ia dan keluarganya jatuh dalam kemiskinan ekstrem). 

 

BPJS Ketenagakerjaan juga tengah memfokuskan strategi perluasan kepesertaan untuk menjangkau pekerja pada ekosistem desa, ekosistem pasar, UKM & E-Commerce serta Pekerja Rentan. Kemudian berkolaborasi dengan tokoh-tokoh masyarakat inspiratif di seluruh penjuru tanah air untuk meningkatkan literasi program dan manfaat serta mempermudah akses bagi para pekerja pada perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan.

 

Dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan turut berkembang seiring bertambahnya jumlah peserta. Anggoro menuturkan kini jumlahnya menyentuh Rp767,23 triliun. Besarnya dana yang dikelola membuat BPJS Ketenagakerjaan berupaya untuk bisa memberikan pengembangan yang optimal namun dengan risiko yang tetap terukur.

Baca juga: 

Zakat, Pemberdayaan Ekonomi Tanpa Islam, Zonk!

 

Sementara itu dari sisi manfaat, sepanjang tahun 2023 hingga Agustus 2024 BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat sebesar Rp 90 Triliun kepada 7,3 juta peserta/ahli waris yang terdiri dari 5 program yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Di dalamnya termasuk manfaat beasiswa yang telah diberikan kepada 160 ribu anak peserta dengan total nilai Rp 663 miliar.

 

Kesejahteraan Bukan Kompetisi Apalagi Komoditas

 

Program perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan diklaim wapres sebagai wujud nyata hadirnya negara dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarganya. Kalimat yang sungguh membuai, bukankah sudah seharusnya negara hadir sebagai pelayan umat, penjamin seluruh kebutuhan dasar umat? Namun jika kita telisik lebih mendalam, kehadiran yang dimaksud hanyalah slogan. Hanyalah solusi panik tanpa jelas memahami akar persoalan. 

 

Inilah wajah asli kapitalisme yang diterapkan negara kepada rakyatnya. Alih-alih melindungi rakyat dengan menyodorkan jaminan sosial ketenagakerjaan yang ada justru memperkaya lembaga asuransi atas nama jaminan kesehatan. Bukan rahasia lagi, dengan rayuan ” gotong royong” mata masyarakat tertipu dan mengamini program ini. Yang ada, mereka akan tetap membayar sejumlah nominal yang ditentukan untuk pelayanan kesehatan yang sebetulnya menjadi haknya dan kewajiban negara untuk memenuhi. 

 

Jika pun ada subsidi dari negara, hanya berjalan beberapa bulan saja, bukan sepanjang usia. Bahkan jika ingin mengambil setiap saat sebagaimana tabungan pribadi, bagi mereka yang tidak pernah sakit tidak akan bisa, sebab uang yang terkumpul sudah diputar untuk pembiayaan infrastruktur, gaji karyawan dan hanya sedikit yang digunakan untuk mengcover klaim kesehatan rakyat yang sakit. 

 

Jika dikatakan subsidi silang antara si kaya dan si miskin, si sehat kepada yang sakit, akad di awal tidak demikian, sebab mana ada subsidi dipaksa bahkan jika terlambat membayar premi akan kena denda atau pinalti. Jelas-jelas mereka yang membayar premi tidak akan pernah berpikir untuk membiayai orang lain, melainkan untuk kesehatannya sendiri. Tapi ketika sakit, sementara biaya premi belum senilai biaya pengobatan, jatuhnya utang. Ada lebih dari satu akad, padahal transaksinya hanya satu. Inilah multi akad yang diharamkan dalam Islam. 

 

Jika kita mendalami makna jaminan, sangat tidak relevan dengan apa yang ditawarkan pemerintah dalam program ini, sebab pemerintah pada dasarnya hanyalah mengalihkan tanggungjawabnya kepada pihak ketiga, untuk menghimpun dana dan membiayai sendiri biaya pengobatannya. 

 

Diperkuat dengan pernyataan Anggoro, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, bahwa besarnya dana yang dikelola membuat BPJS Ketenagakerjaan berupaya untuk bisa memberikan pengembangan yang optimal namun dengan risiko yang tetap terukur. Ini ada unsur untung rugi, mereka adalah perusahaan, wajar jika orientasi mereka untung dan sedikit rugi. Lantas dimana letak persamaannya dengan jaminan yang seharusnya tanpa pamrih?

Baca juga: 

Pupuk Sulit Dicari, Petani Gigit Jari

 

Dalam Islam jaminan diberikan oleh seseorang yang memiliki nama terpercaya, kekuatan dan ditokohkan kepada seseorang, agar seseorang ini memudahkan urusan orang yang dijamin. Jaminan diberikan tanpa pamrih, apalagi meminta sejumlah dana untuk biaya jaminan, jelas ini salah kaprah, tapi kita hidup di era kapitalisme, mana ada siang gratis? Semua berbayar, meski itu kepada rakyat sendiri. 

 

Lebih parah ketika pelayanan kesehatan yang seharusnya diterima masyarakat tanpa syarat dibuatkan ajang kompetisi, siapa yang terbaik maka ada award, penghargaan. Tentu bila beruntung ada tambahan sejumput dana untuk lembaga yang bersangkutan. Untuk apa? Padahal dampak kompetesi ini sangatlah buruk, wilayah yang surplus tentu akan lebih baik daripada wilayah yang minus. Lagi-lagi kebutuhan rakyat yang jadi korban. 

 

Islam Jamin Kesehatan Seratus Persen

 

Semestinya negara lebih fokus pada akar persoalan, yaitu sulitnya mencari pekerjaan. Di dalam negeri dengan persaingan yang ketat, sekelas SMK apalagi sarjana masih juga belum mendapat pekerjaan begitu mereka lulus. Yang sudah bekerja pun belum bisa tenang, selain upah rendah padahal biaya hidup tinggi, ancaman PHK juga mengintai setiap saat. Daya beli masyarakat menurun, membuat biaya produksi mahal, akibatnya PHK menjadi pilihan bagi perusahaan. 

Baca juga: 

Wakil Rakyat Mesum, Bagaimana Nasib Rakyat?

 

Gelombang PHK diperkirakan tembus 70.000 pekerja, serikat buruh bertanya ‘Mana lapangan pekerjaan yang dijanjikan pemerintah? (BBC.com, 12-9-2024). Lantas, pekerja yang mana yang mendapat jaminan perlindungan kesehatan, jika untuk bekerja saja sulitnya setengah mati? Banyak pula yang meregang nyawa dan menjadi korban TPPO karena bekerja di luar negeri. Mereka pun butuh jaminan negara. 

 

Saatnya kembali kepada pengaturan Islam. Dimana Islam mewajibkan negara membuka lapangan pekerjaan seluas mungkin. Baik sebagai aparatur negara, tentara, petani, pedagang, pelaut atau apapun yang dirasa sesuai dengan potensi individu rakyat. Negara menjamin juga dalam bentuk bantuan modal, ketrampilan dan lainnya. Bagi mereka yang uzur sehingga tidak mampu bekerja, akan diberikan kepada wali atau kerabatnya, jika masih tidak bisa maka disantuni negara dari dana Baitulmal. 

 

Para pekerja, akan bekerja sesuai akad kerja yang disepakati. Tanpa harus dibebani dengan biaya kebutuhan pokok seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, sandang, pangan dan papan, semua disediakan negara dengan kualitas terbaik, akses mudah dan harga terjangkau jika tidak mungkin digratiskan. 

 

Inilah yang membedakan, bagaimana peran negara adalah sebenarnya hadir, tanpa memindahkan kepada pihak lain. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam). Wallahualam bissawab. [SNI].

 

 

Artikel Lainnya

Pemerataan Pembangunan Desa, Akankah Menjadi Realita?

Realitasnya bahwa tak semua desa mampu secara finansial membiayai pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri. Meski ada program Dana Desa yang konon katanya adalah bentuk perhatian pemerintah nyatanya terselip motif lain yaitu neoliberalisme ekonomi melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh tiap desa di negeri ini. Rupanya dibalik program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa di dasarkan pada untung dan rugi.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *