Desa wisata, Harapan Sejahtera Masyarakat Indonesia

Bangun Dolok dan Harangan Girsang menjadi penutup Sosialisasi Sadar Wisata 5.0 di kawasan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Danau Toba, Sumatera Utara. Direktur Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pariwisata, Kemenparekraf, Florida Pardosi mengatakan kegiatan tersebut digelar dengan harapan pengembangan pariwisata bisa didorong untuk naik kelas.

 

“Pembangunan desa wisata tidak lagi sebatas mendorong pertumbuhan jumlah kunjungan, namun kualitas kunjungan menuju pembangunan pariwisata berkelanjutan,” ujar Florida. Kesejahteraan masyarakat lokal menjadi fokus pengembangan sektor pariwisata. Pasalnya, masyarakat lokal menjadi pemilik dan pemeran utama yang memastikan kelangsungan pariwisata, terutama destinasi berbasis alam seperti di Danau Toba tambah Florida. 

 

Maka sangat perlu adanya kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam menjaga kelestarian alam dan budaya, agar keindahan dan keunikan destinasi wisata Indonesia tetap tumbuh secara konsisten dan berkelanjutan. Penting juga penyiapan dan pengembangan SDM Pariwisata dalam pengembangan desa wisata. Sehingga dalam Sosialisasi Sadar Wisata 5.0 ini para pelaku pariwisata yang hadir dibekali dengan pengetahuan mengenai Sapta Pesona, Pelayanan Prima, CHSE (Cleanliness, Healthy, Safety dan Environment Sustainability) (RMOL.id, 28/9/2023).

 

Kini, Berwisata Juga Berekonomi

 

Desa wisata merupakan sebuah konsep pengembangan daerah yang menjadikan desa sebagai destinasi wisata. Pengelolaan seluruh daya tarik wisata yang tepat diharapkan dapat memberdayakan masyarakat desa itu sendiri. Konsep Pengembangan Desa Wisata pertama, atraksi sebagai daya tarik utama desa wisata, kedua, Amenitas sebagai fasilitas pendukung yang dimiliki oleh desa wisata, ketiga, aksesibilitas yang dapat diartikan sebagai beragam hal yang berkaitan dengan akses wisatawan ketika hendak berkunjung ke desa wisata.

 

Tujuan pengembangan Desa Wisata menjadikan desa sebagai sebuah destinasi pariwisata dengan cara memadukan daya tarik wisata alam dan budaya, layanan fasilitas umum pariwisata, serta aksesibilitas yang memadai dengan tata cara dan tradisi kehidupan masyarakat desa. Sedang pengelolanya adalah kelompok masyarakat atau lembaga masyarakat setempat/Pemerintah Daerah/Badan Usaha/Pemerintah Desa/Pihak Ketiga yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengelola desa wisata.

 

Pemerintah secara masif menggelar program Desa Wisata ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat, pada tahun 2023 ada 4,674 desa wisata di Indonesia. Jumlah tersebut bertambah 36,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya 3.419 desa wisata saja. Value desa pun ditingkatkan tidak sekadar menjadi tanah tumpah darah, namun juga berdaya secara ekonomi, terutama desa yang memiliki destinasi wisata nasional maupun internasional. 

 

Setiap wilayah berlomba, menghias desanya agar menarik dan mampu mendatangkan wisatawan asing maupun lokal. Beberapa pihak pemodal pun digandeng untuk pembiayaan atas nama investasi. Memang akhirnya desa terlihat semarak, lahan yang awalnya tanah pertanian, bukit berisi pepohonan bahkan hingga lahan gambut disulap jadi destinasi wisata, lengkap dengan BUMDES, UMKM dan taman-taman buatan hingga atraksi klenik mengundang jin dan setan bertandang. Alasan kewajiban menjaga kearifan lokal menguat, seolah makin menguatkan jika kebijakan Desa Wisata adalah yang terbaik

 

Spiritnya Kompetisi Ala Kapitalisme

 

Hingga mampu mengalihkan perhatian umat bahwa kebijakan ini sangat sarat dengan spirit kompetisi ala Kapitalisme, dimana ada manfaat disitu akan dikuasai. Tak peduli apakah akan benar mampu menyerap tenaga kerja, menyejahterakan penduduk desa secara keseluruhan dan yang miris adalah dampak dari transfer budaya kita dengan budaya barat yang memuja kebebasan. Seringkali, di tempat wisata akan ditolirer penjualan minuman keras, sesuai dengan bi’ah ( kebiasaan) tamu mancanegara. Tentulah yang dijadikan alasan adalah agar dipercaya dan dimudahkan dalam investasi selanjutnya. 

