Utang Aman dan Terkendali, Kita Bukan Bicara Kompetesi Utang Bukan?
Utang luar negeri Indonesia per akhir Juni 2022 mencapai Rp7.123,62 triliun. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi ( Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengklaim jumlah utang Indonesia terkecil di dunia.” Pemerintah Indonesia hanya punya utang Rp7.000 triliun dan paling kecil di dunia” ujar Luhut (Antaranews.com,9/8/2023).
Setahun kemudian, posisi utang pemerintah secara keseluruhan per 30 November 2023 adalah Rp8.041,01 triliun. Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari menyatakan pinjaman pemerintah, baik dari dalam maupun luar negeri, masih dalam posisi wajar dan aman. Dian menjelaskan, posisi utang pemerintah didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61% dari total utang) dan Pinjaman sebesar Rp 916,03 triliun (11,39% dari total utang).
Khusus utang melalui Pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp886,07 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp29,97 triliun. Pinjaman luar negeri paling banyak berasal dari pinjaman multilateral (Rp540,02 triliun) disusul pinjaman bilateral (Rp268,57 triliun) (gatra.com,31/12/2023).
Dian menyebutkan bahwa pinjaman tersebut diperlukan untuk memenuhi pembiayaan defisit APBN, sekaligus membiayai proyek-proyek prioritas secara langsung. “Pemerintah terus berupaya agar proyek-proyek yang dibiayai melalui pinjaman dapat terlaksana secara optimal, sehingga manfaat yang diperoleh masyarakat dapat maksimal,” terangnya. Sejauh ini, kata Dian, sudah banyak proyek prioritas nasional yang dibiayai melalui pinjaman. Lalu, proyek-proyek untuk institusi pendidikan, seperti pembangunan ITB, pembangunan UGM, dan pengembangan UIN Sunan Ampel. Juga proyek-proyek untuk fasilitas kesehatan, seperti pembangunan RS Universitas Indonesia, RSAU Sutomo Pontianak, dan RSPAL Ramelan.
Menurut Dian, proyek-proyek pembangunan yang dibiayai melalui pinjaman tersebut telah memberikan dampak positif pada masyarakat, terutama dalam menggerakkan ekonomi di daerah. Kemudian menurutnya, salah satu manfaat dari pembangunan proyek-proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri pada umumnya didukung dengan teknologi terkini, sehingga dapat diperoleh transfer teknologi bagi industri dalam negeri. “Pertimbangan dalam pemanfaatan pinjaman untuk membiayai proyek/kegiatan adalah cenderung memiliki output yang lebih baik melalui teknologi terkini dan ‘sharing experience’ yang dimiliki oleh lender,” pungkasnya.
Senada dengan pendapat Dian, Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi, mengatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia masih tergolong aman. Ia pun memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang produktif, karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak positif jangka Panjang. “ Walaupun Indonesia berutang, negara lain juga melakukannya. Tapi selama peningkatan utang dilakukan untuk pembangunan bangsa khususnya infrastruktur, ini akan menambah asset pemerintah. Kalau asset pemerintah lebih besar dari utangnya, ikin akan baik-baik saja,” kata Hendi (VIVA.co.id, 30/12/ 2023).
Melihat rasio utang Indonesia, Hendi mengatakan sejumlah negara di Asia Tenggara justru memiliki ratio yang lebih besar, misalnya Singapura yang mencapai 167 persen atau Malaysia dengan 66,9 persen. Sementara jika dibandingkan dengan negara G20, Indonesia berada di urutan ketiga terendah setelah Rusia (21,2 persen) dan Arab Saudi (24,1 persen). “Jadi wajar Ketika sebuah negara berutang karena kebutuhan domestik ini perlu ditopang dengan itu (utang). Walaupun tetap harus dijaga secara prudent,”tutupnya.
Utang Luar Negeri Aman dan Terkendali, Pernyataan yang Berbahaya
Dari tahun ke tahun meski angka utang Indonesia terus meningkat, pemerintah tetap memberikan statement utang terkendali dan berdampak positif, padahal jelas ini merupakan statemen berbahaya. Apalagi setiap kali menambah jumlah utang selau dibandingkan dengan negara yang jumlah utangnya lebih besar begitu juga ratio negara tersebut , mengapa tidak dibandingkan dengan negara yang rasio utangnya kecil. Kita tidak sedang bicara kompetisi utang bukan?
Karena utang kepada negara lain sejatinya sangat berbahaya, membuat ketergantungan pada negara asing dan membahayakan kedaulatan negara. BPK ( Badan Pengawas Keuangan) telah mengingatkan tentang rentannya utang Indonesia karena telah melewati batas yang ditetapkan IMF. Lebih berbahaya lagi pernyataan bahwa utang adalah untuk sector produktif dan menambah asset negara.
Logikanya jika asset negara bertambah namun juga utang negara bertambah apa yang kita dapatkan? Bahkan perilaku Indonesia dalam berutang sudah mirip judul lagu dangdut “gali lubang tutup lubang”, inilah yang disebut jebakan Ponzi, utang baru untuk membayar utang lama.
Dalih pemerintah dan para ekonomnya yang sudah terpapar ekonomi kapitalisme untuk terus melegalisasi perilaku utang sungguh menyesatkan. Hal ini hanya dalih untuk membenarkan kebijakan menambah utang terus menerus. Dunia pun akan terus memberikan penilaian positif terhadap utang suatu negara karena paradigma yang dipakai adalah kapitalisme. Makin banyak utang suatu negara, makin untung negara-negara pemberi utang. Sebab utang adalah alat penjajahan suatu negeri agar bisa terus mengeksploitasi kekayaan alamnya dan menghancurkan sumber daya manusianya dengan konsumerisme, hedonis, liberalisme dan lainnya.
Seringkali pula rakyat dipaksa untuk percaya kebutuhan anggaran selalu defisit, padahal pembangunan harus selalu berjalan. Paradigma khas kapitalisme inilah yang memang meniscayakan belanja negara tidak cukup jika tanpa utang. Akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban sebab instrument utama pembiayaan negara ada pada utang dan pajak. Subsidi untuk rakyat semakin dipangkas.
Membangun Negara Tanpa Utang, Bisa!
Seharusnya negara mandiri, dan sejatinya bisa mandiri jika pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) sesuai aturan islam. Kuncinya adalah penerapan ekonomi Islam, bukan sekadar berlabel syariat sebagaimana hari ini tapi secara kafah (menyeluruh). APBN negara Islam atau yang disebut Baitulmal tidak pernah defisit, sepanjang 13 abad senantiasa memberikan kecukupan untuk rakyatnya.
Dengan Baitumal, negara mampu menjamin kebutuhan pokok rakyatnya mulai dari sandang, pangan, papan, Kesehatan, Pendidikan dan keamanan seratus persen. Tanpa utang luar negeri. Melainkan didapat dari pengelolaan kepemilikan umum (tambang dan energi) dan kepemilikan negara. Kholifah haram mengambil utang luar negeri sebab di dalamnya ada jebakan utang (debt trap) yang bisa menghilangkan kedaulatan negara.
Alokasi anggaran sederhana, negara hanya membangun prioritas kebutuhan yang wajib, darurat dan penting. Semisal infrastruktur, maka pembangunannya dilakukan berdasarkan Analisa kebutuhan yang efektif dan efisien bukan proyek prestisius demi pencitraan belaka atau pesanan asing.
Islam mendorong negara menjadi negara adidaya dan terdepan. Oleh karenanya sangat konsen mengatur kepemilikan yang telah disyariatkan, agar rakyat maupun negara bisa optimal mengelola kepemilikan sesuai peruntukannya, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Ini semua tak akan terwujud jika kita masih memperjuangkan demokrasi sebagai sistem politik, pada praktiknya kapitalisme sebagai sistem ekonomi justru tumbuh subur.
Demokrasi juga melahirkan pemimpin yang lemah, seolah kebijakan baru, nyatanya hanya melanjutkan kebijakan rezim selanjutnya. Pun mereka telah terikat dengan sistem pembiayaan mereka menjadi pemimpin, yaitu melibatkan para pemodal besar yang sangat menginginkan suasana kondusif bagi bisnis mereka saja tanpa melibatkan rakyat. Sangat penting untuk segera menerapkan syariat, sebelum negara lebih hancur lagi. Wallahualam bissawab.
Komentar