Pilunya Dunia Remaja, Bullying Menjadi Solusi

Remaja menjadi pelaku bullying terus merajai pemberitaan, tak hanya terjadi di sekolah negara, sekolah swasta bonafid bahkan hingga di pondok pesantren, terbaru pelakunya adalah sekelompok remaja putri berusia 14-18 tahun terjadi di Bengkong Sadai, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), pada Minggu, 29 Februari 2024 (Batampos.co.id, 2/3/2024).

 

Penyidik Polresta Barelang, Kepulauan Riau telah menangkap terduga pelaku bullying . Kapolresta Barelang, Kombes Nugroho Tri mengatakan berdasarkan keterangan korban dan pelaku, mereka ternyata kerap terlibat saling menjelek-jelekan. Motif pelaku karena kesal dan sakit hati dengan korban. Selain itu, ada juga tuduhan bahwa korban mencuri barang pelaku yang kemudian pelaku tidak terima.

 

Nugroho menjelaskan, pelaku dijerat Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta, dan juga dijerat dengan Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang pengeroyokan secara bersama-sama dengan ancaman penjara 7 tahun (liputan6.com, 6/3/2024).

 

Faktor Penyebab Bullying

 

Wakil Ketua Divisi Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) dan Pengasuhan Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Kota Batam, Ana menjelaskan bahwa kasus ini bisa terjadi karena kurangnya pengawasan dan perhatian kepada anak juga tingginya angka anak yang putus sekolah.

 

Selain itu ada faktor ekonomi dan faktor internet dan perkembangan teknologi. Kurangnya pengawasan keluarga kepada anak atas penggunaan teknologi dan internet sehingga menjadikan anak leluasa untuk melihat dan menonton video-video yang kurang edukatif.

 

Penyelesaian bullying secara hukum menurut Nina merupakan kewenangan dari pihak Kepolisian, dan untuk upaya mediasi, kekeluargaan atau diversi akan diupayakan oleh pihak Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) untuk mengawasi serta melindungi hak-hak anak, baik pelaku dan khusunya korban perundungan (Batampos.co.id, 2/3/2024).

 

Anak Perempuan pun Bisa Menjadi Pelaku Bullying!

 

Bullying atau perundungan merupakan tindakan yang menggunakan kekuasaan untuk menyakiti seorang individu maupun sekelompok orang, baik secara verbal, fisik, dan psikologis, sehingga korbannya akan merasa trauma, tertekan, dan tidak berdaya.

 

Dalam sistem aturan yang diterapkan hari ini yaitu kapitalisme, dimana asasnya adalah sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan tidak mengherankan jika para remaja putri yang ceria dan centil bisa berubah menjadi beringas dan tak punya hati. Seorang ibu yang lembut bisa menjadi pembunuh darah dagingnya sendiri.

 

Setiap kasus bullying yang terjadi sejatinya adalah dampak dari buruknya pola asuh orangtua, buruknya pendidikan , tidak ada pemerataan kesejahteraan , lemahnya hukum dan hilangnya fungsi negara sebagai pengurus urusan rakyatnya. Semua kembali lagi pada asas sekularisme yang memandang setiap amal bebas pengawasan Allah dan kekerasan baik fisik maupun verbal adalah solusi.

 

Dari pasal yang dikenakan kepada para pelaku menunjukkan adanya perbedaan perlakuan, seorang pelaku berumur 18 tahun terkategori dewasa dijerat dengan Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang pengeroyokan secara bersama-sama dengan ancaman penjara 7 tahun. Sedangkan tiga pelaku yang masih di bawah 18 tahun terkategori anak-anak maka dijerat dengan Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan atau denda paling banyak Rp 72 juta.

 

Katagori inilah yang menciptakan celah lemahnya hukum. Padahal keempat gadis itu sudah baligh dan bukan anak-anak lagi. Salah satu dampak adalah tak akan tercipta jera. Pantas saja bullying atau kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja tak pernah selesai karena mereka masih dianggap anak-anak.

 

Pendidikan Berbasis Sekularisme

 

Seseorang berperilaku sesuai pemahaman. Dan ini berkaitan erat dengan pola asuh dalam keluarga dan pendidikan. Islam memiliki sistem yang sempurna yang menjamin terbentuknya kepribadian yang mulia baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat.

 

Dalam sistem kapitalisme hari ini keduanya boleh dibilang gagal, sekali lagi karena pola asuh dan pendidikan dibangun di atas landasan sekularisme, orangtua sibuk bekerja, sehingga pengasuhan tak ideal, anak-anak tumbuh dengan arahan gadget. Apa yang terpampang di depan mata diterima tanpa filter yang kuat. Pemahaman orangtua terkait polas asuh pun ala kadarnya, lebih pasrah pada lembaga pendidikan yang dianggapnya lebih kompeten karena memiliki guru ( dan dibayar). Mereka lupa, bahwa teladan terdekat adalah mereka , orangtuanya.

 

Namun apalah daya, jika tidak bekerja keras, hidup tak akan “ sejahtera”. Padahal, sistem ekonomi juga sangat berpengaruh terhadap buruknya pola asuh hingga berpotensi menciptakan bullying. Beban masyarakat semakin hari semakin berat, negara hanya berputar pada subsidi, sementara potensi strategis yang dimiliki negara yaitu sumber daya alam berlimpah sudah beralih kepemilikan kepada para investor.

 

 Bangunan keluarga yang paling rentan, sebab Kapitalisme juga menciptakan kesenjangan antara si kaya yang memiliki akses ekonomi berlimpah dan si miskin yang untuk bertahan hidup saja susah.

 

Seperti lingkaran setan, alibi pemerintah kita kekurangan tenaga ahli dan dana sangat tidak masuk akal, mengapa justru mengambil dari luar negeri dan bukannya mengelola lebih serius segala potensi yang ada dalam negeri? Itulah kapitalisme, meminimalisir peran negara sebatas pengesahan berbagai kebijakan yang ujung-ujungnya memudahkan urusan para kapital ( pemilik modal) sedang rakyat kian sulit.

 

Sistem pendidikan yang terus berganti kurikulum, gagal mencetak anak didik yang berkepribadian mulia. Sebab, pergantian menteri pendidikan sekaligus kurikulumnya sama sekali tak menyentuh essensi pendidikan, yaitu membentuk kepribadian yang tangguh, cerdas, cemerlang dan bertakwa. Belum lagi persoalan lain dalam dunia pendidikan yang akhirnya malah banyak menghasilkan output beringas tak punya hati, menjadikan bullying sebagai solusi persoalan.

 

Ironinya yang menjadi pangkal persoalan adalah hal yang sepele, hanya perkara gengsi komunitas dan loyalitas kebablasan. Sungguh, betapa rendahnya taraf berpikir anak muda hari ini, inilah akibat pemisahan agama dari kehidupan. Dengan fakta ini masihkah kita merasa sistem pengaturan urusan rakyat yang diterapkan penguasa ini baik-baik saja bahkan mampu mengantarkan Indonesia mencapai cita-citanya sebagai bangsa yang berdaulat dan bagian dari masyarakat internasional?

 

Bagaimana bisa menjawab tantangan ini sedangkan agama saja dimoderasi, disamakan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Padahal, pendidikan semestinya diketahui, diterapkan secara praktis sehingga menjadi kebiasaan. Hal yang paling menakutkan output hari ini bertindak bebas tanpa takut ada pengawasan sejati yaitu Allah swt. Yang kelak akan meminta pertanggungjawaban tanpa terlewat sedikit pun.

 

Yang terakhir, Islam memiliki sanksi yang sahih yang mampu membuat jera termasuk dalam menetapkan pertanggungjawaban pelaku dalam batas balighnya seseorang atau usia 15 tahun. Mata ganti mata, gigi ganti gigi, bahkan anggota badan yang mengalami penganiayaan memiliki hak denda, sesuai letak dan parah tidaknya penganiayaan. Hanya Islam yang mampu memberikan keadilan hukum.

 

Sebagaimana Allah swt. Berfirman yang artinya,”Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan yang sama).”(TQS Al-Maidah: 45). Wallahualam bissawab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Konflik Rempang: Ironi Kedaulatan Rakyat

Konflik Rempang yang saat ini terjadi cukup menyita banyak perhatian. Pasalnya sejumlah warga melintas di perkampungan nelayan Sembulang, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, pada Rabu (27/9/2023). Sebanyak empat kampung dari 16 kampung tua bakal terdampak relokasi. Penolakan yang dilakukan warga terkait proyek Rempang Eco-City yang mengharuskan 2.700 kepala keluarga direlokasi.

Namun, rencana relokasi penduduk Pulau Rempang yang dijadwalkan dilaksanakan pada 28 September 2023 itu batal dilaksanakan. Karena sesuai arahan Presiden Jokowi yang ingin permasalahan Rempang diselesaikan secara humanis, dimana sekitar 200 personil satuan Brimob Polda Riau juga telah dipulangkan (republika.id. 27/09/2023). Walaupun demikian, masyarakat Rempang masih tetap diliputi kecemasan karena pemerintah maupun Badan Penguasaan (BP) Batam hanya memperpanjang tenggat waktu pendaftaran relokasinya saja, bukan membatalkan relokasi masyarakat dari kampung-kampung tua. Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-City akan tetap berlangsung, tegas Menteri Investasi Bahlil Lohadani (BBC, 28/09/2023).

Akar permasalahan dari konflik agraria yang masif terjadi ini akibat penerapan sistem kapitalisme, yang membiarkan kepemilikan secara bebas. Tanah sangat mudah diklaim oleh pihak lain hanya dengan pembuktian sertifikat. Dari sekian banyak kasus agraria yang terjadi, rata-rata ada dua belah pihak yang mempunyai bukti kepemilikan yang sama dan sah. Ketika kasusnya telah sampai di peradilan, pihak yang lebih kuat dan berkuasa yang dimenangkan. Rakyat sering kali menjadi bulan-bulanan kebijakan penguasa yang lebih berpihak pada kaum kapitalis. Banyaknya kasus perampasan hak rakyat dalam sistem kapitalisme saat ini membuktikan bahwa kedaulatan di tangan rakyat hanyalah jargon imajiner, karena yang berkuasa nyatanya adalah kaum kapitalis.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan Islam yang menetapkan kedaulatan berada di tangan syara’ bukan manusia. Islam lahir sebagai ideologi yang bersumber hukum pada aturan Allah, bukan berdasar pada hukum buatan manusia yang bisa jadi atas dorongan hawa nafsunya semata. Aturan Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal kepemilikan tanah.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *