Benarkah Nasionalisme Cara Terbaik Mengisi Kemerdekaan?

Suara Netizen Indonesia–Hari ini sungguh sebuah nikmat luar biasa, bisa safar dan merasakan suasana Jumat di dalamnya. Kami singgah di Masjid Nurul Jadid, Temusari, Banyuwangi. 

 

Khatib salat Jumat mengambil tema khutbah “Pentingnya Menjaga Kemerdekaan Negara Indonesia”. Di awal beliau mengutip surat Ali Imran:102 yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam“.

 

Kita sudah memasuki bulan Agustus, bulan yang jika di Indonesia identik dengan peringatan hari kemerdekaan. Percakapan grup WA sudah seputar lomba dan malam tirakatan sebagai pengisi kemerdekaan. Lingkungan Desa hingga RT sudah meriah dengan lampion, bendera, dan jalan di cat biru putih. Ditambah jika malam ada lampu LED meteor atau bintang, mirip cerianya Natal dimana pohon Cemara dihias dengan kerlap-kerlip lampu simbol bintang terang di langit. 

 

Kemudian Khatib mengatakan, jika nasionalisme adalah sikap yang harus terus dikembangkan. Sebab hanya dengan nasionalisme kita bisa membangun negeri ini lebih baik. Apalagi nasionalisme adalah bagian dari “Hubbul Wathon Minal Iman”. 

 

Sehingga wujud nasionalisme yang nyata adalah menjadikan sikap selalu memberi yang terbaik untuk bangsa dan negara ini. Di antaranya berbuat baik untuk negara, adil, jujur 

 

Selain menumbuhkan sikap nasionalisme juga harus menjaga Marwah bangsa dengan cara menambah ilmu pengetahuan dan membuang kebodohan. Tidak ada cara terbaik sebagai anak bangsa untuk mengisi kemerdekaan dengan menambah ilmu. 

 

Nasionalisme Ide Sesat 

 

Seringkali kita terjebak dalam makna nasionalisme sebagai cinta tanah air. Nasionalisme sejatinya adalah ide yang ditanamkan dalam hati dan pikiran kaum muslim oleh penjajah. Mereka samasekali tidak menginginkan Islam bangkit kembali. Mereka mereduksi arti persatuan hingga sedemikian sempit, sebatas luas wilayah sebuah negara. 

 

Ketika Khilafah Turki Utsmani, sebagai khilafah terakhir yang kemudian runtuh oleh Kemal Attaturk laknatullah, seorang Jendral berkebangsaan Inggris bernama Lord Curzon mengatakan, “Kita harus mengakhiri apapun yang akan membawa persatuan Islam diantara anak-anak kaum muslimin. Sebagaimana yang kita telah sukses laksanakan dalam mengakhiri Khilafah, maka kita harus memastikan bahwa tidak pernah ada lagi bangkitnya persatuan kaum muslimin, apakah itu persatuan intelektual dan budaya.” 

 

Mereka dengan sengaja menciptakan penghalang agar khilafah yang menjadi junnah kaum muslim tidak kembali, selain kurikulum pendidikan dengan asas sekuler, penguasaan perekonomian ,pendirian organisasi dunia seperti Liga Arab dan OKI, pendirian negara Israel hingga ide nasionalisme, patriotisme, sosialisme dan ide sekuler lainnya.

 

Kemudian, Inggris dan Perancis tahun 1916. Melakukan perjanjian rahasia bernama Perjanjian Sykes-Picot. Rencana ini dibuat diantara diplomat Prancis bernama François Georges-Picot dan penasehat diplomat Inggris Mark Sykes. Yang menunjukkan kekuatan Barat bebas memutuskan garis perbatasan di dalam wilayah Khilafah itu. Peta Timur Tengah saat ini adalah garis-garis yang dibuat Sykes dan Picot dengan memakai sebuah penggaris di atas tanah yang dulunya adalah wilayah Khilafah (media umat.info, 18-2-2021).

 

Para penjajah itu memang tak rela khilafah berdiri tegak, penghancuran Khilafah tidaklah cukup. Mereka ingin memastikan bahwa Khilafah tidak pernah bangkit lagi dalam diri kaum Muslimin. 

 

Maka, ketika kita paham sejarah bagaimana kaum muslim kini tercerai berai, tak lagi mengingat ada ukhuwah Islamiyyah, sebuah hubungan yang sangat kuat melebihi darah dan nyawa, disatukan hanya oleh satu perkara yaitu akidah Islam, masihkah kita akan menjadi pengusung ide nasionalisme?

 

Tentulah sebuah kebodohan yang nyata, dengan nasionalisme dunia jadi kejam, bahkan sesama kaum muslim tak lagi merasa perlu saling peduli, apalagi amar makruf nahi mungkar. Jika kaum muslim mengenyahkan nasionalisme, Palestina telah bebas dari penjajahan Israel. Saudara di Xin Jiang, Myanmar, Bangladesh, dan lainnya pasti telah terbebas dari kezaliman penguasa yang keji, zalim dan lagi-lagi pengusung nasionalisme. 

 

Apalagi, di bulan Agustus identik dengan peringatan HUT kemerdekaan negara Indonesia, tahun ini ke-79. Semua dikaitkan dengan nasionalisme, mengisi kemerdekaan dengan berbagai lomba, mulai kebersihan lingkungan hingga lomba yang konyol tak manusiawi. Masih belum sadar juga, ini hanya kemerdekaan semu

 

Kemiskinan ekstrem, Stunting, pergaulan bebas, pembunuhan, pencurian, korupsi, bahkan yang terakhir viral, anggota paskibraka perempuan tak punya keberanian menolak aturan BPIP untuk menanggalkan hijabnya saat upacara pengukuhan dan pengibaran bendera. Meski dibatalkan atau dengan kata lain saat upacara pengibaran mereka sudah menutup aurat kembali namun membuktikan, negara kita tak peduli dengan kewajiban syariat, padahal seorang hamba tak punya hak sedikit pun untuk melawan perintah Tuannya, Allah SWT. 

 

Ini bukan kemerdekaan, ini adalah perbudakan karena penerapan sistem sekuler, pemisahan agama dari kehidupan. Sudah semestinya kita campakkan, dan kemudian berjuang menerapkan kembali syariat kafah.  Orang bertakwa, tentulah menginginkan hidupnya hanya terikat dengan standar halal haram. Wallahualam bissawab.  [SNI].

Artikel Lainnya

Pemerataan Pembangunan Desa, Akankah Menjadi Realita?

Realitasnya bahwa tak semua desa mampu secara finansial membiayai pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri. Meski ada program Dana Desa yang konon katanya adalah bentuk perhatian pemerintah nyatanya terselip motif lain yaitu neoliberalisme ekonomi melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh tiap desa di negeri ini. Rupanya dibalik program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa di dasarkan pada untung dan rugi.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *