Pemerataan Pembangunan Desa, Akankah Menjadi Realita?

Suara Netizen Indonesia–Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mendorong pemerataan program pembangunan desa dan kota agar dapat berjalan secara serentak saat membuka Kongres Desa Indonesia 2024 di Jakarta pada Jumat (22-3-2024).

 

Ini sesuai misi dari Presiden Jokowi dari tahun 2014 yaitu membangun dari pinggiran. Tito menjelaskan pinggiran ini ada dua yaitu dari desa dan perbatasan. Agar ada kesetaraan dan adanya sentra kekuatan baru agar dapat mengimbangi kota. (Antaranews.com, 22-3-2024).

 

Pembangunan desa memang menjadi salah satu target pemerintah dalam program pembangunan nasional dikarenakan tingkat kemiskinan penduduknya lebih tinggi dibandingkan perkotaan.

 

Pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin di pedesaan mencapai 11,79% dari total penduduk miskin di Indonesia yang jumlahnya 25,2 juta orang. Jumlah ini lebih besar dari perkotaan yang jumlahnya 7,09%. (BPS, 1-7-2024).

 

Ketimpangan ini menjadi dasar penting untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa agar sama dengan masyarakat perkotaan. Karena tujuan pembangunan sejatinya adalah meningkatkan kualitas hidup agar kesejahteraan merata baik di desa maupun di kota.

 

Oleh karenanya pemerintah pusat membuat kebijakan dengan mengeluarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk membantu pembangunan desa.

Baca juga: 

Tambahan Anggaran BUMN, Menabur Garam di Luka Rakyat

 

Dengan adanya undang-undang ini, pemerintah menganggarkan dana yang bersumber dari APBN dan biasa disebut dengan Dana Desa untuk tiap desa di Indonesia tanpa terkecuali. Bahkan nilai anggarannya semakin besar dari tahun ke tahun.

 

Dana Desa menjadi angin segar bagi masyarakat di pedesaan, bayangan kesejahteraan sudah ada di pelupuk mata. Para pejabat desa pun berlomba untuk mengajukan anggaran ke pemerintah pusat demi mendapatkan Dana Desa.

 

Namun dalam sistem pemerintahan kapitalisme, pemerataan pembangunan desa hanyalah ilusi. Sistem desentralisasi yang diterapkan pemerintah hari ini menjadi salah satu penyebab tidak meratanya pembangunan. Mengapa?

 

Karena sistem ini menjadikan pemerintah pusat berlepas tangan terhadap pembangunan di pedesaan. Dengan mengatasnamakan kemandirian, pemerintah pusat mendorong setiap desa untuk mencari sumber pemasukan sendiri.

 

Realitasnya bahwa tak semua desa mampu secara finansial membiayai pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri. Meski ada program Dana Desa yang konon katanya adalah bentuk perhatian pemerintah nyatanya terselip motif lain yaitu neoliberalisme ekonomi melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh tiap desa di negeri ini. Rupanya dibalik program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa di dasarkan pada untung dan rugi.

Baca juga: 

Kunjungan Influenzer ke IKN Membebani Negara 

 

Negara bersistem kapitalisme pastilah hanya berpijak pada kepentingan dan keuntungan semata. Sehingga pemerintah pun tebang pilih, desa yang memiliki sumber daya alam dan sumber potensi ekonomi yang besar akan mendapat prioritas utama dan perhatian lebih dari pemerintah pusat.

 

Tapi bukan untuk dikembangkan setara dengan perkotaan melainkan pedesaan yang memiliki potensi tadi akan diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing /swasta yang notabene tidak mendatangkan kesejahteraan sama sekali terhadap wilayah desa tersebut kecuali sangat sedikit.

 

Negara diuntungkan dengan pemasukan pajak dan ijin privatisasi sumber daya alam oleh swasta/asing. Segala pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah di pedesaan tidak akan mewujudkan pemerataan selama pemerintah tidak mengubah paradigma pembangunan berdasar pada kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang dan para pemilik modal.

 

Dana Desa yang dielu-elukan mampu mengatasi ketimpangan pembangunan antara kota dan desa pun tidak mampu mengubah keadaan.

 

Rupanya tak hanya di pusat pemerintahan saja menyebar virus korupsi, aparat desa pun terjangkiti virus ini. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat sejak pemerintah menggelontorkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa terus naik angkanya. Pada 2016 saja jumlah kasus korupsi di desa sebanyak 17 kasus. Enam tahun kemudian jumlah kasusnya melonjak drastis menjadi 115 kasus dengan 252 tersangka. (Aclc.kpk.go.id, 21-8-2023).

 

Allah SWT menganugerahkan manusia untuk menjadi khalifah (pemimpin/imam) dalam mengelola bumi, membangun dunia, dan memakmurkannya sesuai dengan tuntunan syariat.

 

Kesungguhan dalam pengelolaan ini merupakan bagian dari Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin yang dapat memberikan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi masyarakat secara menyeluruh. Tidak hanya pembangunan yang bersifat fisik dan materi saja melainkan pembangunan secara spiritual juga wajib dilakukan.

 

Dalam Islam mewujudkan kesejahteraan seluruh warga negara adalah visi politik negara. Setiap pembangunan baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan akan didukung sistem sentralisasi guna memudahkan negara untuk memantau keberhasilan pembangunan demi tercapainya kesejahteraan.

 

Semua wilayah menjadi tanggung jawab negara tanpa terkecuali. Pejabat pemerintahan dan para pegawainya adalah orang-orang terpilih yang amanah dan takut hanya kepada Allah SWT.

 

Pembangunan prasarana dibuat demi kemaslahatan umat sehingga pembangunannya tidak hanya terpusat pada sentra ekonomi semata tapi merata di setiap wilayah pedesaan dan perkotaan sehingga tidak terjadi ketimpangan pembangunan.

 

Pembangunan desa tidak didasarkan pada keuntungan segelintir orang akan tetapi mengedepankan kesejahteraan warga desa. Pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum telah dilakukan di masa kekhilafahan di mana syariat Islam menjadi asas negara.

 

Dr. Kasem Ajram (1992) dalam bukunya The Miracle of Islam Science, 2nd Edition memaparkan bagaimana pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi jalan yang dilakukan di jaman kekhalifahan Islam.

 

Bahkan jalan-jalan di kota Baghdad, Irak sudah dilapisi aspal pada masa Khalifah Al Mansur (762 M). Bukan hanya jalan, proyek saluran air bersih di jalur Armina (Arafah, Mina, Muzdalifah) terdapat Qanat Zubaidah (jalur air Zubaidah). Zubaidah adalah istri Khalifah Harun Ar-Rasyid yang membiayai proyek ini. Bahkan saluran air ini terhubung hingga ke Baghdad.

Baca juga: 

Subsidi LPG Jadi BLT, Solusi atau Masalah Baru?

 

Contoh paling mutakhir adalah pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam, hingga Istanbul yang dibangun menggunakan dana pribadi Sultan Abdul Hamid II untuk membuka jalur perdagangan dan memudahkan serta mempersingkat waktu para jamaah haji yang berada di luar kota Mekkah.

 

Proyek rel kereta api Hijaz juga bertujuan untuk melindungi para pedagang dari para perompak Inggris di lautan supaya menggunakan jalur darat demi keamanan dan keselamatan.

 

Ini adalah beberapa bukti nyata bahwa setiap pembangunan yang dilakukan hanya bertujuan untuk kemaslahatan umat yang pastinya akan mendatangkan kesejahteraan bagi penduduk di seluruh wilayah baik di desa maupun di kota-kota besar.

 

Sudah saatnya syariat Islam dijadikan asas dalam setiap lini kehidupan untuk mengatur urusan manusia agar tidak hanya mendatangkan kesejahteraan saja tapi menghasilkan individu yang bertakwa sehingga apabila diberikan amanah besar, dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab, jujur, dan penuh rasa keadilan.Wallahualam bissawab. [SNI].

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *