KDRT Perempuan dan Anak Meningkat, Dimana Peran Hukum Negara?
Oleh : Cahya Candra Kartika, S.Pd
Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT hingga kini menjadi momok bagi para perempuan dan anak-anak. Meski berdampak besar, bahkan menyebabkan kematian, penegakan hukum kasus KDRT masih terkendala.
Seperti yang terungkap beberapa pekan yang lalu, disadur dari Kompas.com, seorang pria bernama Jali Kartono membakar istrinya sendiri, Anie Melan, di kediaman pribadinya, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (28/11/2023). Jali nekat membakar istrinya hidup-hidup lantaran terbakar api cemburu usai melihat istrinya chatting dengan pria lain.
Masih di Jakarta, Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Bintoro mengatakan, Panca Darmansyah (41) mengaku membunuh keempat anak kandungnya di dalam rumah kontrakan wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan. “Terhadap keterangan tersangka, dalam hal ini Saudara P (Panca). Yang bersangkutan menyampaikan bahwa memang benar melakukan pembunuhan secara bergantian,” ujar Bintoro di Mapolres Metro Jakarta Selatan, Jumat (8/12/2023).
Data KDRT di Indonesia
Sejumlah kasus KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Indonesia tak jarang menyebabkan istri meninggal dunia, dan pelakunya tidak lain adalah sang suami.
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sepanjang 2023 (terakhir dikutip 14 September 2023), total keseluruhan jumlah kasus kekerasan di Indonesia mencapai 18.466 kasus, dari angka tersebut korban terbanyak adalah perempuan yaitu mencapai 16.351 orang.
Dari keseluruhan jumlah kasus, ada 11,324 kasus KDRT. Jumlah korban dalam kasus KDRT mencapai 12.158 atau tertinggi dibandingkan kategori lainnya. (https://tirto.id/arti-kdrt-daftar-kasus-kdrt-2023-yang-sebabkan-istri-meninggal-gP34)
Apakah Hukuman Pelaku KDRT Bikin Jera?
Tingginya kasus-kasus KDRT tentu mengundang banyak pertanyaan publik. Sebab, hampir dua dekade Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Implementasi UU tersebut dipertanyakan karena hingga kini kasus KDRT masih menjadi fenomena gunung es, sementara kejahatannya terus berlangsung tanpa jeda.
Berbagai alasan digunakan untuk menghentikan proses hukum KDRT, selain menjaga keharmonisan, mengasihani anak, aib bagi keluarga, juga karena perempuan yang bergantung secara finansial dan ekonomi kepada pelaku.
Disisi lain, meskipun sejumlah korban KDRT sudah mulai berani berbicara dan melaporkan kasusnya kepada kepolisian, tidak mudah untuk mendapatkan keadilan. Proses hukum dari sejumlah kasus KDRT sering tidak berjalan mulus, bahkan berhenti di tengah jalan, pemahaman di tingkat aparat penegak hukum (APH) yang masih belum sama, bahkan sering terjadi multitafsir.
Dilansir dari Kompas.com, 20/09/1023, Erni Mustikasari, Jaksa Ahli Madya pada Kejaksaan Agung, juga mengakui dari sisi norma yuridis sering terjadi multitafsir sehingga tidak ada kepastian hukum. Ia juga mengungkapkan ada sejumlah kekurangan dalam UU PKDRT.
Kekurangan tersebut, antara lain, definisi dalam ketentuan umum perlu revisi, lingkup rumah tangga, perlindungan sementara, dan korban yang dilaporkan balik masih multitafsir, serta kesalahan penormaan delik kekerasan, pidana tambahan, belum optimalnya hukum acara terkait alat bukti, belum ada restitusi bagi korban (Kompas.com, 20/09/2023).
Faktor ketidakharmonisan rumah tangga memperburuk situasi. Sejumlah kasus KDRT kepada sang istri diantaranya karena penolakan istri untuk melayani suaminya. Dengan alasan lelah bekerja seharian istri pun menghindar untuk melayani suaminya. Keadaan ini membuat sebagian suami yang lemah iman akhirnya melampiaskan emosinya dengan cara-cara yang keji bahkan bisa dalam bentuk cekcok berujung pembunuhan.
Patut direnungkan, ketika istri bekerja seringkali karena dipaksa oleh kemiskinan. Kemiskinan masih menghantui sekitar 26,58 juta warga negeri ini karena ada faktor sistem kapitalisme gagal mendistribusikan kekayaan secara merata dan adil. Adapun problem kekerasan seksual pada wanita dan anak-anak kian sulit dihentikan karena sanksi hukum yang ada masih ringan dan tidak memberi efek jera. Dalam sistem hukum yang ada selain ancaman hukumannya masih ringan, masih ditambah pilihan hukuman minimal dan maksimal. Jika hukum tidak memberi efek jera, padahal hukum seharusnya menjadi palang pintu terakhir memberantas kejahatan, maka bencana kejahatan termasuk kejahatan seksual akan terus melanda masyarakat.
Islam Rahmatan Lil Alamin
Terakhir tapi yang amat menentukan adalah faktor ketakwaan masyarakat kepada Allah SWT. Ketakwaan adalah rem yang paling efektif bagi individu untuk tercegah dari perbuatan keji dan mungkar. Namun di alam sekuler demokrasi dan liberal seperti sekarang ketakwaan tampaknya dianggap tidak penting bahkan peran Islam untuk mengatur berbagai aspek kehidupan tidak difungsikan. Berbagai problem perempuan Indonesia menghiasi semua struktur sistem sekuler demokrasi saat ini. Karena itu terus meningkatnya kekerasan dan kejahatan seksual pada wanita adalah bukti gagalnya sistem kapitalisme melindungi wanita dan anak-anak.
Wallahu a’lam bishawab
Komentar