Jerat Utang Luar Negeri
Memasuki tahun baru 2024, kondisi negara masih rawan dengan utang luar negeri yang kian membengkak. Utang pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga November 2023 tercatat menembus Rp8.041 triliun. Angka ini naik Rp487 triliun dibandingkan November 2022. Dengan jumlah tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) per 30 November 2023 adalah 38,11 persen atau naik dari bulan sebelumnya pada level 37,95 persen (viva.co.id, 30/12/2023)
Namun anehnya pemerintah selalu berdalih bahwa utang masih dalam kondisi masih aman. Alasan utamanya, rasio utang masih belum mencapai 60% atas Produk Domestik Bruto (PDB).
Sementara, ekonom Awalil Rizky menyebutkan rasio utang terhadap pendapatan negara diperkirakan sebesar 310,93% pada tahun 2023 dan 317,63% pada tahun 2024. Pada tahun 2023, pendapatan negara diperkirakan sebesar Rp 2.637 triliun dengan utang akhir tahun Rp 8.200 triliun.
Pada tahun 2024, target pendapatan negara sebesar Rp 2.802 triliun, dan posisi utang akhir tahun diperkirakan Rp 8.900 triliun. Rasio tersebut telah jauh melampaui rekomendasi IMF dan IDR untuk kondisi yang bisa dikatakan aman. IMF merekomendasikan kisaran 90-150%. Adapun rekomendasi IDR adalah kisaran 92-167%. Utang Pemerintah Tidak Aman pada Tahun 2024 (Barisan.co, 14/12/2023).
Berutang tanpa riba boleh saja, dalam Islam tidak dilarang, asal nanti dibayar sesuai aqad yang disepakati. Namun bagaimana jika negara memiliki utang yang mengandung riba?
Tentu saja utang-utang negara akan membebani rakyat, meski negara mengatakan akan bertanggung jawab. Sudahlah perekonomian rakyat semakin sulit, ditambah terbebani utang negara. Karena sumber pemasukan negara saat ini berasal dari pendapatan negara dan penerimaan pembayaran. Pendapatan negara berasal dari perpajakan, PNPB dan hibah, sedangkan penerimaan pembayaran diperoleh dari dana pinjaman.
Lalu dari mana lagi negara mau mencari tambahan sumber dana? Jika tidak dari sektor pembayaran pajak?
Mirisnya, negara selalu berutang untuk pembangunan yang tidak urgen bagi kepentingan rakyat. Misalnya pembangunan IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, sejumlah bandara dan ruas tol. Banyak juga proyek hasil utang yang terancam mangkrak.
Dalam sistem kapitalisme yang berasas manfaat, semua serba boleh asal senang dan bermanfaat, termasuk utang berbasis riba. Yang berutang mendapatkan dana segar tanpa memikirkan resiko bagi rakyat dan kedaulatan negara. Negara-negara pemberi utang pun beruntung mendapatkan bunga sekaligus menjadi negara yang berhak mengintervensi dan mengobok-obok urusan negara yang berutang.
Utang akan diwariskan ke kepemimpinan dan generasi penerus. Sehingga bangkrutnya ekonomi negeri dengan jeratan utang ribawi akan tetap berlanjut meski ada pergantian pemimpin.
Sistem pemerintahan dalam Islam tidak akan mudah berutang, karena ada resiko besar yang menghadang. Apalagi hanya untuk kepentingan yang tidak mendesak seperti saat ini, yaitu infrastruktur untuk kepentingan para pemilik modal. Jika terpaksa berutang maka tidak akan mengambil utang ribawi, meskipun sangat dibutuhkan.
Sebab negara membutuhkan rahmat dan rida Allah Pencipta alam semesta agar mendapatkan keberkahan.
Utang berbasis Riba jelas tidak akan ditempuh meskipun benar-benar sangat dibutuhkan karena sebagai umat Islam harus patuh dan taat terhadap hukum-hukum Allah SWT.
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah ﷺ mengutuk orang yang makan harta riba, yang memberikan riba, penulis transaksi riba dan kedua saksi transaksi riba. Mereka semuanya sama (berdosa).” (HR Muslim). Wallahu’alam bish-shawab.
Komentar