Mitigasi Bencana yang Handal? Bisa, Asal Penuhi Syaratnya!

Bertubi bencana yang terjadi di Indonesia pada tiap tahunnya, sejatinya bukan hal mengherankan. Mengapa demikian? Pasalnya, secara geografis Indonesia merupakan negara yang terletak di wilayah rawan bencana alam. Posisi Indonesia yang dilalui Cincin Api Pasifik, yang merupakan sabuk seismik tempat bertemunya banyak lempeng-lempeng dunia. Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Gempa bumi, longsor, gunung meletus dan tsunami adalah beberapa bencana yang potensial terjadi dikarenakan hal tersebut.

Selain itu Indonesia juga berada di wilayah tropis, membuatnya rentan terkena badai, angin topan, dan siklon tropis dengan efek curah hujan yang tinggi.

Kondisi ini makin parah jika drainase di suatu kota buruk penataannya. Inilah yang menyebabkan banyak dari perkotaan dan pedesaan di Indonesia mengalami bencana banjir hingga bandang.

Berkaca dari hal tersebut, sudah seharusnya mitigasi alias kebijakan yang meliputi antisipasi dan penanganan pasca bencana menjadi urgen untuk dicanangkan.

Tujuannya tak lain agar dapat mengurangi risiko kerugian baik materiil maupun non materiil bahkan sampai menghilangkan nyawa manusia.

Sayangnya realitas di lapangan belum menunjukkan adanya mitigasi yang efektif secara signifikan. Sering kali yang terlihat seolah negeri ini gagap mengatasi bencana demi bencana yang terjadi. Bahkan tak jarang minus antisipasi. Entah apa sebabnya. Berbagai asumsi pun datang dari masyarakat, yang paling menonjol tentu pandangan bahwa mitigasi merupakan proyek rugi. Itu sebabnya di negeri yang cenderung pada sistem ekonomi liberal kapitalistik, proyek rugi jadi semacam momok yang harus dihindari. Sebab dalam ideologi kapitalisme yang merupakan induk dari ekonomi liberal, relasi rakyat dan penguasanya bukan lagi tuan dan abdi, namun penjual dan pembeli. Dalam kamusnya tak mengenal kata rugi, sebab keuntungan hal mutlak yang harus dicari. (Wikipedia)

Memang, tidak semua negara penganut ideologi kapitalisme separah itu. Terutama negara-negara yang memiliki visi jauh ke depan terkait pentingnya menjaga sumber daya alam berikut manusia yang hidup di dalamnya. Jepang, salah satu contohnya. Pada sejarah Jepang tercatat bahwa telah beberapa kali negaranya diguncang musibah bencana gempa bumi. Hal tersebut terjadi karena negara Jepang berada pada jalur Sirkum Pasifik pula. Oleh karena itu Jepang menerapkan mitigasi bencana yang tidak hanya meliputi infrastruktur saja, tetapi Jepang juga berusaha membentuk pola pikir masyarakat supaya tanggap akan bencana. Termasuk menerapkan aturan tentang pembuatan rumah dan gedung yang tahan gempa.

Tetapi sebagai negeri dengan jumlah muslim terbesar, idealnya Indonesia tak butuh berpaling ke lain hati dan lain negeri. Karena Islam lebih dari cukup sebagai jawaban, solusi atas seluruh permasalahan hidup di dunia. Hal ini sudah termaktub dalam kitab suci yang jadi pedoman hidup dalam Islam.

“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl: 89)

Islam menetapkan urusan rakyat wajib dipelihara oleh negara. Mitigasi bencana hanya bagian dari pemeliharaan dan jaminan kepentingan setiap penduduk, yang sama kedudukannya dengan sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi dan lainnya.
Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al Bukhari)

Maka Khalifah sebagai kepala negara akan menyusun kebijakan-kebijakan yang berlandaskan hanya pada syariat Islam dan ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Dalam hal ini upaya-upaya penanggulangan bencana yang dilakukan di antaranya, upaya penanganan pra bencana, ketika bencana dan sesudah bencana.

Upaya pra bencana adalah upaya untuk mencegah penduduk dari bencana. Hal tersebut meliputi memetakan potensi rawan bencana, pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, membangun bangunan tahan gempa, melakukan reboisasi, tata kota dengan drainase yang baik dan sesuai amdal, pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan. Kemudian memelihara kebersihan lingkungan, menggunakan teknologi alarm peringatan bencana, memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat agar mampu melakukan tindakan yang benar ketika dan sesudah terjadi bencana.

Jika bencana alam yang terjadi berupa banjir atau gunung meletus, penguasa muslim akan memaksimalkan cara untuk meminimalkan bencana yakni dengan mengalihkan material tersebut ke tempat-tempat yang tak dihuni manusia atau menyalurkan ke saluran-saluran yang sudah dipersiapkan. Tim SAR yang dibekali dengan peralatan canggih juga akan dibentuk, yang bertugas menyiapkan tempat pengungsian, dapur umum dan pos- pos kesehatan.

Penguasa yang tunduk pada syariat pastinya akan memastikan para pengungsi dari daerah yang tertimpa bencana mendapatkan pasokan makanan dan kesehatan yang terjamin. Rakyat juga akan dibekali tausiah untuk me-recovery psikologi mereka pasca bencana.

Terakhir, Islam juga mewajibkan negara untuk memperbaiki lingkungan yang telah terkena dampak bencana alam. Inilah langkah-langkah yang ditempuh guna mewujudkan mitigasi yang efektif dan komprehensif. Semuanya berpulang pada itikad kuat di bawah tuntunan syariat yang diterapkan secara kafah, yaitu memberi pelayanan terbaik pada masyarakat. Tanpa mengharap keuntungan maupun balasan.  Wallahualam.

 

 

Artikel Lainnya

Pemerataan Pembangunan Desa, Akankah Menjadi Realita?

Realitasnya bahwa tak semua desa mampu secara finansial membiayai pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri. Meski ada program Dana Desa yang konon katanya adalah bentuk perhatian pemerintah nyatanya terselip motif lain yaitu neoliberalisme ekonomi melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh tiap desa di negeri ini. Rupanya dibalik program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa di dasarkan pada untung dan rugi.

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *