Ketika Pena itu Diangkat
Sebanyak 22.871 orang dengan disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) DKI Jakarta untuk Pemilu 2024. KPU DKI sendiri sudah memetakan pemilih disabilitas mental terpusat di panti-panti sehingga akan diberikan pendampingan saat mereka menuju bilik suara. (Cnnindonesia, 16-12-2023)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta menyatakan pemilih orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dapat menggunakan hak suara, dengan syarat, yang bersangkutan harus dapat menyertakan surat keterangan dari dokter saat menuju ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Surat keterangan sehat tersebut menentukan pemilih ODGJ sedang mengalami delusi atau halusinasi atau tidak.
Kebijakan yang Membingungkan
Uniknya negeri ini, atas nama hak politik setiap warga, ODGJ diberi hak pilih. Demokrasi meniscayakan hal tersebut, demi memperoleh suara terbanyak, maka dibutuhkan banyak suara dari berbagai kalangan, termasuk suara dari ODGJ. Maka kemudian dibuatlah beberapa perubahan.
Dalam UU Pemilu sebelumnya disebutkan bahwasanya seseorang dapat menggunakan hak pilihnya ketika tidak sedang terganggu jiwa dan ingatannya. Syarat tersebut kemudian hilang jelang Pemilu 2019, setelah MK memperbaikinya karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Maka KPU menetapkan bahwa mereka, ODGJ, akhirnya berhak menjadi pemilih. Dan masyarakat pun riuh menanggapi hal itu.
Maka menjadi sulit dimengerti terhadap kebijakan yang tidak sinkron. Di satu sisi, memberi kesempatan pada ODGJ untuk menggunakan hak pilihnya, dengan dalih memberi hak politik yang sama kepada setiap warga. Sedangkan di sisi lain, pada kasus kriminalisasi ulama, pelaku yang dianggap sebagai ODGJ akan bebas dari sanksi. Hal ini menunjukkan bahwa ODGJ tidak memiliki konsekuensi terhadap aktivitasnya.
Standar ganda dalam kebijakan tampak pada perubahan persyaratan tersebut, yang dimanfaatkan oleh orang-orang dengan kepentingan tertentu. Demokrasi yang menggunakan hukum buatan manusia yang berpeluang untuk berubah setiap saat, mengikuti kepentingan golongan tertentu, yakni si pemilik modal.
Sementara orang yang masuk kategori ODGJ memiliki kekhususan pada kemampuan akal. Mereka memiliki gangguan kejiwaan, dengan beberapa gejala, seperti gangguan kognisi, asosiasi, ingatan, psikomotor, emosi, perhatian dan afektif. (dilansir dari repository.poltekkes-denpasar.ac.id). Gangguan kejiwaan tersebut, menyebabkan perubahan pada cara berpikir, perasaan, emosi, hingga perilaku mereka sehari-hari. Kondisi ini membuat mereka sulit berinteraksi dengan orang lain.
Dokter memberikan obat-obatan berupa obat penenang atau obat pereda cemas, yang diberikan dalam jangka waktu tertentu, tetapi ada juga yang perlu diberikan seumur hidup. Penanganan pada ODGJ juga dapat dilakukan dengan psikoterapi yang dilakukan oleh psikiater dan psikolog untuk menangani gangguan emosional atau masalah psikologis yang dirasakan oleh pasien.
Maka akan sulit bagi ODGJ menakar situasi di sekitarnya, apalagi kemudian harus memberikan keputusan terhadap suatu perkara. Sayangnya politisasi ODGJ, justru mengabaikan hal yang demikian tadi. Demokrasi menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaan. Mirisnya, kekuasaan tersebut bukan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi untuk keuntungan pribadi atau golongannya. Setelah suara diperoleh, maka kepentingan masyarakat akan diabaikan.
Islam Memfungsikan Akal
Islam sebagai agama yang lurus, mengarahkan umat agar beraktivitas sesuai panduan syariat, termasuk dalam urusan politik. Maka praktik politik dalam Islam pun wajib terikat syariat. Karenanya memilih pemimpin tidak hanya mengandalkan suara terbanyak, tetapi mengikuti pedoman Islam, yakni melalui proses bai’at. Syarat pemimpin pun sudah ditetapkan Syara’, yakni: muslim, adil, laki-laki, baligh, mampu mengemban amanah kepemimpinan.
Pemimpin menggunakan kekuasaan sebagai jalan untuk menerapkan syariat, bukan lainnya. Sebab politik dalam pandangan Islam adalah ri’ayah su’unil ummah, atau mengurusi urusan umat, dengan menggunakan Islam. Kekuasaan di tangan rakyat, tetapi kedaulatan tetap ada pada Asy Syari’.
Maka dari sini akan lahir kepemimpinan yang menjadi raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung), bagi rakyatnya. Seluruh kebutuhan warga akan diakomodir oleh pemimpin. Ia pun tak akan bertindak aniaya sebab kepemimpinan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Berbeda dengan negara yang mengemban demokrasi, kehidupan negara yang berada dalam payung Islam kaffah, akan dipenuhi dengan atmosfer keimanan, sehingga meniscayakan setiap individu mencapai kesejahteraan. Karenanya sangat kecil peluang terjadinya kecemasan atau stres akibat kezaliman, kemungkaran dan kehidupan yang sempit.
ODGJ dalam Islam diakui sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya, namun tidak mendapatkan beban amanah atau taklif. Islam memfungsikan akal sebagaimana tujuan akal diciptakan oleh Allah untuk memahami hakikat hidup sebagai hamba Allah SWT dan memahami Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia. Mereka termasuk orang-orang yang diangkat pena, sebagaimana hadits Rasulullah saw.
“Dari Aisyah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh (mimpi basah), dan orang gila hingga berakal. ‘” (HR Ahmad, Ad Darimi dan Ibnu Khuzaimah)
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Syakhsiyah Al-Islamiyyah mengatakan yang dimaksud “diangkat pena” (rufi’a al-qalamu) dalam hadis ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukallaf. Penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi mengartikan “diangkat pena” adalah tidak adanya taklif (kewajiban melaksanakan perintah).
Selanjutnya dalam syarah Imam Nasa’i menjelaskan adalah tidak dicatatnya dosa pada mereka. Keadaan ini merupakan uzur atau rukhshah atas mereka. Mereka tidak terkena beban syara‘ sebagaimana mukallaf. Seperti kewajiban salat, puasa, menikah, dan kewajiban syara‘ lainnya, termasuk terlibat dalam Pemilu. Demikian juga dengan orang gila maka tidak terkena kewajiban syariat.
Maka Islam pun tidak membebani ODGJ untuk memutuskan perkara politik yang kelak akan menentukan arah kepemimpinan umat, apakah menjadi umat yang bangkit atau terpuruk. Rufi’al qalaamu ‘an tsalatsah
Komentar