 

Padahal, dampak akibat program Desa Wisata sungguh mengerikan, banyaknya bangunan yang dibangun guna memenuhi standar internasional untuk kawasan wisata melalaikan batasan konservasi, bahkan batas kepemilikan umum, seperti pembelian pulau, penggusuran warga karena ecocity dan lainnya. Belum lagi bagaimana bencana alam yang kerap bertandang. Tak hanya banjir, kebakaran hingga hewan pun mendapatkan dampak buruknya, kehilangan tempat tinggal mereka. 

 

Islam: Wisata Adalah Sarana Taddabur

 

Faktanya ketika Wisata desa digenjot, investasi asing menguasai 90 persen kepemilikan umum yang seharusnya dinikmati rakyat. Uang lebih berkuasa daripada nasib rakyat yang terbengkalai. Pertukaran budaya tak lagi menjadi soal. Sehingga kebanyakan di desa yang menjadi destinasi wisata, kehidupan sosialnya bertambah bebas tanpa batas. Muncul berbagai praktik pelanggaran hukum syara maupun hukum positif yang sudah muncul lama di masyarakat. 

 

Sejatinya, kesejahteraan bukan kompetisi, tapi tindak nyata berkeadilan. Desa atau kota menjadi fokus yang sama bagi negara, yaitu tempat rakyat melakukan aktifitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, dan negara wajib memastikan semua berjalan sesuai yang seharusnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). 

 

Mengelompokkan desa dengan status tertentu adalah ciri kapitalisme yang hanya memikirkan keuntungan materi semata, sebab yang bakal mensejahterakan penduduk desa bukan wisatanya. Dalam pandangan Islam, wisata hanyalah sekadar salah satu sarana mendekatkan kepada Allah swt.bagi negara, pariwisata bisa digunakan sebagai sarana dakwah kepada bangsa dan negara lain. Lebih parah lagi, Desa Wisata adalah kebijakan setengah hati, sebab faktanya kepada investor asing penguasa lebih welcome. Dan tetap rakyat dibiarkan berjuang sendiri memperbaiki nasibnya. 

 

Islam telah menetapkan bahwa pemenuhan kesejahteraan umat melalui mekanisme langsung dan tidak langsung, secara langsung yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan kepada pria baligh, baik di industri, ASN, pertanian, perdagangan dan lainnya, agar mereka mampu menerapkan kewajiban mereka menafkahi keluarganya secara makruf. Negara juga akan memberikan modal bergerak atau tidak bergerak bagi mereka yang membutuhkan sebagai modal usaha. 

 

Secara tidak langsung adalah dengan pembiayaan atas pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pelayanan komunal rakyat, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dananya diambil dari kas Baitul Mal yaitu pos pendapatan dari kepemilikan umum, kepemilikan negara dan zakat. Desa dan kota akan dibangun secara merata dan tertata, sedemikan lupa, sehingga rakyat tak perlu harus bersengketa dalam mendapatkannya. 

 

Namun, keadaan ideal ini masih menjadi mimpi , sepanjang kita masih belum mencabut sistem kapitalisme ini dan menggantikan dengan syariat maka perubahan . Wallahualam bissawab.

Artikel Lainnya

Pemerataan Pembangunan Desa, Akankah Menjadi Realita?

Realitasnya bahwa tak semua desa mampu secara finansial membiayai pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri. Meski ada program Dana Desa yang konon katanya adalah bentuk perhatian pemerintah nyatanya terselip motif lain yaitu neoliberalisme ekonomi melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh tiap desa di negeri ini. Rupanya dibalik program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa di dasarkan pada untung dan rugi.

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *