Ekonomi Syariah Tanpa Islam Kafah, Mungkinkah?
Kabar gembira bagi para pegiat ekonomi syariah. Baru-baru ini dalam sebuah forum nasional, Menteri Keuangan (Menkeu) menyebutkan pengembangan ekonomi syariah merupakan kebutuhan pembangunan di Indonesia, selain sebagai manifestasi ajaran Islam.
Lebih lanjut, sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar yakni 86,7 persen atau sebanyak 237 juta orang dan jumlah institusi keuangan syariah terbanyak di dunia, ekonomi syariah telah membuktikan unggul komparatif tak kalah dengan institusi konvensional alias non-syariah.
Luar biasa! setelah forum itu, ekonomi berbasis syariah Islam layak jadi primadona. Wajar, sebab karakteristiknya yang bertumpu pada sektor real dan anti riba membuatnya mampu bertahan meski ancaman resesi menghadang. Tak hanya di Indonesia tapi juga dunia. Bukan rahasia lagi ketika hal sebaliknya justru terjadi pada ekonomi berbasis kapitalisme. Pilar-pilar yang selama ini menopang tegaknya ekonomi kapitalis kerap goyah diterjang krisis. Terakhir selama pandemi, maka bursa saham, pasar bebas, hingga utang berbasis riba tak luput ikut terguncang.
Tak bisa dipungkiri, sejatinya tanpa pandemi pun sistem ekonomi dalam asuhan kapitalisme sudah ringkih. Tumbuh bagai gelembung sabun, membesar namun mudah sirna dihempas gelombang. Di negara dedengkot kapitalisme, Amerika Serikat, realitas terjadi tanpa bisa dibantah. Ditandai dengan krisis ekonomi yang terus berulang.
Tahun 1908, 1929 (The Great Depression), dan 2008 dengan dampaknya yang masih dirasakan hingga kini. Lalu datang pandemi, semakin menegaskan kerapuhan sistem ekonomi tersebut. Masyarakat dunia pun dibuat terbelalak menyaksikan betapa lemahnya kapitalisme di hadapan makhluk kecil bernama virus Corona.
Maklum, kapitalisme merupakan ideologi yang bersumber dari hasil pemikiran manusia. Sekularisme sebagai asasnya dengan congkak memisahkan aturan agama dari kehidupan. Bila agama yang dimaksud oleh paham sekularisme adalah Islam, bisa jadi memisahkan agama adalah langkah yang tepat.
Tapi faktanya, tidak demikian bila perkara kehidupan justru dipisahkan atau dilepaskan dari Islam. Karena Islam merupakan agama samawi yang sempurna lagi paripurna. Islam diturunkan Sang Pencipta alam semesta melalui wahyu kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad saw. Tujuannya guna mengatur kehidupan manusia sejak urusan bangun tidur hingga menjalankan urusan negara.
Sejarah mencatat dengan tinta emas betapa luhur keagungan dan kejayaan Islam saat syariah diterapkan secara totalitas dalam naungan Islam kafah. Di dalamnya tegak sistem ekonomi yang kokoh di sisi sistem yang lainnya, seperti politik, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan.
Mari tengok di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, saat tak ada satu pun yang merasa berhak menerima zakat. Di masa Abbasiyah, bahkan setiap penulis buku diberikan hadiah emas seberat buku yang ditulisnya. Begitu pula ornamen bertabur emas dan permata yang sampai kini bisa terlihat pada bangunan peninggalan kejayaan Islam. Haruskah kita heran? Tak perlu, biasa saja. Toh, memang Islam berbeda dengan kapitalisme yang pilarnya bertumpu pada sekularisme.
Sistem ekonomi Islam memiliki tiga asas. Ketiga asasnya yaitu, kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di antara anggota masyarakat. Seluruhnya diatur dengan mekanisme syariah yang berlandaskan pada akidah Islam. Sehingga, semua aktivitas ekonomi tidak semata mengejar untung ataupun manfaat, seperti halnya kapitalisme, namun yang utama adalah meraih keridaan Allah SWT.
Maka sungguh sudah sangat tepat mengalihkan pandangan pada solusi yang datang dari Islam. Hanya saja berharap pada kebaikan dari ekonomi syariah namun menolak Islam Kafah sama saja berharap air mengalir dari bawah ke atas. Mustahil bisa terwujud tanpa keduanya. Sebab ekonomi hanya salah satu bagian dari aturan Islam, sedang kewajiban kita adalah mengambil syariat secara keseluruhan sebagai konsekuensi dari iman.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.”(QS Al Baqarah:208).
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas bahwa yang dimaksud dengan as-silmi ialah taat. Sehingga Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini menyatakan Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman hendaklah mereka berpegang kepada tali Islam dan syariatnya serta mengamalkan semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya dengan segala kemampuan yang ada pada mereka. (Tafsir Ibnu Katsir). Wallahualam.
Komentar