Kisruh Pengelolaan Nikel: Korupsi vs Hilirisasi
Dilansir dari BBC News Indonesia.com, kasus korupsi pada tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara, yang mana kasus ini menjerat sejumlah pengusaha hingga pejabat, ini menunjukkan masih terbukanya “celah untuk kongkalikong” di tengah tata kelola industri nikel yang sedang “carut marut”, ujar sejumlah pegiat lingkungan dan antikorupsi.
Dalam perkembangan penyidikan pada hari Rabu (9/8), Kejaksaan Agung menetapkan Ridwan Djamaluddin, eks Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) sebagai tersangka.
Menanggapi penetapan tersangka tersebut, Agung Pribadi yaitu Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM menyatakan “prihatin” dan “menghormati proses hukum yang berjalan”.
Penyalahgunaan jabatan dan wewenang kembali terjadi. Hal ini erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang diterapkan, yang memungkinkan terjadinya ekonomi transaksional . Dalam mekanisme ini jelas menguntungkan pengusaha.
Pemerintah Indonesia khususnya Presiden Joko Widodo tetap pada pendiriannya untuk terus melanjutkan proyek hilirisasi pertambangan. Meskipun mendapat banyak serangan dari berbagai pihak termasuk diantaranya IMF yang meminta Indonesia untuk menghapus program hilirisasi tersebut.
Kebijakan pemerintah ini juga mendapatkan kritikan dari Mulyanto, anggota Komisi 7 DPR RI. Ia meminta pemerintah segera mengevaluasi total program hilirisasi nikel yang berlangsung selama ini. Mulyanto menduga program ini hanya untuk menguntungkan investor asing tapi merugikan negara.
Kebijakan yang dianggap akan memandirikan negara dalam pertambangan, pada faktanya tetap bergantung pada investasi termasuk investasi asing. Tentu saja hal ini akan membahayakan kedaulatan negara.
Beginilah dampak kebijakan yang dihasilkan dari sistem kapitalisme neoliberal. Kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh negara terus diarahkan pada kepentingan Para pemilik modal. Negara pada saat ini hanya bertindak sebagai regulator saja yang melayani kebutuhan para kapital yang mengatasnamakan rakyat.
Sementara peran utamanya sebagai pelayan rakyat atau umat diabaikan, hal ini didukung dengan prinsip kebebasan kepemilikan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada pihak individu atau swasta asing.
Hal ini tentu sangat tidak sama dengan pengelolaan tambang dalam Islam. Karena Islam memiliki mekanisme pengaturan dan pengelolaan sumber faya alam dan pencegahan korupsi yang efektif melalui tiga pilar tegaknya hukum. Ketiga pilar itu adalah ketakwaan individu, masyarakat yang peduli dan negara yang menerapkan syariat Islam.
Namun yang terjadi sekarang ini hanya baru dua pilar pertama yang masih teraplikasikan dan itupun masih sangat tipis dan kecil. Sedangkan pilar yang ketiga sama sekali tidak ada. Padahal itu dia tonggak yang paling penting dari sebuah negara yang menerapkan syariat Islamnya.
Selain itu, Islam juga menetapkan negara sebagai pengatur urusan rakyat dan berkewajiban mensejahterakan rakyat. Seperti dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam yang dimiliki.
Sumber Daya Alam tambang emas diantaranya yang kandungannya sangat banyak dalam pandangan Islam adalah milik rakyat atau umat yakni kepemilikan umum atau milkiah Amma, yang semua itu wajib dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Maka hal ini sungguh membuat miris juga ironis jika kekayaan alam tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.
Dalam kitab Al amwal fidal Khilafah Syekh Abdul Qodim menyebutkan bahwa barang-barang tambang merupakan bagian dari barang milik umum. Beliau mengatakan barang tambang yang depositnya besar baik yang ditambang terbuka seperti garam, batubara ataupun yang tertutup seperti minyak dan gas, emas dan besi dan peralatan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum atau milik negara.
Adapun hasil dari pengelolaan sumber daya alam wajib dikembalikan kepada rakyat atau umat seluruhnya. Untuk barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat semisal emas, perak, tembaga, batubara dan lain-lain bisa dijual ke luar negeri dan keuntungannya termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri dibagi kepada seluruh rakyat baik dalam bentuk uang, barang atau untuk membangun infrastruktur seperti sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis dan pelayanan umum lainnya.
Dengan begini maka kekayaan alam akan benar-benar terdistribusi secara merata di tengah masyarakat dan kesejahteraan akan terwujud untuk mengembalikan tambang kepada pangkuan rakyat sebagai pemilik sesungguhnya, maka untuk mendapatkan itu semua umat harus kembali pada syariat Islam.
Kemudian dalam hal pencegahan korupsi, Islam pun mempunyai solusi yang tepat. Karena sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam, maka dapat memberikan solusi yang tidak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam dapat menjadi preventif sedari dini manusia untuk memiliki niat korupsi di awal. Pada inilah Islam memberikan solusi secara sistemis juga ideologis terkait pemberantasan korupsi.
Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, diantaranya yaitu : Pertama, penerapan Mabda atau Ideologi Islam. Penerapan Ideologi lslam meniscayakan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam semua lini kehidupan. Termasuk dalam hal kepemimpinan. Oleh sebab itu, dalam Islam pemimpin negara diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunah. Begitu pun pejabat lainnya, mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariat Islam.
Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang beriman, bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, ditetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan akan menjadi kontrol awal sebagai penangkal pelaku dari berbuat maksiat. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat tersebut dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah Swt.
Kemudian ketika takwa itu dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanaah dengan pemberian Allah Swt, maka pejabat negara akan betul-betul amanah. Sebabnya, bagi mereka dunia bukanlah tujuan. Tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih Ridha Allah Swt.
Ketiga, pelaksanaan dalam politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah yaitu bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariat Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit yang rakus.
Keempat, penerapan sanksi tegas yang memberikan efek jera. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus yang serupa muncul berulang kembali. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk peringatan, stigmatisasi, publikasi, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Alhasil, penerapan syariat Islam akan efektif dalam memberantas dan mencegah terjadinya korupsi, juga dalam pengelolaan sumber daya alam yang optimal dan membawa berkah hanya akan terwujud dalam penerapan sistem ekonomi Islam di bawah naungan Khilafah. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen dari semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara Kaffah.
Komentar